Tough Time

Posted: Selasa, 21 Desember 2010 by Iqbal Fajar in
0

Lucu jika mengingat kejadian kemarin. Saya yang kelelahan setelah keliling jakarta dan sekitarnya demi mengantarkan parcel untuk customer harus tertahan di jajaran ruko. Sendiri dalam mobil panther '97 milik kantor. Hanya ditemani lantunan musik dari laptop dan hujan yang deras di luar. Tiba-tiba saja tangan mengarahkan mouse ke folder tempat file-file tulisan tentang mantan. Kala itu, menulis adalah cara ampuh untuk melupakan dia. Dan terjadilah hal bodoh itu.

Air mata meluncur deras dari mata. Dada sesak tak terkira. Jika tidak memikirkan janji dengan klien setengah jam lagi, pasti saat itu saya sudah hilang kendali. Menangis dengan raungan yang keras dan pedih. Klise dan memalukan bukan ? Seorang lelaki harus menangis karena wanita. Harus diakui file-file tulisan itu membuka lagi luka lama. Kenyataan harus kehilangan dia memang masih belum sepenuhnya dapat saya lupakan. Hanya tersimpan dalam tertutupi oleh sibuknya pekerjaan. Keadaan tubuh yang lelah juga berkontribusi memaksa pertahanan terakhir saya hancur. Maka menangislah saya serupa bocah.

Cukup lama menangis pada akhirnya membuat logika kembali berkuasa. Pada akhirnya saya sadar bukan dia yang membuat tangisan itu meledak. Kesendirian dan kerinduan akan teman sejati adalah akar dari semuanya. Sejak putus dari dia, memang tidak ada lagi orang dekat yang mengisi kekosongan. Dulu setidaknya masih ada beberapa sahabat yang siap berbagi asa. Seolah bekerjasama, mereka pun harus mundur karena beberapa sebab. Saya tidak menyalahkan mereka atas ketiadaannya. This is my own problem and they have their own life.

Yah, life is just getting hard to me. That's why I need some of this pain washed by this tears. Banyak hal yang terjadi belakangan ini. Kehadiran sahabat dan dia adalah pengharapan terbesar saya. Walau sayangnya memang harus tidak terkabul. Dia yang nun jauh disana sudah tak terdengar kabarnya. Saya juga sudah berjanji tidak akan mencari kabar atau muncul dikehidupannya dalam bentuk apapun. Para sahabat seperti disebutkan, punya kehidupan yang tidak bisa dipaksakan untuk selalu ada bagi saya. Dan memang seperti ini seharusnya. Biarlah saat ini saya meresapi kesendirian untuk mentransformasikan menjadi kekuatan.

Saat-saat ini adalah titik balik bagi kehidupan. Sama seperti titik-titik balik lainnya yang sudah lewat. Masih teringat ketika itu saya menangis sendirian di kegelapan malam karena tidak kuat menghadapi tekanan keuangan. Atau ketika saya berteriak ditengah hujan deras memaki langit tentang ketidakadilan di pekerjaan. Bahkan termangu tanpa arahan ditengah keramaian. But I survive. Terlepas dari ratusan kekalahan dan kekecewaaan dari kehidupan, saya tetap bangkit. Jatuh tujuh kali, bangun delapan kali. Sama seperti boneka daruma. Biarlah malam kemarin dan malam ini saya menangis lagi. Silahkan kesendirian ini datang lagi. Berapkalipun itu terjadi saya akan tetap menangis untuk kemudian bangun lagi dan menatap semua kesedihan dengan pengakuan. Karena hanya itulah cara terbaik menyelesaikannya. Coz I believe, tough time wont last. Tough people do.

Another Memory about Gie

Posted: Kamis, 28 Oktober 2010 by Iqbal Fajar in
0

Memori saya kembali ke kejadian 4 tahun lalu. Malam itu, teman sekamar, Intjeu, membawakan buku dan VCD tentang seorang penulis, demostran sekaligus pujangga. Soe Hok Gie, dia yang meninggal di Puncak Mahameru, titik tertinggi di Pulau Jawa.
Jiwa patriotism, idealis, berontak dan selalu berubah membawa saya pada kekaguman terhadap sosoknya. Lebih dari itu, saya juga menemukan seorang sahabat lama yang tidak pernah bertemu sebelumnya. Soe atau Gie, begitu dia biasa dipanggil. Anak muda luar biasa dengan rasa takut terhadap pihak berkuasa yang sudah putus sejak belia. Pecinta alam yang menemui akhirnya di pangkuan sahabatnya. Pujangga dengan kata-kata dan melankolis yang membius pembacanya. Patriot yang bukan hanya cinta pada sesama tapi juga iba pada musuh. Sosok idealis sejati yang entah kapan akan muncul lagi di dunia. Dan diatas semua, pemberani yang siap berjalan tegap di alur keyakinannya. Alur yang lurus, jujur dan tanpa kemunafikan.

Kini, 4 tahun setelah malam itu saya malu ketika kembali bertemu dengan teman lama itu. Malu pada dia yang teguh dengan pendirian dan kebenaran. Kini, hanya dengan sedikit kesulitan dan kesendirian saya merasa berhak terhadap keluh kesah dan amarah. Dulu saya kerap menghujat mereka yang duduk diatas singgasana dengan cacian. Setelah semua sistem pendidikan ditinggalkan, saya malah berjuang menarik pandangan mereka dengan harapan sedikit project demi nama kesuksesan. Lalu apa beda saya dengan mereka yang memperkaya diri sendiri, mereka yang hidup diatas menara gading itu? Yang makan dengan uang rakyat dan bersenang-senang dengan istri mudanya?

Walau sudah terlepas dari jerat itu semua, saya masih tetap berharap pada penjilatan terhadap yang dipertuan agung demi sejumput kenikmatan, kasur empuk, ruangan ber AC, kenyamanan bintang 5 serta wanita cantik yang memang bukan milik saya. Berjalan pada kemunafikan. Itulah yang sedang saya lakukan.

Dan malam ini, saya kembali malu. Malu pada dia yang tetap lurus di jalan kebenaran, meninggalkan semua kemewahan, empuknya kursi jabatan serta nyamannya fasilitas. Dia yang seharusnya dapat duduk di kursi anggota perwakilan rakyat, memilih hidup di susahnya masyarakat, mengajar di tengah kampus sederhana. Demi sebuah prinsip. Katakan tidak pada kemunafikan.

Dan saya memang tidak akan pernah menjadi seorang Soe Hok Gie, bahkan tidak akan pernah mendekati keteguhan hatinya. Tapi setidaknya malam ini saya kembali diingatkan oleh sahabat yang tidak pernah bertemu itu, bahwa jalan kebenaran dan kejujuran adalah keharusan. Maka saya berusaha, dan akan terus berusaha sekali lagi untuk berjalan di jalan kebenaran walau sesekali harus terperosok dalam jurang kemunafikan tapi saya akan tetap mendaki lagi dan terus berjalan. Hingga akhirnya sampai di ujung jalan kebenaran. Hingga saatnya tiba, tetap bersama saya Soe, agar keyakinan dan semangat itu tetap berkobar.

Kenangan Pagi

Posted: Rabu, 13 Oktober 2010 by Iqbal Fajar in
0

Dan semua menyeruak begitu saja
Aku sudah lupa wajahnya
Aku khilaf pada senyumnya
Amnesia terhadap sayangnya

Tapi mengapa dia masih saja berjalan
Kenapa dia tetap bersemayam

Salahkah aku mencinta pada kesendirian?
Karena engkau tidak lagi bisa terjangkau
Maka kenapa tak layak aku bersenandung
Mencari impian tentang pelimpahan perasaan

Pagi ini aku lupa padamu, tapi sukmamu entah kenapa tetap menghantui
Haruskah lupa itu disimpan ?

Tuhan, Manusia dan Raja

Posted: Jumat, 08 Oktober 2010 by Iqbal Fajar in
0

Karena Tuhan tidak meraja maka Ia adalah pencipta
Karena manusia serupa raja maka ia layak dihina

Dan semua keanggunan tentang kekuasaan adalah mimpi kita
Menari diatas pelupuk mata
Berngiang di kuping jendela
Tertawa di busuknya kata-kata

Karena kita manusia maka kita tidak meraja
Hanya Tuhan bersabda dan hancur segala

Ini dunia kita, tapi bukan pula kita yang punya
Maka tanya kenapa kita tak henti juga merasa raja?

Boy's Gone by Jason Mraz

Posted: Selasa, 05 Oktober 2010 by Iqbal Fajar in
0

This song is belong's to Jason Mraz. Sang at his single concert, Beautifull Mess. The reason why I post this song's lyric is because the mood that I feel now. Just read the previous post I did. So,, enjoy this song..


Boy's Gone

The boy's gone. The boy's gone home.

What will happen to a face in the crowd when it finally gets too crowded.
And will happen to the origins of sound after all the sounds have sounded
Well I hope I never have to see that day but by god I know it's headed our way
So I better be happy now that the boy's going home. The boy's gone home.

And what becomes of a day for those who rage against it
And who will sum op the phrase for all left standing around in it

Well I suppose we'll all make our judgement call
We'll walk it alone, stand up tall, then march to the fall
So we better be happy now that we'll all go home.

Be so happy with the way you are
Be so happy that you made it this far
Go on be happy now. Please be happy now

Because this is something else
this is something else

I tried to live my life and live it so well
But when it's all over is it heaven or is it hell
I better be happy now that no one can tell, nobody knows
I'm gonna be happy with the way that I am
I'm gonna be happy with all that I stand for
I'm gonna be happy now because the boy's going home.

The boy's gone home.

Titik Mula

Posted: by Iqbal Fajar in
1

“Mencintai adalah resiko, hanya orang yang berani dan bertanggung jawab yang dapat melakukannya.”

Menjadi manusia artinya berinteraksi dengan dunia. Itulah anugrah dan kodrat yang diberikan pada kita. Dan cinta adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah tahapan menjadi manusia. Itulah mengapa saya berusaha untuk menjadi manusia yang seutuhnya dengan berusaha mengenal cinta. Walaupun sifat dasar egois, cuek, masa bodoh dan semua istilah lainnya tentang pencinta kesendirian adalah rintangan yang harus saya tekan dalam-dalam.

Pada akhirnya saya memang bisa mencintai seseorang. Dia yang saya bisa mempercayainya untuk berbagi kesendirian, kesedihan, tawa, kemarahan hingga ketakutan. Dan pada beberapa waktu saya bisa mencintainya dengan cinta yang tulus dan murni. Cinta adalah sebuah hubungan timbal balik antara dua orang manusia. Hubungan yang terjadi akibat dari sebuah kepercayaan, pengorbanan, dan akhirnya dilengkapi dengan sebuah kasih sayang tulus. Hasil dari perkawinan tiga hal penting itu ialah cinta yang murni tanpa alasan dan penyerahan terhadap ketidakberdayaan. Itulah cinta yang sesungguhnya.

Saya, entah untuk keberapakalinya, terbukti bukan mahluk yang bisa menekuni itu dengan baik dan benar. Cinta saya masih mengharapkan balasan dari pasangan. Pengharapan terhadap persamaan persepsi, pemahaman terhadap istilah dan akhirnya permohonan terhadap penghormatan. Jelas bukan bentuk cinta yang sebenarnya. Hanya cinta tak sempurna yang masih berusaha menemukan bentuknya.

Itulah keadaan yang terjadi saat ini. Ketika keputusan untuk berpisah terlontar diantara kami, saya masih berharap bahwa dengan memberikan perhatian, persahabatan dan kasih sayang akan ada balasan berupa pengkoreksian atas keputusan tersebut. Nyatanya saya tidak mendapatkan itu semua, terlepas dari saya yang mungkin memang tidak bisa menangkap sinyal itu..

Dan ketika pengharapan itu berujung pada ketidakpuasan, saya pun berusaha lari dan mengalihkan semua. Mencoba menjadi pria baik hati dengan topeng manisnya yang mencintai tanpa berharap apapun. Topeng cinta sejati. Ternyata saya memang tidak bisa mencintainya secara penuh, tidak bisa mencintainya dengan cinta yang sejati karena topeng tetaplah topeng hingga kapanpun.

Jika saya tidak bisa berharap lagi maka lebih baik menghapus semua kenangan tentangnya. Pilihan paling masuk akal bagi otak logis ini. Dan keputusan itulah yang terlontar. Egoisme ini memang pada akhirnya memenangi semua perdebatan. Lebih baik menyelamatkan diri sendiri daripada mengharapkan sesuatu yang tidak jelas. Ini adalah pilihan yang terbaik, solusi dengan resiko paling rendah dan efek yang paling minimal.

Maka saya pun kembali menutup hati, mengubur semua dalam-dalam. Berusaha kembali pada jati diri yang sebenarnya. Pria egois dengan kesendiriannya yang hidup dalam dinginnya angin malam. Ironis,, setelah serangkaian kemajuan dalam mempercayai manusia, saya pun harus kembali ke titik nol. Believe only myself.

