Malam ini adalah malam entah keberapa saya tidak bisa tidur. Dianugrahi
dengan kemampuan berpikir yang kadang terlalu logis dan konseptual, membuat
kepala saya selalu dipenuhi banyak hal. Mulai dari bahan tulisan buat blog dan
draft buku, ide desain yang menarik, target pekerjaan yang masih jauh masa
deadlinenya, atau sekedar gagasan-gagasan memperbaiki dunia yang kadang terlalu
mengada-ada. Itu saja sudah cukup menyita perhatian saya. Belum lagi kenyataan
bahwa hubungan dengan seorang wanita yang kandas baru-baru ini. It just make my brain exploded by thought.
Terlalu banyak yang berputar di kepala saya dan pada beberapa kasus, menjadi
berbalik menyerang. Ya, seperti saat ini. Tidak bisa tidur.
Sebenarnya saya bisa saja menghilangkan pikiran-pikiran itu. Tapi di
hati paling dalam, saya juga menyadari bahwa berpikir adalah anugrah paling
besar yang pernah Allah berikan pada manusia. Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada. Frasa itu seakan
menjadi jargon yang selalu saya pegang sehingga seberapa menyusahkan,
menyakitkan, merepotkan kebiasaan berpikir yang dimiliki ini, syukur dan terima
kasih selalu dipanjatkan padaNya.
Kembali pada kebiasaan berpikir. Semua orang berpikir, semua orang
melakukannya. Lalu apa bedanya ? Bedanya, saya tidak bisa berhenti memikirkan
sesuatu jika saya belum mendapatkan jawaban atau penjelasan logis dari
pemikiran tersebut. Tidak hanya itu, saya juga terbiasa melihat segala sesuatu
dari banyak aspek dan banyak aspek yang saya maksud adalah semua aspek. Bahkan
dari sisi yang orang lain tidak pernah terpikirkan. Selain itu, karena terbiasa
berpikir strategis, saya selalu mencari data atau pengalaman yang sudah ada,
menganalisisnya, membuat hipotesa, mencari kesimpulan dan penjelasan kemudian
memikirkan alternative-alternatif tindakan dan dampaknya hingga puluhan langkah
kedepan.
Begini contohnya. Jika anda melihat sebuah kotak rokok, apa yang akan
anda pikirkan ? Kebanyakan dari anda, akan melihat dari bentuk kotak yang
menarik, bagaimana rasa rokok itu, kenapa harus merokok, berapa harganya, sudah
berapa bungkus yang habis. Itu saja sudah jarang orang yang berpikir serumit
itu. Sebagian yang lain mungkin berpikir lebih jauh, tentang bagaimana desain
yang lebih bagus, bagaimana rokok dibuat, bagaimana pemasaran yang lebih
efektif atau kandungan yang ada di dalam rokok tersebut. Tapi sekali lagi,
tidak banyak yang berpikir sejauh itu. Well
after all its just a pack of cigarettes. Who care ?
Tapi sayangnya, saya pada beberapa kasus berpikir lebih jauh dari itu.
Bagi saya, kotak rokok memberikan banyak inspirasi dan keingintahuan. Saya akan
memulai berpikir tentang sejarah rokok, penjualannya di masa lalu,
cerita-cerita menakjubkan bagaimana rokok mengubah sebuah etnis menjadi raja
dan orang terkaya, dan mereka tetap menjadi bersahaja. Lalu saya mulai bertanya
tentang bagaimana rokok dibuat, bagaimana racikan yang pas, proses pembuatan
yang efektif, lini produksi yang mendukung kecepatan sekaligus kualitas
sempurna, layout gudang, pengaturan logistic, pemastian stock dari pabrik
hingga ke pengecer. Berlanjut ke pemasarannya. Bagaimana mereka menciptakan
ketergantungan, membuat iklan rokok tanpa ada rokok, mencipakan brand dan positioning, mempengaruhi pemerintah untuk mempertahankan pasal
rokok, menyusup di rapat dewan tanpa ketahuan, dan bagaimana sikap bersahaja
itu mungkin adalah sebuah konspirasi agar bisnisnya tetap langgeng. Lalu mulai
melihat dari kemasan rokoknya. Mengapa harus kotak ? kenapa tidak bulat ? Atau
segi enam? Kenapa harus ada 16 atau 12 batang ? Berapa biaya pembuatan kotak itu
? Bagaimana jika bahannya diganti ? Bagaimana jika desainnya berubah ?
Bagaimana mengkomunikasikan perubahan pada pelanggan dan internal perusahaan ?
Apa dampaknya ? Dan saya masih bisa menyebutkan banyak lagi pertanyaan dan
pikiran yang muncul dikepala. Tapi bukan itu inti tulisan ini.
Bottom point is, kadang saya terlalu banyak berpikir dan
menganalisa. Dan saya selalu berusaha mencari jawaban atas pikiran-pikiran
tersebut. Untungnya kita hidup di era dimana informasi adalah barang murah,
bahkan gratis. Cukup buka Google dan hampir semua jawaban itu saya dapatkan.
Itulah mengapa membaca buku adalah kegemaran yang tidak bisa dipisahkan. Saya
terlalu ingin tahu dan haus akan informasi. Apa saja dibaca, apa saja
ditanyakan. Dan sekali lagi, saya bersyukur karena dikaruniai pikiran dan
ketertarikan pada banyak hal.
But like someone said, curiosity
kill the cat. Begitupun dengan
saya. Karena terlalu banyak informasi, saya menjadi kelebihan informasi.
