Bersandar Sejenak

Posted: Selasa, 25 Mei 2010 by Iqbal Fajar in
0

Fiuhh.. akhirnya saya punya kesempatan lagi menulis secara santai seperti ini. Tulisan-tulisan saya di blog ini memang tidak ditujukan untuk terlalu santai. Cenderung serius, berputar-putar, tapi juga simple. Entah genre apa itu hehehe. Yah, memang blog ini ditujukan untuk hal tersebut. Melatih kemampuan menulis saya sekaligus ajang curhat dan perhatian saya terhadap permasalahan di sekitar.

Jika anda termasuk pembaca blog ini dengan setia (yang berarti anda tidak jauh2 dari Aal, Tante Nita, Fina atau Yudo karena memang merekalah pembaca inti blog ini heheheh), mungkin memperhatikan trend penulisan blog ini yang menurun dari segi postingan dan kualitas. Menurunnya jumlah postingan sangat saya sadari adalah bagian dari kesibukan dan kemalasan saya. Yah,, mau gimana lagi. Menulis membutuhkan waktu dan pikiran yang cukup banyak dan belakangan ini sangat susah mendapatkan semua itu.

Kualitas juga bagian yang sangat saya sesalkan. Komentar tante, tentang beberapa tulisan yang terkesan “dipaksakan untuk ditulis” memang benar adanya. Walaupun tidak strict, saya mentargetkan menulis minimal 4 artikel tiap bulannya yang artinya tiap minggu saya harus menulis minimal 1 artikel. Target yang mudah sebenarnya. Tapi, seperti saya bilang di awal. Saya itu pemalas. Jadilah beberapa tulisan, saya buat sebagai “deadline” dengan tema yang dipaksakan dan tidak terlalu berbobot (walaupun target tetap tidak tercapai :hammer).

Tema artikel juga tidak terlalu menarik. Saya catat, 3 artikel terakhir tentang kekecewaan saya pada kerjaan. Temanya sama. Hanya penyajiannya saja yang berbeda. Permasalahan kerjaan ini memang membuat saya sangat terpuruk. Sekarang pun masih ada beberapa bekas yang tidak akan pernah bisa hilang terkait kekecewaaan saya pada pekerjaan.

Tapi coba cermati postingan terbaru saya. Setidaknya walaupun masih didominasi dengan ratapan, penyesalan dan putus asa, anda dapat melihat secercah semangat disana. Yup, walaupun belum banyak, tapi setidaknya jauh lebih baik dibandingkan tidak ada bukan J. Jadi, semoga tulisan santai ini bisa menjadi awalan baru untuk semuanya. Awal baru untuk pekerjaan yang baru, untuk usaha baru, untuk kekuatan baru, untuk idealisme baru, untuk semangat baru.

Ps :

Saya sedang membaca buku baru, judulnya Soe Hok-Gie, …sekali lagi. Sebuah biografi singkat tentang pemuda keturunan Cina yang sangat idealis, nasionalis, keras kepala, sekaligus humanis dan berjiwa social tinggi. Salah satu tokoh pergerakan mahasiwa tahun ’66, masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, masa-masa terburuk Indonesia selama menjadi NKRI. Seorang pendiri MAPALA UI yang sangat cinta tanah airnya dan kembali ke pangkuan pertiwi di Puncak Mahameru. Saya akan menulis artikel tentangnya. Be there guys J

One Step

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Malam itu saya terhenyak. Salah satu rekan yang pekerjaannya tidak jauh berbeda dengan saya, marketing, memberitahu tentang keberhasilannya mengundang meeting salah satu kliennya yang notabene juga klien saya. Kami berdua adalah teman kuliah yang bekerja pada dua institusi berbeda. Dia funding officer di sebuah bank sedangkan saya marketing di BUMN jasa survey dan konsultasi. Salah satu klien kami adalah teman kuliah yang kebetulan merupakan target pasar perusahaan masing-masing.

Alasan saya terhenyak ialah kabar yang disampaikannya bahwa dia baru saja meeting dengan teman kami itu sore tadi. Padahal dari kemarin saya sudah meminta waktunya untuk pertemuan dengan saya. Tanggapannya tidak cukup bagus, klien kami itu agak menjauh dari saya yang ditunjukkan dari sms dan telepon yang tidak dijawab. Kenyataan bahwa dia melakukan meeting dengan rekan saya memberikan banyak pertanyaan tentang efektivitas dan kemampuan saya melakukan pendekatan padanya.