Tapi sekali lagi, ini adalah pilihan paling logis dengan resiko paling kecil. Maka disinilah saya sekarang, kembali hidup dengan kedataran perasaan dan kekosongan nurani. I’m back..

Sunshine Song by Jason Mraz

Posted: Jumat, 24 September 2010 by Iqbal Fajar in
0

This a very good song by Jason Mraz. First sing at Jason's single concert at Chicago. The lyrics and the accoustic melody really inspired me a lot. You can get the song free from this link (http://www.4shared.com/audio/IhRXP6dO/Jason_Mraz_-_Sunshine_Song_Bea.htm)

Sunshine Song

Well sometimes the sun shines on
Other people's houses and not mine.
Some days the clouds paint the sky all gray
And it takes away my summertime.
Somehow the sun keeps shining upon you,
While I struggle to get mine.
If there's a light in everybody,
Send out your ray of sunshine.

I want to walk the same roads as everybody else, Through the trees and past the gates.
Getting high on heavenly breezes,
Making new friends along the way.
I won't ask much of nobody,
I'm just here to sing along.
And make my mistakes looks gracious,
And learn some lessons from my wrongs.

Well sometimes the sun shines on
Other people's houses and not mine.
Some days the clouds paint the sky all gray
And it takes away my summertime.
Somehow the sun keeps shining upon you,
While I struggle to get mine.
A little light never hurt nobody,
Send out your ray of sunshine.

Oh, if this little light of mine
Combined with yours today,
How many watts could we luminate?
How many villages could we save?
And my umbrella's tired of the weather,
Wearing me down.


Well, look at me now.

You should look as good as your outlook,
Would you mind if I took some time,
to soak up your light, your beautiful light?
You've got a paradise inside.
I get hungry for love and thirsty for life,
And much too full on the pain,
When I look to the sky to help me
And sometimes it looks like rain.

As the sun shines on other people's houses
And not mine,
And the sky paints those clouds in a way
That it takes away the summertime,
Somehow the sun keeps shining upon you,
while I kindly stand by.
If theres a light in everybody,
Send out your ray of sunshine

You're undeniably warm, you're cerulean,
You're perfect in desire.
Won't you hang around
so the sun, it can shine on me,
And the clouds they can roll away,
And the sky can become a possibility?
If there's a light in everybody,
Send out your ray of sunshine.

Ketika lelah datang kembali

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Sudah lama rasanya sejak terakhir kali saya terbangun seperti ini. Badan sedikit lemas, mata yang setengah terpejam dan kasur yang berubah menjadi surga dunia. Apalagi ini jam setengah 6 pagi. Sungguh suatu prestasi. Memang bukan hal aneh buat sebagian orang. Buat saya juga sebenarnya bukan hal yang anomaly mengingat jam tubuh memang sudah terprogram seperti itu. Bangun jam setengah enam pagi. Yang membedakannya adalah alasan dari bangun pagi ini. Biasanya saya terjaga dengan teriakan orang tua dari lantai bawah dengan mata yang masih memerah dan badan yang menggigil akibat kurang tidur. Penyebabnya tentu insomnia akut dan setengah buatan. Disebut setengah buatan karena jam biologis tubuh ini yang selalu akan berubah dari kantuk berat menjadi terjaga penuh stamina jika badan tidak diistarahatkan selepas jam 12 malam.

Dan memang itulah jam biologis yang sudah berubah semenjak setahun terakhir. Pekerjaan kantor yang cenderung monoton, klien yang tidak ada kejelasan, kuliah yang mulai tidak menarik lagi, kehidupan yang lekat dengan kesendiriaan, serta serangkaian rutinitas membosankan lainnya membuat hidup saya tidak berjalan dengan semestinya. Pada dasarnya, semangat dan energy tercipta sangat berlebihan di tubuh ini. Orang tua selalu bercerita bagaimana saya ketika masih belia selalu berlari kesana kemari, menabrak semua untuk kemudian terjatuh dan menangis keras lalu setelah diam, kembali lagi berlari seakan lupa semua sakit dan takut. Persis layaknya mesin lokomoti yang kelebihan tenaga. Itupun masih terjadi hingga kini. Kebiasaan berbicara yang cenderung menjadi cepat ketika saya bersemangat, melakukan pekerjaan secara cepat dan kadang tidak terarah. Baru ketika tenaga sudah habis saya akan terkulai lemas entah dimana dan entah dalam keadaan seperti apa.

Itulah saya ketika pertama kali diberi kepercayaan sebagai orang nomor dua di project kantor. Hampir satu bulan lebih saya tidak pulang dari kantor. Bekerja hingga subuh tiba, tertidur di kolong meja dan bersiap untuk pergi melaporkan progress kegiatan ke klien pagi harinya. Ritmik kerja yang sungguh cepat, padat dan menyenangkan. Yup, menjadi menyenangkan karena semua tenaga dan letupan di dada bisa tersalurkan. Dan seperti selayaknya mesin yang sudah bekerja keras, akhirnya saat untuk turun mesin pun tiba. Tidak sampai 2 minggu setelah project selesai dan beban kerja menurun, tubuh saya terkulai lemas di rumah sakit. Typhuss. Penyakit yang seingat saya menyambangi hampir tiap tahun dan selalu pada saat-saat yang sama. Ketika project atau pekerjaan selesai. Kalau dulu, saya akan terkulai lemas ketika kegiatan-kegiatan kemahasiwaan menurun seiring dimulainya ujian akhir.

Namun, hidup memang harus selalu berjalan pada satu langkah di depan. Itu juga yang terjadi pada saya. Setelah serangkaian pencapaian dalam menangani project, saya dipromosikan menjadi satu tingkat lebih tinggi. Posisi yang membuat saya tidak lagi bertanggung jawab terhadap hal teknis tapi lebih kearah manajerial dan marketing. Seiring dengan perubahan struktur, tugas yang awalnya multi tasking menjadi single task. Focus ke klien istilah atasan. Maka beban berat saya sebagai konseptor, development, penghubung bahkan problem solver kini dilimpakan pada orang lain. Tugas pun berubah dari “pekerjaan kasar” menjadi “pekerjaan intelek”. Datang ke klien, diskusi calon project, keliling di tempat klien hingga entertain klien. Common task of marketer. Dan hari-hari saya diisi dengan bersantai dijok mobil menunggu macetnya Jakarta dengan driver yang selalu setia menjemput di lobby kantor klien, diskusi ringan dan santai dengan klien yang seluruhnya dari kalangan pemerintahan, bersabar dengan birokrasi dan bertingkatnya hirarki, menemani rapat dan kunjungan, datang ke seminar hingga menunggu jadwal kosong sang birokrat.

Perlahan tapi pasti, energy yang mulai meletup pun semakin redup terbawa kenikmatan fasilitas dan kelonggaran pekerjaan. Tidak ada lagi spontanitas dan kreativitas, semua seakan tenggelam dalam pekerjaan intelektual yang sayangnya lebih berujung pada menunggu dan berharap. Well,, things goin worse that day. I couldn’t barely know my self and that make me just drowning in to desperate situation.

Kehidupan pun mulai perlahan berubah, energy yang terlalu besar akhirnya disalurkan pada hal-hal tidak produktif. Siang hari dihabiskan dengan internetan gratis, sesekali bermain game di tengah jam kantor dan akhirnya sindroma insomnia pun ikut-ikutan. Malam hari diisi dengan pikiran-pikiran tentang banyak hal, yang sayangnya ber aura negative. Pelampiasan dituangkan pada dinginnya udara malam, lenggangnya jalanan, berbungkus bungkus rokok bahkan pada tahapan tertentu berbotol-botol minuman keras. Satu-satunya hal positif yang dihasilkan oleh saya ialah tulisan-tulisan tentang pengalaman kehidupan, permasalahan social yang tidak pernah selesai hingga diary bodoh tentang pengakuan diri.

Maka ketika saya memutuskan untuk bergerak dan keluar dari kehidupan tidak berguna itu menuju perubahan besar, ada rasa gembira dan semangat disana. Pekerjaan baru, kamar baru, keadaan baru, sensasi baru. Walau harus diakui ada beberapa kejadian yang tidak diharapkan kehadirannya. Tapi totalitas akhirnya membawa saya pada keadaan yang setidaknya membuat saya bisa berjalan dengan kepala tegak. Tidak ada lagi tidur malam, waktu luang terbuang, pikiran yang tersia siakan. Kini, setidaknya saya bisa menikmati indahnya waktu luang yang dulu sudah saya anggap benda yang memuakkan.
Kantuk akibat kelelahan bekerja, pusing karena banyaknya tugas, pengakuan terhadap ketidakmampuan, hingga sakitnya hati akibat ditinggalkan, dengan cara yang sangat unik membuat letupan semangat tersalurkan. Kini, ditengah pusingnya nama kimia dan aplikasinya, saya bisa terlelap dan bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Entah bagaimana hari esok akan datang tapi setidaknya saya bisa menghadapi masalah dengan kreatifitas, spontanitas, semangat, dan kegembiraan seperti dahulu kala. Dan semua itu, tanpa disadari hadir ditengah ketidakpastian, tekanan, kesedihan, kelelahan dan kesendirian. Kini, walaupun hanya sedikit, saya bisa bangun dengan tatapan yang lebih tegar. Siap untuk menghadapi kehidupan dengan optimisme, harapan dan mimpi yang sekali lagi menemui peruntukannya. Semoga ini bukan hanya perjalanan singkat yang akhirnya harus saya akhiri dengan keterpurukan lagi. Semoga…

Teman

Posted: Selasa, 21 September 2010 by Iqbal Fajar in
0

"That's what a friend for :)"

Kata-kata itu meluncur begitu saja. Diketikkan dengan lancar, tanpa beban dan tanpa rencana di Yahoo Messanger. Lawan bicara saya membalas dengan terima kasih. Mungkin kata-kata itu biasa baginya. Dia yang dikelilingi oleh teman-teman setia, sahabat tercinta, pasti berulang kali mengatakannya dan mendengarnya. Tapi tidak bagi saya.

Seingat saya, kata-kata itu hanya terucap pada 3 orang saja. Ghea, seorang teman kuliah semasa sarjana; Yudo, juga teman kuliah di magister; dan si "cah ayu", begitu saya biasa memanggilnya, seorang teman chat dari forum. Dan seingat saya, memang ketiga orang itulah yang saya anggap manusia-manusia dengan hati murni, tanpa imbal balik, dan setia pada sebuah sistem yang kita kenal dengan nama persahabatan.

Mungkin aneh bagi kalian. Tapi persahabatan, pertemanan atau apapun namanya adalah hal langka yang jarang saya akui keberadaannya. Saya memang pribadi menyenangkan tapi bukan berarti orang-orang disekitar yang tertawa, bercanda, bercerita, berjalan bersama adalah teman atau sahabat bagi saya. Jujur saja, mereka hanya outsider dalam kehidupan. Tak lebih dari orang lain lebih dekat dari orang lainnya.

Bodoh rasanya kalau melihat diri ini. Seorang marketing yang dituntut memiliki sifat extrovert tinggi malah terbuai dengan ketidakpercayaan pada orang lain. Ya! Saya memang soliter. Bertemu orang, berkenalan, menyelami karakter masing-masing, hingga akhirnya cocok dan bersahabat adalah proses yang cukup saya hindari. Kesendirian adalah candu. Walau juga tidak munafik saya hanya manusia biasa yang butuh sosialisasi, butuh berbagi kepercayaan, butuh pelampiasan perasaan.

Kepercayaan. Itu yang mungkin hilang dari diri ini. Ketakutan. Mungkin juga penyebab saya selalu lari dari pertemanan. Maka, sejarah saya dalam persahabatan dan percintaan memang hanya hitungan jari. Pacar yang menjadi tempat berbagi juga cuma segelintir. Itupun kini sudah membuat satu alasan lainnya bagi saya untuk tetap sendiri.

Maka ketika ada orang-orang seperti Ghea, Yudo dan "cah ayu", saya sepenuhnya memberikan kepercayaan pada mereka. Bahkan dalam cara yang mungkin tidak disadari oleh mereka sendiri. Teman yang langka itu buat saya adalah harta karena hanya pada mereka saya bisa benar-benar hidup dan merasakan indahnya berbagi. Kepada mereka lah kesendirian bisa saya buang jauh jauh. Hanya dengan mereka, tawa bisa sangat lebar dan keras.

Bagi mereka, saya mungkin hanya seorang sahabat, teman atau mungkin orang yang sedikit lebih spesial saja. Tapi tak apa. Kepercayaan dan persahabatan ini tidak menuntut dua arah. Tapi entah mengapa, saya cukup yakin bahwa kepercayaan ini akan tetap terjaga di tangan mereka.

Thanks my precious friend. It's honour to know, to be friend with, and to share this trust with all of u.