Terlalu dangkal memang jika menilai kinerja dari kejadian malam itu. Tetapi jika saya mau jujur pada diri sendiri, kejadian malam itu menyadarkan saya tentang suatu hal. Saya mungkin tidak terlahir untuk dunia marketing. Sudah satu tahun setengah saya menjabat sebagai PIC untuk salah satu klien besar kami dan selama itu pula tidak ada satupun proyek yang dapat saya hasilkan. Sebagian besar hanya berakhir pada konsep tanpa realisasi. Bahkan proyek utama yang seharusnya tinggal melanjutkan dari tahun lalu juga tidak terealisasi di tangan saya.

Kecewa adalah hal yang pasti, tetapi keterpurukan itu sudah dapat saya lalui. Dan kejadian malam ini menjadi catatan khusus dalam rangkaian evaluasi saya. Selama masa menjabat itu, saya lebih banyak berpuas dan bersantai dengan adanya proyek utama tersebut tanpa mencari atau mengembangkan proyek pengganti. Maka ketika proyek utama itu terlepas dari tangan, yang bisa saya lakukan hanya meratap. Sikap introvert juga menjadi penyebab. Keenganan saya terhadap hal-hal baru membuat saya tidak produktif dalam melakukan hal paling utama dalam dunia marketing, heart share.

Sikap yang terlalu realistis juga membuat saya malas mengupayakan hal-hal yang sudah pasti tidak dapat dicapai. Bahasa lain dari kemalasan dan pesimistis. Kebiasaan yang terlalu reaktif dan over self confident membuat saya kurang dalam perencanaan serta kestabilan emosi. Sikap yang lagi lagi tidak mendukung dalam dunia marketing yang lekat dengan ketidakpastian dan naik turun keadaan. Saya lebih suka pada kenyamanan daripada terjebak dalam ketidakpastian.

Semua sifat itu sedikit banyak disebabkan oleh didikan keluarga dan lingkungan. Dibesarkan dalam keluarga konservatif yang sarat dengan norma dan aturan, membuat kreativitas tidak menjadi salah satu nilai tambah saya. Idealisme dan keteguhan jalan hidup yang ditularkan nyaris sempurna oleh Dosen-Dosen semasa kuliah menjadi pedang bermata dua. Disatu sisi, saya tumbuh sebagai manusia yang lurus dan teguh memegang prinsip, disisi lain saya terjebak dalam kesempitan pandangan dan sifat keras kepala.

Begitupun dalam pekerjaan saya. Proyek utama yang memang adalah buah dari idealisme dan mimpi semasa kuliah, menjadikan saya terlalu berfokus dan cenderung tidak menerima saran dari orang lain. Kerap kali saya menyalahkan rekan kerja atau klien yang tidak mengerti urgensi serta bagaimana pekerjaan ini harus dijalankan. Dalam pikiran saya yang naïf ini, semua pekerjaan adalah utopia yang harus sesuai keadaan dan keinginan. Maka yang ditakutkan itu pun terjadi. Proyek tujuan utama itu tidak jadi dilaksanakan.

Dalam malam-malam perenungan, saya menyadari satu hal. Ini bukan tentang keadaan, ini bukan tentang senioritas, ini bukan tentang ketiadaan dukungan, ini bukan tentang idealisme. Kegagalan ini adalah tentang kemalasan, tentang sifat mudah menyerah, tentang ketertutupan, tentang ketakutan pada perubahan. Keberhasilan teman saya dalam menggait hati klien adalah buah dari ketekunan menelpon klien hampir tiap hari, keberhasilan atasan mencapai jabatannya ialah akibat dari seringnya bertemu klien, dan rangkaian kesuksesan lainnya yang semua berasal dari kerja keras. Ini yang kurang dari saya.

Kini, setelah rangkaian cobaan dan masalah itu, saya sekali lagi mendapat pelajaran. Kini, saatnya berubah dan bangkit. Masih banyak yang harus dikerjakan. Dan malam itu saya selangkah lagi menatap masa depan.

A Time To Cry

Posted: Senin, 10 Mei 2010 by Iqbal Fajar in
0

Dan hari ini berlalu seperti hari-hari lainnya. Tetap dengan nongkrong di depan laptop, ngaskus gak jelas, mampir di loungenya kaskus, main main di SFTHnya kaskus, mengintip CCPBnya kaskus. Yup, semua tentang kaskus.us. the largest Indonesian forum. Tempat nongkrong menghabiskan waktu. Saya kosong. Tidak ada passion lagi. Atasan yang merasa anak buahnya kehilangan semangat pun tampaknya tetap tidak bisa mengerti. Mengoceh seharian tentang saya yang tidak juga beranjak mencari proyek. Bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Semua tools sudah terambil dari saya. Product Development yang seharusnya membantu saya menyusun konsep project tidak lagi diburi izin. Fokus ke Departemen lain katanya. Begitu pula fasilitas yang dulu ada. Bagi seorang marketing yang gagal mencari proyek, hukuman tidak langsungnya adalah ketidakpercayaan mengunakan fasilitas kantor.