Luang Kita

Posted: Rabu, 08 September 2010 by Iqbal Fajar in
0

Sayang,
Kita terlena
Pada manisnya kekuatan
Pada gemulainya kesenjangan
Pada empuknya kedudukan

Lupa kita pada kerasnya tanah
Amnesia kita pada sakitnya lelah
Tak sadar kita pada tajamnya kenyataan

Karena impian adalah kereta
Datang diujung dengan cahaya
Lalu tiba dengan kerasnya tumbukan

Entah mengapa kita papa
Khilaf pada segarnya neraka
Tidur dalam kusutnya nista

Inikah akhirnya?

Malam kita
Jalanan kita
Angin kita
Nafas kita

Dan mengapa dengan bodohnya kita masih berdiam menanti cahaya kereta diujung jalanan hanya untuk tahu hancur berberai tertumbur nestapa ?

Jakarta (tidak) sama dengan Indonesia

Posted: Selasa, 17 Agustus 2010 by Iqbal Fajar in
0

Ibukota negara adalah representatif dari negara itu. Statement yang harus diakui di sadari oleh kita semua. Jakarta sudah menjadi panutan dan acuan oleh sebagian besar masyarakat kita. Buktinya semua berlomba-lomba menjadi dan menuju Jakarta. Kota-kota besar di bangun dengan semangat yang sama seperti Jakarta. Penuh dengan modernitas, lengkap dengan tatanan kehidupan yang mengiringinya. Orang-orang berebutan menyesaki ibukota setiap kali lebaran usai. Atas nama kehidupan yang lebih baik katanya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kehidupan Jakarta. Modernitas dan perkembangan adalah suatu hal yang wajar bahkan dibutuhkan. Dengan semua kemajuan teknologi dan peradaban, kita bisa sejajar dengan bangsa lain di dunia. Lalu apa yang salah dari Jakarta? Sayangnya jawabannya adalah manusia-manusia penghuninya (termasuk saya). Masyarakat Jakarta terbiasa dengan individualisme, egois, menang sendiri, tak teratur, indisipliner, anarkis, vandalisme dan sederetan catatan buruk lainnya. Tidak semua memang tapi itulah masalah kedua. Tanpa disadari kita sudah melakukan dan mengamininya. Siapa yang tidak suka marah2 tatkala macet? Padahal dilain waktu mungkin kita menyerobot antrian dengan alasan terburu buru. Marah pada sopir bus yang tidak mau berhenti sempurna padahal kita tetap melaju kencang dengan kendaraan pribadi walau ada penyebrang yang melambaikan tangan.

Tanpa disadari pula, sikap itu menjadi prototype kita tentang sebuah kota dan negara. Coba saja dengar pendapat teman-teman dari daerah tentang kelakuan warga Jakarta. "Wajarlah, semua kota besar seperti itu" atau "Hidup di kota itu keras, harus siap sikut menyikut". Dan semua anggapan tentang kehidupan kota yang rendah kadar toleransi itu menjadi mimpi kita tentang kehidupan yang lebih baik.

Sadarkah kita, dengan semua pembenaran tentang wujud kehidupan utopia itu berlawanan dengan semangat negeri ini? Bangsa kita bukanlah bangsa Barat yang hidup dengan individualisme. Jika menilik demografi dan geografi negara ini, seharusnya kita sadar bahwa bangsa besar ini bukan hidup melalui menjatuhkan satu sama lainnya. Kekayaan alam yang berlimpah dan kondisi geografis yang relatif mudah menjadi dasar dari sifat kolektivisme dan kekeluargaan. Dengan alam yang ramah kita dituntut untuk menjaga dan hidup bersama alam. Manusia-manusianya berkumpul dan tolong menolong untuk memanfaatkan pemberian Tuhan, bukan mengeruk dan menyimpannya untuk pribadi-pribadi tertentu. Coba tengok suku-suku asli yang belum terkontaminasi peradaban Barat. Keluarga dan kelompok adalah hal penting yang harus dijaga. Bahkan hingga kini naluri itu tidak bisa dihilangkan. Kemanapun kita pergi, tempat yang nyaman adalah bersama kelompok, entah itu bentuknya keluarga, teman, agama.

Atas dasar peradaban modern yang sayangnya diterjemahkan dalam bentuk sempit peradaban Barat, kita melupakan tradisi ketimuran yang menjadi naluri utama. Wajar peradaban Barat mengutamakan ekslusifitas dan kapitalisme. Demografi dan geografi mereka yang terpencar, alam yang tidak ramah memaksa mereka melakukan seleksi alam dan pengerukan kekayaan secara masif. Beberapa pendapat mengatakan bahwa dengan seleksi alam dan kapitalisasi itulah peradaban Barat berkembang dengan cepat. Saya sendiri pihak yang tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat itu. Seleksi itu perlu, tapi bukan dengan hidup diatas mayat orang lain. Toh, Jepang dengan tradisi yang tetap dipertahankan bisa menjadi salah satu sentra ekonomi dunia. Belum lagi Cina dengan kolektifitas masifnya yang membanjiri dunia dengan produk alternatifnya. Kalau mereka bangsa Timur bisa Berjaya dengan tradisinya, kenapa kita tidak ?

Tiap bangsa pasti punya kearifan dan budayanya sendiri. Kesalahan saya dan sebagian besar dari kita ialah melupakan kearifan, budaya, nilai luhur dan naluri alamiah yang sudah diturunkan oleh pendahulu kita. Atas nama modernisasi kita tinggalkan kekeluargaan, tenggang rasa, tolong menolong, kolektivitas, dan kecintaan pada alam. Kita lebih nyaman dengan individualisme, sikut menyikut, persaingan tidak sehat, pengerukan sumberdaya membabibuta, serta budaya implan lainnya. Atas nama modernisasi, kemapanan, perubahan, kehidupan yang lebih baik, tanpa sadar kita hanya menggali lubang kubur sendiri yang kita siapkan bagi anak cucu.

Belum terlambat untuk berubah. Jakarta dan kota-kota besar setipe lainnya memang sudah rusak oleh manusia-manusianya. Tak ada yang terlambat, setidaknya masih banyak kota, desa, kampung yang tidak harus menjadi seperti Jakarta karena kita semua sadar bahwa Jakarta dengan semua budaya Baratnya bukan lah Indonesia yang sebenarnya.

Selamat Hari Merdeka !

Malam kita, kami, anda, kalian

Posted: Selasa, 27 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
0

Malam belum habis kawan.

Karena masih berdua kita disini
Menari diatas kesunyian
Bercinta didalam dinginnya impian

Salahkah berdiam dalam keramaian?
Apakah dosa tertawa ditengah kesendirian?

Kita memang bukan serupa mereka
Karena malam kita siangnya anda
Apalagi tidur kami yang berupa gembira kalian

Lalu biarkan menjelma
Karena malam kami belum tiba masa redupnya.

Pagi kita

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Pagi teman ku,
Siapa sahabat kita sekarang?
Hanya kata2 tak berbalas jawabmu
Hanya suara tak terjawab lanjutmu

Kita sendiri lagi

Serakan tugas
Dentingan dosa
Hentakan nada
Lelahnya tawa

Ya, hanya mereka sahabat kita

Pada setiap nafas kita berdusta
Tentang cinta
Surga
Nafsu

Ya!
Inilah kita !

Jangan lelah menghela
Karena pagi kita belum tiba masanya.

The Place I Call Home

Posted: Senin, 19 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
0

Sebagian dari kita mungkin dianugrahi sedikit kelebihan dengan mempunyai rumah. Entah bentuknya bangunan bertingkat dengan luas tanah sebesar lapangan bola atau rumah kecil sederhana dengan furniture yang itu-itu saja. Bagaimanapun bentuknya, saya yakin rumah adalah tempat paling nyaman bagi anda. Tempat kita bisa merebahkan badan untuk sejenak melupakan masalah. Menghisap sedikit kenikmatan yang bernama ketenangan. Yah,, mungkin definisi rumah juga tidak bisa dipersempit dengan lapisan tembok yang ditutupi dengan atap sebagai peneduh. Rumah menurut saya bisa berwujud komunitas, kehangatan persaudaraan, kelembutan alam atau kenyamanan jalanan. Intinya, rumah ialah sesuatu yang bisa membuat kita lepas dari semua topeng-topeng yang membungkus keseharian kita.

Maka jika mengacu definisi tersebut, jalanan adalah rumah saya yang sesungguhnya karena di jalananlah saya menemukan hidup yang sebenarnya. Kesederhanaan, kekerabatan, kesombongan, kegilaan, ketenangan dan paling penting kesendirian. Jalanan menjadi tempat saya bersitirahat, bermain, bersukacita, menangis, tersenyum, berteriak, dan meratap. Tidak ada tempat yang memberikan sensasi itu lebih daripada jalanan.

Kenapa jalanan? Bukankah jalanan adalah media berkumpulnya kekerasan, ketamakan, kejahatan ? Itulah salahnya ketika kita melihat jalanan sebagai suatu bagian terpisah. Hanya melalui media-media dengan propaganda picisannya. Tentang tingginya pencopetan, maraknya pembunuhan, tunawisma yang bertebaran dan entah apalagi kata mereka. Percayalah, semua itu hanyalah sisi lain dari jalanan. Tahukah anda, bahwa di jalanan, di tempat semua kriminalitas itu berkumpul terdapat kebajikan yang terpendam? Jangan lihat dari tempat anda yang tinggi, dengan pakaian mahal dan handphone yang lux. Tanggalkan semua, berjalanlah dengan nurani, diatas kaki anda sendiri. Berjalanlah, resapi, pelajari dengan khidmat.

Anda akan temukan bahwa dibalik kesulitan seorang nenek tua yang merangkak, masih mau ia berbagi bekal makan siangnya. Diantara sulitnya pembeli, seorang pedagang tetap ikhlas berbagi. Mungkin tidak disetiap ujung kota kita temui kebaikan, tapi percayalah. Negeri ini belum habis kebaikannya. Mungkin keramahan itu langka disini, tapi bukan alasan kita melupakannya. Bukan karena jalanan adalah tempat yang sedemikian keras sehingga kita harus mencampakkannya.

Saya sendiri termasuk penggemar jalanan. Setiap meter, setiap langkah, memberi warna baru dalam kehidupan. Saya teringat masa kecil dulu ketika pulang sekolah adalah saat-saat paling menggembirakan karena berarti saya dan teman-teman akan berjalan kaki dari sekolah kami menuju rumah melewati pedesaan. Ingatan itu masih lekat kala kami bermain di gorong-gorong pipa, bergulingan di tanah merah, menyapa pak tua (saya lupa namanya) yang setia menjaga kebunnya. Dari pak tua itu pula kami belajar tentang mencabut ubi, bermain-main dengan kambingnya atau ikut terjun ke empang dimasa pengurasan.

Jalanan masa kecil itulah yang membentuk jiwa kesederhanaan dan social saya. Bandingkan dengan anak sekarang. Pulang sekolah langsung menunggu jemputan menuju rumah sembari sibuk dengan gadget mininya. Kalau bandel, bermain ke warnet atau mall. Terkungkung dalam lapisan-lapisan beton, berhadapan dengan grafis berbentuk pahlawan, tembak-tembakan atau sepakbola. Dengan itulah mereka tumbuh dan berkembang, dengan kepribadian persaingan, individualisme, kekerasan, dalam kecilnya bilik-bilik atau tanpa batasnya dunia maya. Disanalah mereka tumbuh dan belajar. Jangan heran jika karakteristiknya tidak jauh dari sikut-menyikut, soliter, ekslusivisme, dan rendahnya kesadaran.

Percayalah, ketika di jalanan bahkan seorang professor psikologi tidak dapat menjelaskan seluruh fenomena yang ada disana. Banyak sekali anomali-anomali yang terjadi. Seorang pemuda dengan dandanan lusuh dan gembelnya ternyata bisa berargumentasi dengan cerdas tentang buruknya pengelolaan negeri. Atau tukang ojek yang dengan semangat 45 menjelaskan keteraturan dan siklus macet secara sistematis serta ilmiah. Lain waktu seorang kernet berteori tentang best practice pembagian komisi.

Terlepas dari itu, jalanan juga teman cerita yang paling sabar. Dengannya saya bisa membuka semua kebohongan dan topeng yang dikenakan selama keseharian. Saya bisa memaki, mengutuk, menangis, berteriak, tertawa, menjadi gila tanpa ada yang protes. Di jalananlah saya bisa menulis, berpuisi, bersandiwara, merenung, mengkaji, dan mengerti. Saat yang paling saya rindukan dari jalanan adalah kala menyambanginya di tengah malam, menyusuri lenggangnya aspal, mengukur dengan tiap langkah sembari menikmati hembusan angin malam. Dan tanpa dipaksa, semua beban dan masalah terlebur dengan sempurna. Perfect moment.

Jalanan mungkin tidak seramah dan senyaman yang kita harapkan. Banyak kepentingan disana, banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi dan mencari pemuasnya. tapi cobalah lebih merendah dan menyelami bahasa-bahasa mereka. Mungkin anda akan menemukan rumah baru serta menambatkan hati disana. Enjoy the road :)

Bikers, The Beginning and The Journey

Posted: Selasa, 13 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
0

Persentuhan pertama saya dengan sepeda motor terjadi ketika pulang kampung ke kampung ibu di Lahat. Almarhum kakek, saat itu punya motor tua hasil menabungnya ketika muda. Honda merah (lupa serinya) yang masih terawat. Saya yang ketika itu baru masuk kuliah, belum bisa mengendarai motor. Selain karena saya lebih prefer menggunakan sepeda, motor juga barang yang termasuk lux saat itu. Orangtua saya berpendapat belum saatnya saya menggunakan sepeda motor. Biar serius belajar katanya.

Jadilah liburan tahun itu rasanya liburan yang paling menyenangkan dibanding liburan-liburan tahunan lainnya. Bersama dengan kawan lama, Redi, kami berkeliling mengitari kota Lahat yang memang hanya sekelumit itu saja. Sensasi ketika tarikan gas pertama, perpindahan gigi yang seret karena kurang oli, mendorong motor dengan mekanisme engine break karena engkolan tidak berhasil, kebingungan mengatur sein, mendaki tanjakan dengan gigi 1 sampai mesin tua Honda bau hangus, hingga mencapai kecepatan tertinggi di gigi 3 yang hanya secepat 60 km/jam. Itulah saat-saat pertama kali saya terinisiasi pada kecepatan, angin yang menerpa wajah, deruman motor hingga nikmatnya kesendirian. Sangking tidak mau berpisahnya pada motor merah itu, saya sempat berpikir untuk tinggal lebih lama di Lahat hanya demi bercengkrama dengan motor Honda merah tua itu. Permintaan yang langsung di jawab Ibu dengan mata melotot.

Motor kedua yang jadi tunggangan saya juga masih berstatus pinjaman. Teman satu jurusan, Johan, yang dibekali oleh orang tuanya sebuah motor Honda Astrea tahun 1994 jadi target belajar motor saya. Masih teringat ketika Johan mengizinkan saya membonceng dia dengan motornya. Sepanjang jalan Johan terus menerus mengarahkan saya yang masih kagok memegang stang sekaligus berteriak teriak "pelan pelan, awas, belok belok, lobang !!" dan teriakan sejenisnya. Antara takut motornya menabrak dan keselamatan yang terancam. Setelah lancar, Johan pula yang berbaik hati meminjamkan motor untuk mengapel Nia, cewe incaran saya ketika itu. Ada kejadian menarik. Saat membonceng Nia, saya yang masih newbie dalam mengendarai motor, beberapa kali hampir menabrak dan mengerem mendadak. Nia sempat menasehati saya untuk menggunakan klakson. Tak lupa pula membandingkan kemampuan motor saya dengan saudaranya yang mahir dan tidak sradak sruduk. Seingat saya, sejak saat itulah saya berjanji akan membuktikan kalau saya bisa mengendarai motor dengan membuat boncengan saya nyaman dan tenang.

Motor pertama yang benar-benar saya miliki (yah,,milik orang tua maksudnya hehehe) adalah Honda Supra X tahun 2003. Walaupun motor bekas, mesin dan bodinya masih bagus. Baru dipakai 1 tahun. Dengan motor pribadi itulah petualangan sebagai bikers dimulai. Bermula dari permintaan mantan pacar untuk berjalan jalan keliling kampus kami. Awalnya hanya seputaran kampus dan pada siang hari ketika pulang kuliah. Dasar mantan saya memang anak rumahan, jadilah dia tidak puas hanya berkeliling kampus saja. Petualangan pun dimulai. Berawal dari mengitari desa-desa disekitar kampus, petualangan kami berlanjut ke daerah sekitar Bogor. Sebut saja jalan belakang Atang Sedjaya, Balumbang Jaya, Cibanteng Proyek, pedalaman Ciawi, sampai jalur-jalur tikus lainnya. Terkadang perjalanan itu dimulai dari iseng-iseng dan keingintahuan ditambah dengan prinsip anak pecinta alam yang melekat kuat di diri saya, yaitu selalu ada jalan keluar di ujung sana. Prinsip bodoh yang mengantarkan kami berkeliling pedalaman bogor hingga malam tiba.

Setelah kandasnya hubungan kami, kebiasaan mengukur jalan, tidak serta merta saya lupakan. Malah makin menjadi. Kalau dulu saya masih memikirkan waktu dan cuaca, setelah sendiri saya kerapkali setelah berkendara sendiri menembus berbagai rintangan, mulai dari hujan badai, jalanan yang tak beraspal, tanjakan curam, jurang yang menganga, pedesaan yang terpencil, hingga kebun teh yang menyegarkan. Sebagai pengganti teman, saya menggunakan mp3 sebagai resep jitu. Awalnya memang hanya sebagai penghilang kantuk dan bosan. Lama kelamaan saya pun kecanduan. Tanpa hentakan lagu di kuping, bermotor rasaya kurang klop. Bahkan cenderung tegang dan emosian.

Jarak tempuh pun mulai berkembang. Dari radius paling jauh Ciawi, saya mulai merambah ke tempat2 baru dan eksotis. Sebut saja Cigamea, Gunung Salak Endah, Curug Nangka, pemandian air panas Cipanas hingga daerah Puncak. Perlahan tapi pasti secara rutin saya mengunjungi tempat2 unik tersebut. Terkadang terlalu sering. Bisa tiap hari. Waktunya juga anomali. Kalau sedang waras, saya berangkat ke Cigamea siang dan maghrib sudah tiba di kostan. Tapi kalau lagi suntuk, jam 12 malam pun saya tidak ragu menggeber motor ke Puncak. Baru turun gunung setelah puas menikmati segarnya udara puncak, pedasnya jagung bakar Masjid At-Ta’awun dan hangatnya sekoteng Puncak Pass.

Mulai saat-saat itulah seingat saya, terjadi perubahan paradigma tentang bermotor. Bukan lagi untuk mencapai suatu tempat, menemukan hal-hal baru, ajang pamer ke teman atau menghabiskan waktu. Mengendarai motor, bagi saya sudah menjadi terapi. Bukan tempat tujuan yang jadi titik akhir tapi perjalanan itu sendiri yang saya tuju. Dari perjalanan kampus darmaga ke puncak, saya banyak berfikir, mengevaluasi diri, bertanya pada nurani, menata kekacauan yang sudah terjadi serta memikirkan mimpi-mimpi yang akan jadi tujuan. Begitupun dengan perjalanan Bogor-Bandung yang hanya diputuskan dalam waktu 2 jam saja. Tanpa persiapan, tanpa tahu jalan, tanpa tempat menginap, saya membawa badan dan Supra kesayangan menuju Bandung demi sebuah perenungan. Ketika itu saya dalam saat-saat stress dan kalut. Draft skripsi yang sudah ditolak untuk keberapakalinya, kembali harus menunggu antrian panjang pengerjaan oleh dosen pembimbing yang super sibuk. Padahal sudah jengah melihat teman-teman seangkatan yang satu persatu lulus dan bekerja. Antara Bogor-Bandung itulah saya menemukan arti sebuah perjalanan, makna dan pelajaran yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menjalaninya.

Maka ketika saya lulus dengan predikat memuaskan (anda pasti bisa mengira berapa IPK saya kan :)), saya yang diberkahi doa ibunda tercinta, mendapatkan kerja di kota Jakarta. Kota yang selama ini dekat tapi jauh. Dekat karena jarak yang hanya 2 jam perjalanan, jauh karena saya tidak punya pengalaman menapaki kehidupan dan jalanan jakarta. Seperti yang sudah diduga, perubahan ekstrim antara kehidupan mahasiswa di Bogor menjadi keseharian karyawan di Jakarta membuat saya stress. Jalanan yang macet, waktu kerja yang sangat pagi, kehidupan yang individualis serta hal lainnya. Untungnya Jakarta menawarkan pesona sekaligus solusi bagi masalah saya. Jalanan boleh macet total siang hari, tapi malam hari adalah kebalikannya. Dinginnya malam, tenangnya suasana taman kota dan paling penting jalanan yang kosong dan lenggang. Sungguh terapi yang adiktif. Kebiasaan yang berubah menjadi kebutuhan. Kala itu, hanya angin malam dan derasnya adrenalin dari kecepatan tinggi yang bisa menidurkan saya.

Motor tunggangan pun berubah. Supra X yang telah menemani selama 4 tahun masa kuliah digantikan oleh Pulsar 180 cc. Sempat orangtua bertanya,

"Kenapa tidak mobil? Lebih bergengsi, nyaman dan aman."
"Gak ah, sudah terlanjur cinta dengan motor" jawab saya

Kecintaan pada motor memang mendarah daging. Bahkan hingga saat ini, saya belum bisa mengendarai mobil dengan alasan simpel. Masih nyaman dengan bermotor. Padahal jika dibandingkan mobil, motor adalah moda kendaraan yang jauh lebih inferior. Panas, debu, polusi, tidak nyaman, hanya muat dua orang, cenderung dipandang kelas menengah dan kelemahan-kelemahan lainnya. Tapi tidak ada yang bisa (belum) menggantikan motor dihati saya.

Persentuhan saya dengan derasnya angin alam, sempitnya celah jalanan, terpacunya adrenalin, indahnya alam, dan nyamannya kesendirian membawa saya pada perjalanan-perjalanan bodoh lainnya. Sebut saja touring rutin ke Bandung, petualangan ke Sukabumi, perjalanan 3 hari ke Lampung atau yang baru-baru ini. Single touring menuju Jogja. Semua saya lakukan sendiri. Perjalanan-perjalanan yang menurut beberapa orang bodoh, cari masalah, kurang kerjaan dan tidak bermanfaat itu memberikan hikmatnya pada saya, dalam bentuk yang sebenar-benarnya. Jalanan mengajarkan saya tentang keberanian, kekuatan, pantang menyerah, kebangkitan, mimpi, kesederhanaan, tangisan, kemarahan, kekalahan, persahabatan, dan kesendirian. Jalanan pula yang membentuk kepribadian dan harga diri.

Ini bukan cerita tentang kenyamanan. Bukan epik tentang petualangan, ataupun indahnya kebersamaan. Ini adalah kisah tentang keindahan jalanan yang hanya dimengerti oleh mereka yang mau menyambanginya.

Empty Backpack

Posted: Kamis, 01 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
2

Sebagian dari kita mungkin nyaman dengan perlindungan mobil mewah, menikmati indahnya pakaian branded, hangatnya keluarga atau manisnya persahabatan. Prototype sebagian besar warga metropolitan. Harus diakui, itulah mimpi ibukota negeri ini (juga sebagian besar warga kota lainnya). Kemakmuran, kemapanan, ketenangan, ekslusifitas dan segala atributnya. Tidak ada yang salah disana. Memang itu mimpi manusia.

Atau kita beralih ke yang lebih konservatif. Siapa yang tidak ingin pulang ke rumah yang nyaman dengan istri yang manis membukakan pintu, anak yang tertawa ceria serta bagi sebagian orang ketenangan dalam kehidupan. Bagi anak muda, bisa berbentuk teman yang menemani bercanda, sahabat yang bisa menjaga rahasia atau pasangan yang mengerti keadaan kita. Terlihat sempurna bukan? Walaupun mimpi itu sebagian besarnya adalah buah dari tontonan sinetron di layar televisi kita, harus diakui ambisi untuk hidup yang lebih baik ada di tiap-tiap raga kita.

Ambisi demi hidup yang lebih baik itu tanpa terasa merasuk di banyak sendi kehidupan. Kalau iman dan tekad masih kuat, ambisi hadir dalam bentuk positif. Kerja keras, pantang menyerah, rajin beribadah, integritas atau keteguhan hati. Bahayanya adalah ketika nafsu berkuasa. Muncullah penyakit negara ini, kemalasan, kebohongan, kecurangan, hingga yang paling konkrit : korupsi.

Tanpa sadar, semua ambisi menjadi tekanan. Tanpa sadar kita hidup dalam tuntutan. Tanpa sadar semua adalah pertarungan. Atas nama ambisi itu, energi kita banyak terbuang. Kelelahan karena sesuatu yang mungkin tidak seharusnya menjadi penghalang.

Saya ingin mencatut filosofi empty backpack dari Ryan Bingham di film Up In The Air. Bingham mengumpamakan dirikita dan ambisi dalam hidup sebagai sebuah tas dan isinya. Pada awalnya, tas kita kosong, hanya beban tas yang dirasakan. Kemudian kita mulai memasukkan banyak hal kedalamnya. Laptop, buku, meja kerja, orang terdekat kita, mobil, rumah kalau perlu seluruh kekayaan kita dimasukkan kesana.

Sekarang cobalah berjalan dengan tas anda. Berat bukan? Itulah kehidupan kita. Ketika lahir kita hanya membawa tas kosong. Semakin bertambah usia, pengalaman, kemapanan, maka semakin banyaklah ambisi yang kita masukkan ke tas kita. Hingga pada akhirnya, kita tidak mampu bergerak karena beratnya ambisi itu.