Yah,, bagaimanapun juga seharusnya itu semua bukan halangan bagi saya. Diri ini tidak akan menyerah hanya karena kata-kata orang lain. Tapi jujur saja, masalahnya bukan di mereka atau apapun itu. Masalahnya ada di diri ini. Efek pembatalan proyek itu sangat berbekas. Saya benar-benar hancur. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tidak ada lagi letupan semangat yang dulu mewarnai hati ini. Saya kira dengan sedikit beristirahat dari rutinitas kantor diiringi dengan sedikit vodka dapat menyegarkan otak yang sudah terlanjur malas ini. Ternyata luka akibat kegagalan proyek begitu membekas. Mungkin ini karma karena saya. Kelakuan saya meninggalkan mantan sepertinya berbalik ke diri sendiri.

Entahlah, saya juga bingung hendak dibawa kemana hidup saya kedepannya. Saya hanya termangu di depan laptop. Walau sebenarnya banyak yang harus saya kerjakan. Tugas kuliah menumpuk, rencana bisnis juga sudah diberi target deadline, belum lagi mimpi-mimpi baru yang saya ingin capai. Semua berseliweran di otak saya. Tapi tidak ada satupun diantara hal-hal tersebut yang bisa membuat saya tergerak.

Saat ini hampir tidak ada lagi yang dapat dijadikan pegangan. Kehidupan spiritual pun sudah kacau. Jangan mengharapkan saya yang dulu sholat tepat waktu, Jumatan saja kadang terlupa. Rokok dan vodka sudah jadi teman sehari-hari. Belum lagi kelakuan bodoh lainnya. I’m desperate.

Saya tidak mengira efek project cancelation akan separah ini. Di depan orang lain saya berusaha kuat, tersenyum, tertawa. Bahkan pada pacar sendiri juga rekan kerja yang sudah saya anggap sahabat. Saya selalu menguatkan diri sendiri. Memberikan stimulus dan semangat ke diri sendiri. Cara yang selalu berhasil membawa saya keluar dari permasalahan selama ini. Tapi tampaknya cara itu tidak berhasil kali ini.

Saya jadi teringat pada beberapa permasalahan yang sempat membuat saya patah arang. Mulai dari dilecehkan oleh adik kelas di depan teman-teman ketika smp, hampir tidak naik kelas ketika sma, putus cinta pertama kali dari Nia, dimusuhi teman-teman se kampus karena idealisme dan kelakuan saya, hingga kegagalan proyek yang sama tahun lalu. Ya, seingat saya kejadian-kejadian itulah yang membuat saya terjatuh. Bebarapa bahkan membuat saya kehilangan harapan dan tujuan.

Entah apa yang salah dengan kejadian kali ini. Rasanya semua yang saya lakukan dulu untuk bangkit dari keterpurukan sudah saya lakukan. Bahkan dengan cara yang lebih baik. Sebut saja menyendiri, berfikir ulang, melakukan self encourage, bahkan hingga menentukan tujuan baru. Tapi kenapa cara-cara itu tidak berhasil untuk kasus ini??

Saya bingung.. Jujur saya bingung.

Sebenarnya ada satu hal yang belum saya lakukan. Menangis. Seingat saya, sejak saat vonis pembatalan proyek itu di jatuhkan, saya belum menangis sama sekali. Lebih tepatnya tidak bisa. Logika sudah terlalu mencengkram pikiran ini. Saya terlalu takut untuk menangis. Menumpahkan semua, menyalahkan semua. Membiarkan semua masalah itu terbuka lebar. Melepaskan semua penolakan dan alasan yang menghantui diri ini. Menghancurkan semua idealisme, mimpi, semangat, harapan, kenangan, pencapaian, kesuksesan serta semua belenggu yang membatasi hati ini.

Setelah itu, saya baru bisa mengais lagi serpihannya. Menata lagi bak puzzle yang imaji. Membentuknya lagi menjadi seuatu yang baru. Mimpi yang baru, idealisme yang baru, semangat yang baru, sesuatu yang baru. Sehingga saya sekali lagi bisa mencapai langkah baru.

Seharusnya itu yang saya lakukan. Tapi sayangnya menangis adalah hal terakhir yang belum dapat saya lakukan. Entah kapan, entah seperti apa, entah dalam bentuk apa. Saya tidak tahu. Satu hal yang pasti. Saya butuh menangis…