Sayangnya banyak orang tidak mengerti beratnya sebuah keinginan. Kita membebani diri dengan banyak hal tapi tidak menyadari bahwa sebuah tas ternyata juga punya batas. Entah itu kapasitasnya, kekuatannya dan paling penting ialah kemampuan manusianya.

Saya tidak meminta anda mengosongkan tas tersebut. Cukup pilih semampu anda, dan jangan biarkan isi tas anda dipenuhi oleh barang yang mungkin tidak terlalu penting sebenarnya. Masih banyak barang penting yang bisa diisi di tas anda. Sesuatu yang bisa anda temui dengan berjalan lebih jauh dari biasanya. Sesuatu yang bisa kita lakukan jika dan hanya jika tas kita tidak terlalu penuh dan menghambat perjalanan. Semoga kita tergolong manusia yang berjalan lebih jauh daripada manusia yang kelelahan memanggul tasnya.

Topeng

Posted: Selasa, 22 Juni 2010 by Iqbal Fajar in
0

Berapa banyak topeng yang kita gunakan?

Pertanyaan aneh dan tidak jelas. Bukan topeng biasa yang saya tanyakan. Tapi topeng di kehidupan berupa rasa sayang, kekesalan, kebohongan, kemunafikan, ataupun ketidakjujuran. Bangsa kita terbiasa dengan lapisan topeng yang dipakai sehari-hari. Atas nama kebaikan, atas nama stabilitas, atas nama menghindari friksi dan pembenaran lainnya. Bangsa ini memang dikenal dengan ketulusan hati, keramahtamahan, dan kesopanannya. Sayangnya, kenyataan yang sering saya temukan berkata sebaliknya.
Entah itu berupa bisik-bisik dibelakang tembok, konspirasi dari ruang rapat, hujatan di belakang layar dan sejenisnya. Dan sayangnya itu ditemukan dalam hampir setiap langkah saya. Sadar atau tidak sadar kita semua melakukannya. Gosip tentang rentang gaji yang bagaikan langit dan bumi, cerita tentang kesalahan seorang rekan, perselingkuhan sesama rekan kerja, pimpinan yang terlalu takut melangkah atau hujatan terhadap lemahnya sistem.

Tapi coba lihatlah, berapa banyak dari keluhan, umpatan, gossip, cerita tersebut yang muncul ke permukaan? Sebagian besar hanya riakan kecil di ruang rapat walaupun arus besar pergolakan sebenarnya terjadi di arus bawah. Pelakunya memakai topeng-topengnya. Sesuai dengan karakter, kebutuhan dan keberpihakannya. Ada yang nyaman dengan topeng kalemnya, santai dengan topeng anak penurutnya atau bahkan terang-terang sakit hati dengan wujud topeng kemarahannya. Tidak ada yang tahu apa, siapa, bagaimana bentuk asli dibalik topeng itu. Tidak anda, tidak saya, juga orang lainnya. Hanya si pemakai topeng itu sendiri yang bisa berkaca pada kejernihan hatinya.

Saya sendiri termasuk manusia yang nyaman dengan topeng anak nakal. Bisa berupa mulut yang iseng mencela, kata-kata yang tidak pada tempatnya, keakraban yang kadang berlebihan, kelakuan yang childish, atau kurangnya tata karma. Padahal saya juga terkadang tidak nyaman dengan topeng itu. Tapi topeng inilah yang menurut saya paling bisa merepresentasikan jiwa. Daripada menjadi anak manis yang kerjanya menjilat, lebih baik menjadi perhatian dengan tingkah laku yang urakan. Konsekuensinya memang banyak. Anggapan orang tentang ketidakdewasaan, tidak professional, pemalas, tukang onar, dan keras kepala adalah kenyataan yang harus diterima. Entah berapa banyak masalah yang sudah diterima sebagai dampak penggunaan topeng anak nakal itu. Mulai dari keributan dengan kakak kelas, perang dingin dengan rekan kerja, KPI yang katanya tidak baik, sampai ditolak oleh seorang wanita dengan alasan terlalu kekanakkanakan.

Topeng yang kita bicarakan ini menurut saya adalah representasi ketidaknyamanan kita pada keadaan. Bentuk ketidaknyamanan itupun diwujudkan dalam suatu perlindungan terhadap gangguan dari luar. Berawal dari sanalah topeng itu terbentuk. Semakin lingkungan tidak nyaman, maka semakin berlapis dan beragamlah topeng yang kita pakai. Hingga terkadang kita tidak tahu lagi siapa diri kita sebenarnya.

Topeng tetaplah topeng. Tidak ada yang nyaman dengannya karena nurani tidak bisa dibohongi. Lambat laun, rasa bersalah dan ketidaknyamanan akan menghantui. Ketika itu tejadi, berhentilah sejenak. Keluar dari sistem anda lalu lepaskan satu per satu topeng yang anda pakai. Kemudian tersenyumlah, menangislah, marahlah, keluarkan semua. Topeng tetaplah topeng. Hanya hiasan, hanya pajangan. Bukan tujuan apalagi kehidupan. Lalu melangkahlah. Dengan wajah anda yang sebenarnya karena nyawa ini terlalu berharga untuk dihabiskan dari balik topeng-topeng kehidupan.

Semoga topeng-topeng kita tetaplah topeng-topeng biasa. Bukan hidup kita, bukan tujuan kita.

Ini memang dunia gila

Posted: Senin, 14 Juni 2010 by Iqbal Fajar in
0

Ketika sampah berbau harum
Maka inilah yang dinamakan dunia kita
Ketika bangkai adalah cemilan
Karena itulah negeri kita
Kabur. Semu. Fiksi.
Diatasnya lah kita berdiri
Mengasihani kemakmuran dan kesejahteraan

Kawan !
Bangun dan berteriaklah,
Tak perlu lagi keraguan memenuhi sadarmu

Ini memang dunia kita, kota kita, nyawa kita.
Maka menangislah malam ini,
Agar biru langitmu esok.
Lalu kita pergi dari rutinitas jahanam ini.
Mekar bersama hembusan udara.

13/06/10

Ps :
Noted at train in the middle way going back home. After 2 days fulled by fuckin office matter.

Happy Birthday

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Happy birthday Iqbal, Kid, Satria, Dark Angel, Code Breaker, and a playboy wanna be. Happy birthday to all of u. May this world always become our playground

Atas Nama Keadilan

Posted: Rabu, 09 Juni 2010 by Iqbal Fajar in
0

“Hanya orang-orang yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan”

M.T. Zen, seorang sahabat Soe Hok-Gie


Quote dari buku Soe Hok-Gie… sekali lagi itu benar-benar membekas dihati. Di zaman yang penuh kebohongan, manipulasi, dan penghianatan ini, keadilan adalah barang mahal. Jangan tanyakan tentang contoh. Buka saja media cetak apapun hari ini. Paling tidak ada satu berita tentang keadilan yang terusik disana. Walaupun belum pula jelas siapa yang benar dan siapa yang salah atau malah tidak ada yang benar. Yang pasti penindasan sudah menjadi hal jamak di dunia ini. Pelakunya pun beragam. Bisa pribadi yang merasa kepentingan pribadi adalah segalanya, kelompok yang memperjuangkan kebebasan tanpa kontrolnya, atau negara yang berjuang demi tanah airnya yang sebenarnya tidak pernah ada. Atau mungkin saya yang selalu membuang puntung rokok sembarangan atau anda yang menggunakan fasilitas kantor demi kepentingan pribadi seperti membaca tulisan tidak jelas ini.

Keadilan adalah milik yang berkuasa. Frasa yang harus diamini dengan tawa masam karena itulah kenyataan yang kita lihat. Bagaimana mungkin seorang nenek yang mengambil beberapa butir semangka demi mengisi makan sehari-hari harus mendekam dalam penjara sedangkan pengusaha yang terang-terangan menghancurkan suatu kawasan dengan “bencana alamnya” dapat melenggang kangkung melaksanakan pernikahan putranya di salah satu hotel terbaik di Jakarta. Keadilan selalu buta dan merapat ke arah kekuasaan. Hukum alam yang tidak akan pernah berubah. Sadar karena hal itu pula, mascot dewi Themis dirupakan dengan timbangan di tangan serta mata yang tertutup. Sebuah pencitraan tentang hukum yang tidak akan pernah diketahui kebenarannya. Themis sendiri juga sebenarnya bukan dewi kebenaran yang sejati. Perlakuannya yang meminta kurban sebagai imbalan agar kapal Aghamemnon bisa berlayar ke Troya adalah suatu ketidakadilan.

Begitulah bentuk keadilan. Banyak orang yang memaki tentang lemahnya penegakan hukum, banyak orang yang berkeluh kesah tentang tidak adilnya keadaan, atau apatisme terhadap tegaknya kebenaran. Tapi sangat sedikit yang berani bergerak untuk meminta keadilannya. Sebagian besar dari kita hanya berani mengutuk dalam hati atau paling hebat memaki dengan ancaman pada polisi yang menilang dengan alasan tidak jelas. Sebagian besar memilih diam dan menawarkan selembar limapuluh ribuan demi menghindari sidang. Padahal, jika dalam jalur yang sebenarnya, kita cukup membayar 45 ribu untuk pasal sederhana atau bahkan beradu argument dengan alasan yang logis. Tapi kita terlalu malas memperjuangkan keadilan kita yang berharga 5000 rupiah itu. Kompromi pihak-pihak lemah terhadap pemaksaan ego kalangan kuat dengan alasan “daripada ribet..” Menyedihkan…

Sayangnya bangsa ini tidak pernah sadar kalau keadilan seharga 5000 rupiah itulah yang membuat kita tersungkur dalam keterbelakangan. Dengan dalih penyelamatan negara kita menerima bantuan dari IMF yang datang dengan kapal keruknya, dengan alasan stabilitas kita relakan kepentingan nasional dipermainkan dunia politik, dengan alasan menghemat dana kita terima barang bekas dari negara adidaya. Hingga akhirnya harga diri pun kita anggap pantas untuk dibeli dengan pertumbuhan ekonomi.

Maka benarlah quote yang dijadikan pembukaan tulisan ini, “Hanya orang-orang yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan”. Mereka yang berani memperjuangkan haknya pantas mendapat penghargaan karena mereka meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan keberanian untuk mendapatkan hal yang seharusnya mereka dapatkan. Bisa berupa uang 5000 rupiah, bisa berupa kenyamanan di lalu lintas, bisa berupa harga diri yang terkoyak, bisa berupa kebebasan terhadap ketertindasan. Pantaslah ketika pemberani yang menggugat tentang kedikatatoran Soekarno atau pelanggaran HAM Sang Smiling General, Soeharto mendapatkan keadilannya walaupun itu harus ditebus dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Fisik, mental, bahkan nyawa. Begitupun dengan pengendara korban penipuan tilang, wanita korban pelecehan seksual, nenek yang berjuang demi makanan, ataupun korban ketidakadilan lainnya. Mereka berhak atas keadilan yang mereka yakini, keadilan yang mereka perjuangkan, keadilan yang mereka bayar dengan kelelahan, rasa sakit dan kekecewaan. Tidak ada jaminan keadilan itu akan didapatkan, tapi setidaknya mereka bisa memenangkan keadilan atas kebebasan dan harga diri mereka sendiri. Bagi saya, kebebasan itulah keadilan yang sejati dan layak untuk dipertahankan hingga tetes darah terakhir. Ketika itu dilakukan, maka layaklah kita bergabung dengan orang-orang besar lainnya yang gugur dan berjuang dalam memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan atas dirinya sendiri.

Up in The Air

Posted: Selasa, 08 Juni 2010 by Iqbal Fajar in
0

Kadang saya merasa hidup saat ini sangat cocok dengan film Up in The Air, terlebih lagi dengan status saya sebagai penghuni apartemen seperti sekarang. Kamar luas hanya untuk saya, kehidupan pribadi yang ekslusif (walaupun tidak se ekslusif Bingham), dan kenyamanan pada suatu tempat nun jauh disana. Ketika sebagian orang pulang kerumah mereka akan disambut dengan anjing yang melompat, anak anak yang berisik, istri yang tersenyum, kemudian mereka pun tidur di kasur yang empuk. Berbeda dengan saya, hanya ditemani sofa yang sudah setengah jebol karena berat badan, segelas Chivas, sepiring kentang goreng, serta yang paling penting, kesunyian malam.

Bingham dalam Up in The Air adalah pria yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di jalan, pria dengan prinsip tidak ingin memiliki komitmen, tidak berfikir mengenai rencana masa depan (menikah, memiliki rumah, memiliki anak, melihat mereka tumbuh, getting older n then dead.), sangat nyaman dengan kesendirian nya yang tanpa teman dan sahabat. Hanya ditemani hotel, room service dan pastinya American Airlines yang mengantarkannya ke seluruh penjuru benua Amerika. The place that he call home.

Saya cuma menunggu saat yang tepat untuk menjadi Bingham. Pekerjaan saat ini belum memungkinan menjadi seorang Bingham. Autisme yang akut, workaholic, kecintaan pada kesendirian serta semua tanda lainnya yang secara jelas menunjukkan bahwa kehidupan seorang Bingham benar-benar saya lakukan (dalam skala kecil) saat ini.

Dan saya pun sadar akan konsekuensi dari semua kehidupan itu. Kesendirian. Sama seperti Bingham yang pada akhirnya mendapati kenyataan bahwa dia adalah pria kesepian yang hanya ditemani langit Amerika yang luas.

Kecewa? Tentu tidak. Ini adalah pilihan dan saya sudah berkomitmen untuk memegang pilihan ini hingga batas yang sejauh-jauhnya. Setidaknya hingga saya benar-benar merasa cukup dengan semua ini. Selama itu, yang saya akan menikmatinya. Till the last supper..

Bersandar Sejenak

Posted: Selasa, 25 Mei 2010 by Iqbal Fajar in
0

Fiuhh.. akhirnya saya punya kesempatan lagi menulis secara santai seperti ini. Tulisan-tulisan saya di blog ini memang tidak ditujukan untuk terlalu santai. Cenderung serius, berputar-putar, tapi juga simple. Entah genre apa itu hehehe. Yah, memang blog ini ditujukan untuk hal tersebut. Melatih kemampuan menulis saya sekaligus ajang curhat dan perhatian saya terhadap permasalahan di sekitar.

Jika anda termasuk pembaca blog ini dengan setia (yang berarti anda tidak jauh2 dari Aal, Tante Nita, Fina atau Yudo karena memang merekalah pembaca inti blog ini heheheh), mungkin memperhatikan trend penulisan blog ini yang menurun dari segi postingan dan kualitas. Menurunnya jumlah postingan sangat saya sadari adalah bagian dari kesibukan dan kemalasan saya. Yah,, mau gimana lagi. Menulis membutuhkan waktu dan pikiran yang cukup banyak dan belakangan ini sangat susah mendapatkan semua itu.

Kualitas juga bagian yang sangat saya sesalkan. Komentar tante, tentang beberapa tulisan yang terkesan “dipaksakan untuk ditulis” memang benar adanya. Walaupun tidak strict, saya mentargetkan menulis minimal 4 artikel tiap bulannya yang artinya tiap minggu saya harus menulis minimal 1 artikel. Target yang mudah sebenarnya. Tapi, seperti saya bilang di awal. Saya itu pemalas. Jadilah beberapa tulisan, saya buat sebagai “deadline” dengan tema yang dipaksakan dan tidak terlalu berbobot (walaupun target tetap tidak tercapai :hammer).

Tema artikel juga tidak terlalu menarik. Saya catat, 3 artikel terakhir tentang kekecewaan saya pada kerjaan. Temanya sama. Hanya penyajiannya saja yang berbeda. Permasalahan kerjaan ini memang membuat saya sangat terpuruk. Sekarang pun masih ada beberapa bekas yang tidak akan pernah bisa hilang terkait kekecewaaan saya pada pekerjaan.

Tapi coba cermati postingan terbaru saya. Setidaknya walaupun masih didominasi dengan ratapan, penyesalan dan putus asa, anda dapat melihat secercah semangat disana. Yup, walaupun belum banyak, tapi setidaknya jauh lebih baik dibandingkan tidak ada bukan J. Jadi, semoga tulisan santai ini bisa menjadi awalan baru untuk semuanya. Awal baru untuk pekerjaan yang baru, untuk usaha baru, untuk kekuatan baru, untuk idealisme baru, untuk semangat baru.

Ps :

Saya sedang membaca buku baru, judulnya Soe Hok-Gie, …sekali lagi. Sebuah biografi singkat tentang pemuda keturunan Cina yang sangat idealis, nasionalis, keras kepala, sekaligus humanis dan berjiwa social tinggi. Salah satu tokoh pergerakan mahasiwa tahun ’66, masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, masa-masa terburuk Indonesia selama menjadi NKRI. Seorang pendiri MAPALA UI yang sangat cinta tanah airnya dan kembali ke pangkuan pertiwi di Puncak Mahameru. Saya akan menulis artikel tentangnya. Be there guys J

One Step

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Malam itu saya terhenyak. Salah satu rekan yang pekerjaannya tidak jauh berbeda dengan saya, marketing, memberitahu tentang keberhasilannya mengundang meeting salah satu kliennya yang notabene juga klien saya. Kami berdua adalah teman kuliah yang bekerja pada dua institusi berbeda. Dia funding officer di sebuah bank sedangkan saya marketing di BUMN jasa survey dan konsultasi. Salah satu klien kami adalah teman kuliah yang kebetulan merupakan target pasar perusahaan masing-masing.

Alasan saya terhenyak ialah kabar yang disampaikannya bahwa dia baru saja meeting dengan teman kami itu sore tadi. Padahal dari kemarin saya sudah meminta waktunya untuk pertemuan dengan saya. Tanggapannya tidak cukup bagus, klien kami itu agak menjauh dari saya yang ditunjukkan dari sms dan telepon yang tidak dijawab. Kenyataan bahwa dia melakukan meeting dengan rekan saya memberikan banyak pertanyaan tentang efektivitas dan kemampuan saya melakukan pendekatan padanya.

Terlalu dangkal memang jika menilai kinerja dari kejadian malam itu. Tetapi jika saya mau jujur pada diri sendiri, kejadian malam itu menyadarkan saya tentang suatu hal. Saya mungkin tidak terlahir untuk dunia marketing. Sudah satu tahun setengah saya menjabat sebagai PIC untuk salah satu klien besar kami dan selama itu pula tidak ada satupun proyek yang dapat saya hasilkan. Sebagian besar hanya berakhir pada konsep tanpa realisasi. Bahkan proyek utama yang seharusnya tinggal melanjutkan dari tahun lalu juga tidak terealisasi di tangan saya.

Kecewa adalah hal yang pasti, tetapi keterpurukan itu sudah dapat saya lalui. Dan kejadian malam ini menjadi catatan khusus dalam rangkaian evaluasi saya. Selama masa menjabat itu, saya lebih banyak berpuas dan bersantai dengan adanya proyek utama tersebut tanpa mencari atau mengembangkan proyek pengganti. Maka ketika proyek utama itu terlepas dari tangan, yang bisa saya lakukan hanya meratap. Sikap introvert juga menjadi penyebab. Keenganan saya terhadap hal-hal baru membuat saya tidak produktif dalam melakukan hal paling utama dalam dunia marketing, heart share.

Sikap yang terlalu realistis juga membuat saya malas mengupayakan hal-hal yang sudah pasti tidak dapat dicapai. Bahasa lain dari kemalasan dan pesimistis. Kebiasaan yang terlalu reaktif dan over self confident membuat saya kurang dalam perencanaan serta kestabilan emosi. Sikap yang lagi lagi tidak mendukung dalam dunia marketing yang lekat dengan ketidakpastian dan naik turun keadaan. Saya lebih suka pada kenyamanan daripada terjebak dalam ketidakpastian.

Semua sifat itu sedikit banyak disebabkan oleh didikan keluarga dan lingkungan. Dibesarkan dalam keluarga konservatif yang sarat dengan norma dan aturan, membuat kreativitas tidak menjadi salah satu nilai tambah saya. Idealisme dan keteguhan jalan hidup yang ditularkan nyaris sempurna oleh Dosen-Dosen semasa kuliah menjadi pedang bermata dua. Disatu sisi, saya tumbuh sebagai manusia yang lurus dan teguh memegang prinsip, disisi lain saya terjebak dalam kesempitan pandangan dan sifat keras kepala.

Begitupun dalam pekerjaan saya. Proyek utama yang memang adalah buah dari idealisme dan mimpi semasa kuliah, menjadikan saya terlalu berfokus dan cenderung tidak menerima saran dari orang lain. Kerap kali saya menyalahkan rekan kerja atau klien yang tidak mengerti urgensi serta bagaimana pekerjaan ini harus dijalankan. Dalam pikiran saya yang naïf ini, semua pekerjaan adalah utopia yang harus sesuai keadaan dan keinginan. Maka yang ditakutkan itu pun terjadi. Proyek tujuan utama itu tidak jadi dilaksanakan.

Dalam malam-malam perenungan, saya menyadari satu hal. Ini bukan tentang keadaan, ini bukan tentang senioritas, ini bukan tentang ketiadaan dukungan, ini bukan tentang idealisme. Kegagalan ini adalah tentang kemalasan, tentang sifat mudah menyerah, tentang ketertutupan, tentang ketakutan pada perubahan. Keberhasilan teman saya dalam menggait hati klien adalah buah dari ketekunan menelpon klien hampir tiap hari, keberhasilan atasan mencapai jabatannya ialah akibat dari seringnya bertemu klien, dan rangkaian kesuksesan lainnya yang semua berasal dari kerja keras. Ini yang kurang dari saya.

Kini, setelah rangkaian cobaan dan masalah itu, saya sekali lagi mendapat pelajaran. Kini, saatnya berubah dan bangkit. Masih banyak yang harus dikerjakan. Dan malam itu saya selangkah lagi menatap masa depan.

A Time To Cry

Posted: Senin, 10 Mei 2010 by Iqbal Fajar in
0

Dan hari ini berlalu seperti hari-hari lainnya. Tetap dengan nongkrong di depan laptop, ngaskus gak jelas, mampir di loungenya kaskus, main main di SFTHnya kaskus, mengintip CCPBnya kaskus. Yup, semua tentang kaskus.us. the largest Indonesian forum. Tempat nongkrong menghabiskan waktu. Saya kosong. Tidak ada passion lagi. Atasan yang merasa anak buahnya kehilangan semangat pun tampaknya tetap tidak bisa mengerti. Mengoceh seharian tentang saya yang tidak juga beranjak mencari proyek. Bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Semua tools sudah terambil dari saya. Product Development yang seharusnya membantu saya menyusun konsep project tidak lagi diburi izin. Fokus ke Departemen lain katanya. Begitu pula fasilitas yang dulu ada. Bagi seorang marketing yang gagal mencari proyek, hukuman tidak langsungnya adalah ketidakpercayaan mengunakan fasilitas kantor.

Yah,, bagaimanapun juga seharusnya itu semua bukan halangan bagi saya. Diri ini tidak akan menyerah hanya karena kata-kata orang lain. Tapi jujur saja, masalahnya bukan di mereka atau apapun itu. Masalahnya ada di diri ini. Efek pembatalan proyek itu sangat berbekas. Saya benar-benar hancur. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tidak ada lagi letupan semangat yang dulu mewarnai hati ini. Saya kira dengan sedikit beristirahat dari rutinitas kantor diiringi dengan sedikit vodka dapat menyegarkan otak yang sudah terlanjur malas ini. Ternyata luka akibat kegagalan proyek begitu membekas. Mungkin ini karma karena saya. Kelakuan saya meninggalkan mantan sepertinya berbalik ke diri sendiri.

Entahlah, saya juga bingung hendak dibawa kemana hidup saya kedepannya. Saya hanya termangu di depan laptop. Walau sebenarnya banyak yang harus saya kerjakan. Tugas kuliah menumpuk, rencana bisnis juga sudah diberi target deadline, belum lagi mimpi-mimpi baru yang saya ingin capai. Semua berseliweran di otak saya. Tapi tidak ada satupun diantara hal-hal tersebut yang bisa membuat saya tergerak.

Saat ini hampir tidak ada lagi yang dapat dijadikan pegangan. Kehidupan spiritual pun sudah kacau. Jangan mengharapkan saya yang dulu sholat tepat waktu, Jumatan saja kadang terlupa. Rokok dan vodka sudah jadi teman sehari-hari. Belum lagi kelakuan bodoh lainnya. I’m desperate.

Saya tidak mengira efek project cancelation akan separah ini. Di depan orang lain saya berusaha kuat, tersenyum, tertawa. Bahkan pada pacar sendiri juga rekan kerja yang sudah saya anggap sahabat. Saya selalu menguatkan diri sendiri. Memberikan stimulus dan semangat ke diri sendiri. Cara yang selalu berhasil membawa saya keluar dari permasalahan selama ini. Tapi tampaknya cara itu tidak berhasil kali ini.

Saya jadi teringat pada beberapa permasalahan yang sempat membuat saya patah arang. Mulai dari dilecehkan oleh adik kelas di depan teman-teman ketika smp, hampir tidak naik kelas ketika sma, putus cinta pertama kali dari Nia, dimusuhi teman-teman se kampus karena idealisme dan kelakuan saya, hingga kegagalan proyek yang sama tahun lalu. Ya, seingat saya kejadian-kejadian itulah yang membuat saya terjatuh. Bebarapa bahkan membuat saya kehilangan harapan dan tujuan.

Entah apa yang salah dengan kejadian kali ini. Rasanya semua yang saya lakukan dulu untuk bangkit dari keterpurukan sudah saya lakukan. Bahkan dengan cara yang lebih baik. Sebut saja menyendiri, berfikir ulang, melakukan self encourage, bahkan hingga menentukan tujuan baru. Tapi kenapa cara-cara itu tidak berhasil untuk kasus ini??

Saya bingung.. Jujur saya bingung.

Sebenarnya ada satu hal yang belum saya lakukan. Menangis. Seingat saya, sejak saat vonis pembatalan proyek itu di jatuhkan, saya belum menangis sama sekali. Lebih tepatnya tidak bisa. Logika sudah terlalu mencengkram pikiran ini. Saya terlalu takut untuk menangis. Menumpahkan semua, menyalahkan semua. Membiarkan semua masalah itu terbuka lebar. Melepaskan semua penolakan dan alasan yang menghantui diri ini. Menghancurkan semua idealisme, mimpi, semangat, harapan, kenangan, pencapaian, kesuksesan serta semua belenggu yang membatasi hati ini.

Setelah itu, saya baru bisa mengais lagi serpihannya. Menata lagi bak puzzle yang imaji. Membentuknya lagi menjadi seuatu yang baru. Mimpi yang baru, idealisme yang baru, semangat yang baru, sesuatu yang baru. Sehingga saya sekali lagi bisa mencapai langkah baru.

Seharusnya itu yang saya lakukan. Tapi sayangnya menangis adalah hal terakhir yang belum dapat saya lakukan. Entah kapan, entah seperti apa, entah dalam bentuk apa. Saya tidak tahu. Satu hal yang pasti. Saya butuh menangis…

Idealisme, Mimpi, dan Kekecewaan

Posted: Selasa, 20 April 2010 by Iqbal Fajar in
0

Dan keputusan itu akhirnya keluar. Entah saya harus gembira, sedih, lega, gelisah, stress atau pusing. Tidak ada dari rasa-rasa tersebut yang mendominasi pikiran saya siang itu. Saya mati rasa. Awalnya memang kalut menyergap. Membayangkan pekerjaan yang sudah di giring sejak dua tahan lalu itu harus menemui muara akhirnya. Tidak jadi dilaksanakan. Tapi, kini setelah rangkaian ceramah, penyelidikan, sindiran, hingga upaya membangkitkan semangat serta tatapan belas kasihan menemani sore itu, saya tidak merasakan apa-apa. Hanya hampa.

Maka malam itu saya isi dengan melanjutkan kegiatan yang sudah menjadi keseharian saya minggu-minggu belakangan ini. Berselancar di dunia maya, ngaskus tanpa arahan, maen FB hanya untuk sekedar mengharap ada orang yang memberikan comment, hingga membaca komik di onemanga. Jujur saya bingung harus berekspresi seperti apa. Seharusnya saya sedih, depresi, stress dan kecewa karena proyek idealis itu tidak terlaksana. Apalagi penyebab tidak terlaksananya kegiatan tersebut hanya disebabkan oleh satu orang yang tidak mau mengambil keberanian demi terlaksananya perbaikan institusinya.

Kegiatan yang saya usulkan bukanlah kegiatan mengada ada yang tidak berguna. Kegiatan ini merupakan tuntutan buyer di Uni Eropa yang terkenal akan kecerewetannya terhadap sistem jaminan mutu dan keamanan pangan negeri ini yang tidak juga beranjak dari keterbelakangan. Kegiatan ini adalah solusi dari sebagian besar permasalahan perdagangan pangan negeri ini, setidaknya untuk pasar Uni Eropa. Tapi sekali lagi, para pembesar yang berlindung dibalik kesulitan birokrasi itu tampaknya memilih menyenderkan punggungnya di kursi empuk, di dalam ruang kerja ekslusif mereka daripada sedikit bersusah payah demi sistem yang lebih baik.

Saya kecewa. Pada sistem yang sarat birokrasi, pada kepengecutan pemimpin negeri ini, pada kebimbangan yang dijadikan alasan, pada ketidaktegasan yang berakar kuat, pada kurangnya perhatian mereka terhadap hal teknis, pada lemahnya pemahaman hal substansial, pada kurangnya perencanaan strategis, pada tidak kompaknya kepemimpinan, serta pada hal-hal lain yang seharusnya dapat mereka kerjakan dengan kapasitas dan jabatan mereka.

Semua itu mungkin hanyalah factor pendukung. Banyak orang bilang bahwa gagalnya kegiatan ini diakibatkan kurangnya heart share dari perusahaan ini (yang direpresentasikan oleh keberadaan saya sebagai Account Executive) terhadap klien tercinta. Opini lainnya ialah tidak adanya setoran pada kegiatan tahun lalu membuat klien mengambek dan tidak mau melanjutkan kegiatan ini. Hipotesis serupa berkata ketidakakuran internal yang menjadi penyebab. Alasan internal organisasi klien yang penuh politik juga menjadi penghias alasan. Entah mana yang benar. Saya tidak mau ambil pusing.

Sekali lagi, saya patah arang terhadap institusi tujuan utama almamater saya ini. Dunia yang saya dulu menaruh harapan besar padanya. Tempat mimpi-mimpi digantngkan setinggi tingginya. Alasan untuk segenap perjuangan dengan misi yang mulia. Membawa kejayaan pada dunia yang 7 tahun sudah saya berjuang di dalamnya.

Benar, saya memang idealis. Sikap bodoh yang ditertawakan oleh banyak orang. Kelakuan tidak jelas yang anomaly menurut logika. Tapi saya bangga. Bangga terhadap ke keras kepala an saya, bangga pada alamamater saya, besar cinta ini dicurahkan. Hanya untuk satu tujuan. Menjadikan negeri ini bisa dipandang oleh dunia internasional, bukan karena korupsinya, bukan karena keberingasan masyarakatnya, atau kemiskinan yang merajalela. Tapi karena kuatnya ekonomi negara, tersenyumnya masyrakat, tingginya tingkat kesehatan serta semua tanda kesejahteraan lainnya.

Saya memang terobsesi pada dunia perikanan. Semua dimulai sejak ospek dimasa kuliah. Saya yang lugu tersadarkan oleh besarnya potensi perikanan, ditambah lagi dosen tercinta yang selalu menekankan saya untuk berbuat suatu hal, apapun itu. Sesuatu yang bisa turut memperbaiki sistem bobrok ini. Setidaknya sesuatu untuk almamater ini. Maka saya terinisiasi. Di masa-masa kuliah itu mimpi terus tumbuh dan berkembang jadi jalan hidup. Maka ketika tawaran untuk menjadi Product Development di BUMN spesialis Survey dan Konsultasi itu datang, serta merta saya menerimanya. Ini jalan dari Yang Maha Mendengar untuk mewujudkan mimpi, menurut saya.

Dan mulailah saya berjibaku di proyek pertama itu. Satu bulan tidur dikantor, bekerja siang malam, berhujan hujanan mengantarkan data, bersitegang dengan teman kerja karena tingginya load pekerjaan serta semua pengorbanan lainnya. Tapi saya ikhlas, saya bahagia. Bagaimanapun ini mimp saya. Semua demi satu tujuan. Sistem yang lebih baik. Lalu pekerjaan pun selesai. Manajemen baru datang. Saya dipromosikan menjadi Account Executive, jabatan yang tidak seharusnya dipegang oleh pemuda labil seperti saya. Tapi atasan berkata lain. Beliau melihat saya memiliki potensi yang mencukupi untuk memangku jabatan itu. Dan perhatian berlebih atasan itu ternyata mengundang suara sumbang dari orang lain. Maka satu tahun pertama saya habiskan untuk meyakinkan semua pihak bahwa saya memiliki kapabilitas untuk jabatan tersebut.

Proyek lanjutan yang seyogyanya di tujukan untuk tahun lalu itu akhirnya di pending. Saya down. Butuh waktu cukup lama untuk membangkitkan kembali semangat. Walau pada akhirnya saya berhasil keluar dari keterpurukan. Tahun baru saya hadapi dengan semangat baru, idealisme baru, pandangan baru, tenaga baru serta keyakinan baru. Strategi baru juga turut diterapkan, pendekatan gaya baru dipergunakan serta seluruh daya upaya lainnya. Tidak mulus memang. Naik turun moods klien, tarik ulur kepentingan, rangkaian kemarahan dan kekecewaan, serta semua hal lainnya. Hingga akhirnya kegiatan itu mencapai klimaksnya. Surat yang di tunggu sejak lama akhirnya keluar juga. Tapi akhirnya saya tetap harus menelan pahitnya kekecewaan.

Dan kini setelah semua idealisme, mimpi, tujuan, jalan hidup atau apapun namanya itu hancur di depan nama, saya kehilangan pijakan. Entah apalagi yang bisa menahan saya untuk menggeluti bidang ini. Saya tidak tahu..Saya tidak bisa berfikir. Hanya hampa.

Antara Palmerah dan Serpong

Posted: Senin, 12 April 2010 by Iqbal Fajar in
0

Minggu Sore itu saya terdampar di stasiun kereta Palmerah, memegang tiket kereta seharga 1500 rupiah. Tiket kereta ekonomi langsam tujuan Rangkas Bitung. Bukan kesana tujuan saya tapi karena jadwal kereta Bisnis Ciujung Jurusan Serpong paling cepat masih satu setengah jam lagi, maka saya terpaksa mengambil jurusan Rangkas Bitung. Stasiun Serpong adalah salah satu stasiun yang dilewatinya.

Malas rasanya menaiki “kereta merah” itu. Kereta diesel penuh polusi, dengan gerbang yang bersesakan, panas, tanpa ventilasi, sarang copet. Belum lagi kumpulan bermacam-macam barang yang dipaksakan masuk kedalam kereta. Sebut saja sayuran, barang dagangan, bahkan hewan seperti kambing dan ayam. Keparahan tersebut makin menjadi karena kelakuan beberapa penumpangnya yang dengan seenak udelnya merokok di tengah gerbong. Saya perokok, tapi saya punya aturan. Tidak pernah merokok di dekat ibu hamil, anak-anak dan ruang tertutup. Dan minggu sore yang cerah itu seakan terlihat kelabu.

Kereta itu datang. Suara sirine memenuhi udara, bersahutan dengan sinyal kereta dari stasiun. Saya sudah siap di bagian depan peron stasiun, berharap gerbong depan sedikit menyisakan ruang. Sayangnya saya harus kecewa. Kereta penuh. Entah kenapa banyak sekali orang. Padahal ini minggu, waktu libur. Kenapa orang-orang itu masih mau berjejalan di kereta? Sadar tidak ada gunanya menggerutu, saya berjalan ke gerbong terdepan. Ketika sampai di pintu gerbong, sudut mata saya melihat beberapa orang yang berlompatan ke bagian belakang lokomotif. Mereka menaiki bagian samping lokomotif yang tidak terlindungi. Hanya ada sedikit untuk pijakan kaki. Cukup nyaman tampaknya. Kenapa tidak?, pikir saya. Disana cukup nyaman, walaupun harus sedikit menghirup asap lokomotif. Angin dengan sangat banyak tersedia, panas tentu hilang disana. Maka tanpa pikir panjang saya menaiki bagian belakang lokomotif itu. Saya mendapatkan tempat yang cukup nyaman. Ada semacam besi yang menjadi pegangan disana. Saya bisa bertahan. Lalu saya tersenyum. Disini nyaman.

Ragu mulai datang ketika kereta berjalan. Agak tersentak karena tarikan lokomotif ke gerbong, saya terhuyung. Saya lupa. Di posisi saya sekarang sangat rentan terkena segala sesuatu dari luar, selain angin masih ada batang pohon yang menjulur, atau benda lainnya yang mungkin saja menghalangi jalannya kereta. Belum lagi kemungkinan terpelesat jatuh. Denngan sangat mudah saya akan terlempar ke sisi rel. Sadar dengan rentannya posisi, saya menyenderkan badan lebih erat kesisi lokomotif.

Untungnya ketakutan itu mulai hilang ketika angin sore menerpa wajah. Saya selalu mencintai terpaan angin. Itulah mengapa saya mencintai motor. Hempasan angin di wajah dan tubuh menghilangkan keringat dan kelelahan. Bahkan tidak hanya itu saja, bersama angin saya juga bisa melepaskan beban, emosi, kesedihan serta masalah lainnya. Serasa hidup kembali. Saya rela menukar kenyamanan hidup dengan sensasi angin ini. Karena pada saat-saat seperti inilah saya bisa memaknai hidup. Memikirkan semuanya sekaligus melepaskan semuanya. Sore itu kebahagian saya bertambah. Di depan saya, sang surya menampakkan kemegahannya. Dia akan kembali ke peraduannya dan menyerahan tahta pada malam. Ya, sore itu matahari menerangi langit dengan cahayanya, melukis birunya langit dengan oranye terang.

Terlepas dari indahnya sore itu, ada hamparan rumah-rumah kumuh yang menemani saya di perjalanan minggu sore itu. Rumah-rumah dengan atap triplek, seng besi, asbes. Sangat sedikit yang beruntung memiliki genting. Anak kecil yang berlarian disisi rel, lelaki yang asyik dengan tayangan televisinya, ibu-ibu yang mengejar anaknya untuk menyuruh mandi serta pemuda yang nikmat bercengkrama dengan sebayanya. Beberapa orang masih dengan semangat bekerja memisahkan hasil memulungnya hari itu, atau industry rumahan kerupuk kulit yang mengoreng di wajan penuh minyak hitam. Disana boleh terbelakang dan kekurangan, tapi saya melihat ada keceriaan disana. Ada kehidupan yang berbahagia. Walaupun saya tahu tidak ada cukup dana disana. Walaupun tidak ada fasilitas mewah tersedia. Walaupun semua nya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Tapi mereka tetap tertawa.

Melihat itu semua saya malu. Mereka yang dengan segala kekurangannya masih bisa hidup sembari menikmati dunia. Sementara saya dengan segala fasilitas kantor, apartemen, kendaraan, kamar pribadi masih saja menggerutu dan tidak puas. Beberapa kali malah saya menyalahkan rendahnya gaji di kantor padahal saya tahu bahwa awal dari itu semua adalah keteledoran saya dalam mengatur keuangan. Sore itu saya merenung. Banyak diantara kita yang tidak pernah bersyukur terhadap apa yang sudah kita dapatkan. Selalu ada keluhan disana sini. Entah berupa uang jajan yang kurang, kerjaan kantor yang menumpuk, pacar yang tidak pengertian, anak yang tidak pintar, orangtua yang terlalu disiplin, gaji yang kurang, bahkan hingga ke hal-hal terkecil seperti pelayan yang tidak ramah, bangku mobil yang tidak nyaman, air PAM yang keruh hingga pulpen di saku yang macet.

Selalu ada yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi pernahkah kita melihat itu semua dari perspektif yang berbeda. Kita bisa mengeluh tentang gaji yang kurang karena kita masih punya gaji. Bagaimana jika kita tidak punya gaji? Apa yang harus kita keluhkan? Atau sebut saja pacar yang tidak menelpon di malam minggu. Bagaimana ceritanya kalau kita tidak punya pacar sama sekali? Bukan kah itu lebih menyebalkan? Walau kita akan diuntungkan karena tidak harus memikirkan kemana si pacar. Ya, karena kita tidak punya pacar sama sekali. Jadi apa yang harus dipusingkan? Intinya, kita harus bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Walaupun itu tidak sempurna. Setidaknya kita punya. Masih ada orang-orang di luar sana yang bahkan untuk memikirkannya saja tidak terbayang.

Sore itu diantara stasiun Palmerah dan Serpong, disisi lokomotif diesel, diatas bumi sang Maha Pencipta, ditemani angin, asap lokomotif, matahari, langit merah, ranting pohon di sisi rel, jalanan tol, kebun-kebun warga, serta tidak lupa, rumah-rumah kumuh yang berbahagia. Sekali lagi saya bersyukur atas semua karunia-Nya.

Another Lonelly Saturday Night

Posted: by Iqbal Fajar in
0

And there he goes, another lonelly Saturday night. Yup, malam minggu ini saya, untuk yang entah untuk keberapa kalinya, terdampar di apartemen tercinta ini. Hanya ditemani dengan laptop tercinta, tv kabel yang penuh dengan film romantic, sebungkus rokok, dan mungkin akan ditambah dengan satu gelas vodka. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya.

Alasannya sudah jelas. Autisme sebagai bagian dari sifat introvert ini mengakibatkan tidak adanya teman yang menemani di malam ini. Saya terlalu malas mengajak orang lain berbagi kesendirian. Enam tahun di sekolah asrama membuat saya lelah dengan segala intimasi. Hampir tidak ada privasi. Maka ketika kuliah, saya lebih senang hidup dalam kesendirian. Khususnya malam-malam seperti ini. Harus diakui, awalnya sangat menyenangkan. Menikmati udara malam, menyesapi simfoni lagu, bermain dengan kesunyian alam serta kelakuan aneh lainnya. Tapi setelah tahunan menjalani itu semua, saya mulai menyerah pada takdir utama manusia. Sosialisasi. Sayangnya itu semua terlambat. Kebiasaan itu sudah mengakar dan berakibat walaupun saya mau bersosialisasi, ada sesuatu di dalam diri ini yang menahan untuk membuka diri pada orang lain.

Sebenarnya ada seorang wanita yang dapat membuka hati ini. Tempat dimana cerita dan keluh kesah dapat tersalurkan dengan lancar, tanpa ada penolakan dari hati. Wanita yang selalu siap dengan senyum manisnya dan candaan konyol serta jangan lupa intonasi aneh nan unik yang menyertai kata kata. Saya mencintainya, sangat mencintainya. Bahkan terkadang saya lupa kalau hubungan dengannya baru berjalan selama 2 bulan saja. Entahlah. Keakraban dan keterbukaan yang kami tunjukkan tidak menunjukkan fakta bahwa hubungan ini baru saja dimulai. Mungkin ini yang dinamakan chemistry.

Masalahnya ialah, sang nona cantik yang menyenangkan itu berada di tempat yang tidak memungkinkan kami bertatap muka setiap malam minggu. Bahkan hari-hari lainnya. Kami terpisah oleh jarak. Cukup jauh untuk membuat saya mempertimbangkan keinginan bertemu dengannya. Belum lagi sang waktu yang seakan jadi musuh besar ketika kesempatan bertemu itu datang.

Memang banyak jalan menuju Roma. Tatap muka bukan satu-satunya cara. Masih ada teknologi suara yang membantu kerinduan. Tapi sekali lagi, waktu pula yang jadi constrainnya. Pekerjaan kami hanya memungkinkan untuk berbicara leluasa di larut malam. Maka, disinilah saya. Tanpa teman berbicara, tanpa rekan bercanda serta kekasih untuk berbagi cinta.

Fiuh,,ini resiko yang sudah saya pahami ketika memutuskan menjalin hubungan dengannya. Tapi, kalau boleh jujur, saya lelah seperti ini. Banyak cerita yang ingin dibagi, sejuta impian yang hendak di tumpahkan dan luapan cinta yang butuh pelampiasan. Maka malam ini hanya satu harap terucap. Semoga si jelita itu merasakan hal yang sama dan segera meluangkan waktunya untuk sekali lagi bertukar kata. Semoga.

Diantara Pilihan

Posted: Kamis, 01 April 2010 by Iqbal Fajar in
0

Semua orang selalu mempunyai pilihan. Saya sangat percaya itu. There is second chance and there’s always another way out. Setidaknya selama kita masih hidup di dunia ini. Seorang pemuda yang tidak bersekolah bisa memilih antara menjadi pemulung yang hina atau berusaha memperbaiki hidupnya walau harus makan tiga hari sekali. Seorang tentara bisa memilih antara mentaati Jenderalnya yang memerintahkan menembak membabi buta atau hidup bangga dengan menjadi desersi. Seorang guru bisa memilih untuk mengusahakan bocoran soal atau membiarkan anak muridnya gagal ujian akhir karena tidak memberikan contekan. Semua punya pilihan. Walau tidak semua pilihan berakhir dengan kisah yang manis. Semua punya konsekuensi. Semua harus dipertanggung jawabkan.

Seorang lelaki bisa memilih antara menggunakan handphone terkini dengan mengurangi jatah makan atau memegang handphone lama yang butut tapi berjalan dengan keyakinan bahwa yang dia butuhkan hanyalah HP penuh pulsa dan berguna bagi bisnisnya. Sebut saja wanita lainnya yang memilih mengirit uangnya demi pesta malam minggu atau menikmati indahnya malam di taman kota dengan uang yang selalu memenuhi dompetnya. Sekali lagi, semua orang bebas menentukan ingin jadi seperti apa dia. Miss Sosialita kah? Yang malam-malamnya dihabiskan dengan perpindahan dari satu keramaian ke keramaian lainnya ? Atau Wanita karier yang kesepian dengan tidur cepatnya karena kelelahan bekerja? Semua bebas memilih.

Itu pula yang saya lakukan kini. Hidup sebagai karyawan di BUMN milik Departemen Keuangan. Dengan jabatan Account Executive yang mengharuskan berpenampilan rapi, dandy, klimis atau apapun istilahnya. Intinya, mengutip kalimat favorit atasan saya, “You are the representatives of our company!”. Nama baik saya adalah nama baik perusahaan maka berlaku pula sebaliknya. Pandangan buruk orang pada saya mencerminkan image perusahaan. Terlalu berlebihan? Saya juga merasakan hal yang sama. Tapi itulah kenyataannya.

Dan hal-hal yang berkaitan dengan penampilan selalu di asosiasikan dengan sikap, kemampuan, gaya hidup, harga diri, serta hal lainnya yang sebenarnya tidak bisa dinilai dengan sekelebatan mata. Frasa don’t judge the book from its cover belum terimplementasikan secara menyeluruh di negara ini. Kemeja lengan panjang dan dasi melilit masih menjadi jaminan mutu, HP terbaru masih menjadi penanda status sosial, tampilan modis disertai terawatnya tubuh bukti kuat tingkat kemapanan. Pertanyaan saya ialah, apakah seorang Mark Zuckerberg adalah orang biasa? Karena dia terbiasa menggunakan jeans, sepatu kets, cardigan dan kemeja kaosnya menjadikan dia orang yang hanya pantas dipandang sebagai anak muda tak bertalenta ? Atau sebut saja Mahatma Gandhi dengan jubah putihnya, lengkap dengan kaki yang menapak bumi tanpa alas. Apakah dia orang tua biasa yang tidak memiliki pendirian? Seperti yang dapat kita temui di sebagian besar persimpangan jalan? Semua orang tahu jawabannya. Jika tidak, lebih baik anda ketikkan google.com di browser anda sekarang dan jawabannya akan tersaji dengan gamblang.

Maka saya pun mengambil pilihan saya. Walaupun tidak terbiasa dengan pernak pernik perlente, saya tetap berusaha untuk menjadi lebih baik. Kemeja lengan panjang yang biasanya digulung dengan mode yang ketinggalan jaman berganti dengan kemeja putih bersalur dengan rapinya lengan panjang terkancing lengkap dengan pantofel mode terbaru versi aladin. Sesuatu yang saya tertawakan dulu. Tidak lupa jam tangan kain bau berganti dengan merek ternama berwarna hitam elegan. Saya berubah.

Tapi tidak semuanya. Banyak orang protes dengan HP keluaran lama yang bahkan casingnya sudah mengelupas dan kaca yang setengah retak. Toh, bagi saya HP itu sangat multifungsi. SMS, telpon, internet, bahkan video call dapat dilakukan. Kelakuan pun tidak saya ubah seluruhnya. Tetap cuek dengan autisme yang mengakar. Hanya ketika bertemu klien sikap itu saya simpan dalam-dalam. Selebihnya sama. Masih saya yang dulu. Pria yang dengan santainya ke kantor menggunakan skecher kesayangan, tertawa lepas, sindiran dan ejekan yang selalu terlontar, kumpulan diksi yang tidak pantas didengar anak kecil, kenyamanan tidur di lantai kantor yang berdebu, makan di warung pinggiran, merokok di tangga dengan OB, kongkow bareng dengan satpam di saat jaga malam, nyaman nongkrong di Taman Suropati ketimbang ngopi ria di Starbucks, atau bersepeda sendiri mengelilingi senayan di malam hari.

Juga pilihan-pilihan lain yang bagi orang kebanyakan sulit masuk diakal. Menolak menjadi Account Executive, memutuskan pacar yang sudah mapan dan sangat perhatian serta menjalin hubungan dengan penyanyi di tempat yang sulit dijangkau, atau hal bodoh terbaru, menurut sebagian besar orang, yang saya lakukan. Touring ke Jogja. Sendirian. Tanpa kawan atau rekan klub, hanya seorang pengantar di salah satu tempat tujuan. Bukan karena ingin menonjol saya lakukan itu semua. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya adalah pilihan. Orang lain bisa menikmati liburan di rumahnya yang nyaman, menonton televisi di sofa empuk sembari ber haha hihi. Itu pilihan mereka. Pilihan saya adalah terpanggang matahari diatas motor Pulsar kesayangan selama 13 jam, kram karena menahan buruknya jalanan, kemungkinan sakit karena kelelahan serta efek negative lainnya hasil dari kelakuan gila saya ini.

Tapi saya bahagia. Karena setidaknya saya masih bisa dengan bebas dan terbuka melakukan pilihan. Walaupun bagi sebagian orang itu tidak biasa, aneh dan menyimpang. Walaupun pilihan tersebut berarti sekali lagi menjalani hidup dengan lebih sulit dan berliku. Tapi saya yakin, pilihan ini akan membawa saya satu langkah lagi menuju mimpi mimpi saya. Semoga anda juga dapat membuat pilihan anda sendiri. Pilihan yang menurut anda adalah panggilan hati nurani.