Kesulitan mencerna mana yang penting dan mana yang tidak penting. Saya tidak
bisa fokus dan konsisten dalam segala hal. Semua serba mendadak, semua kadang
tidak terencana. Dan akhirnya saya sendiri kebingungan mencari benang merah
dari jutaan informasi tersebut.
Benang merah itu juga yang berkontribusi besar dalam malam-malam tanpa
tidur saya. Berusaha membuat kerangka, menyusun hipotesa, menguji hipotesa
tersebut dengan alternative-alternatif, mencari kesalahan dan kemungkinan lain
yang bisa cocok hingga mendapatkan jawaban yang menurut saya, saat itu, cukup
logis.
Semua itu menjadi tidak terlalu bermasalah ketika berhubungan dengan
sesuatu yang nyata, ada datanya dan bisa di uji coba. Yang membuat saya selalu
pusing ialah ketika berhadapan dengan masalah atau kasus yang berhubungan
dengan manusia. Terbiasa dengan hipotesa dan pikiran sendiri membuat saya
terkadang memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang lain. Saya juga stress
karena data yang ada untuk membuat hipotesa kemudian menguji dan mengambil
kesimpulan terlalu sedikit. Bagaimana saya bisa mendapatkan semua jawaban atas
pertanyaan tersebut jika orang yang saya ingin tanyakan tidak berpikir sejauh
saya ? Atau dia sendiri tidak bisa saya mintai pendapat dan jawabannya karena
beberapa hal ?
Ketika itu terjadi, mulailah curiosity
dan pikiran menghancurkan kehidupan saya. Mulai dari berpikir mengapa ini
terjadi, mengapa tidak seperti ini, apa alasan dari tindakan, ada makna lain
kah dari tindakan tersebut serta pertanyaan-pertanyaan lain yang tampak nya
sepele tapi tetap saya pikirkan. Dengan data yang sedikit itu, saya mulai
melakukan kesalahan kedua. Membuat hipotesa, asumsi-asumsi, pemikiran yang
tidak masuk akal, penjelasan yang dikira-kira dan akhirnya berujung pada
pengambilan keputusan yang salah dan tidak benar.
That’s just my flaw. Sisi negatif dari anugrah yang saya miliki.
Pada akhirnya, terkadang saya tidak mau banyak berpikir soal manusia. Dan cara
ini juga tidak begitu saja menyelesaikan masalah. Karena berusaha mengingkari
nature sendiri, saya terkadang menyimpan sesuatu untuk diri sendiri. Masalah
dengan orang lain tidak terselesaikan, perasaan curiga muncul tidak pernah
hilang, pesimistis terus berkembang hingga berujung pada ketidakpercayaan
dengan mahluk bernama manusia.
And its start to worsen me even
more. Percaya pada manusia
adalah salah satu anugrah yang bukan saja tidak bisa dihilangkan tetapi juga
dibutuhkan. Tekanan karena tidak bisa mempercayai orang berdampak pada sifat
buruk lainnya. Memakai topeng. Saya pun mulai terbiasa menyesuaikan diri untuk
berdamai dengan perasaan, kemarahan, ingin tahu, keinginan karena jika saya
ingin mendapatkan jawaban-jawaban atas curiosity
tersebut, orang lain pasti menganggap aneh, terganggu bahkan tersakiti.
Akhirnya, karena terlalu banyak memakai topeng, saya mulai kehilangan jati diri
sendiri dan itulah puncak dari seluruh efek negatif pikiran tersebut.
Untungnya, beberapa tahun belakangan saya menemukan solusi sementara
untuk pemikiran liar ini. Ada dua pendekatan yang digunakan dan memudahkan
menjelaskan tentang bagaimana saya mengatasinya. Pertama, saya membagi sumber
masalah pikiran menjadi dua, yaitu pikiran tentang pekerjaan dan pikiran
tentang kehidupan pribadi saya. Seiring dengan waktu dan kematangan saya
sebagai manusia, tanggung jawab dan passion terhadap pekerjaan menjadi hal baru
yang akhirnya menjadi prinsip yang akan selalu melekat. Job is a job and it should not be interrupted by personal life. Ada
kepentingan dan kepercayaan dari orang lain yang tidak seharusnya dikhianati
hanya karena saya punya masalah pribadi. And
yes, it works for me. At least I have a great professional life !
Ide, gagasan, inovasi, pikiran tidak jelas yang muncul dari sisi
pekerjaan atau personal improvement berhasil
saya atasi dengan lebih banyak membaca, bertanya dan menulis. Jika malam-malam
saya terlalu membosankan maka tinggal turun kebawah, membuka buku yang belum
dibaca atau mulai menulis di blog professional saya. It turns great. Saat ini saya punya blog yang secara teratur di
update dan sedang menyusun buku pertama tentang bidang yang menjadi kompetensi
saya. Jika itu pun membosankan, saya tinggal mencari akses internet terdekat,
membuka forum luar negeri untuk ikut diskusi atau sekedar mengamati
perkembangan yang sedang terjadi di luar sana. Like I said, everything that have proper data and support analysis is
easy to handle.
But here come the nightmare. Metode fokus pada pekerjaan membuat saya
sangat nyaman. Lagipula sejak awal saya memang tidak begitu perduli dengan
hubungan antara manusia. Kepercayaan adalah barang mahal yang hanya saya
berikan pada orang tertentu. Dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari dari satu
tangan saja. Saya bahagia, sebagai seorang professional tapi tidak sebagai
seorang manusia social.
Bagaimana pun, kebutuhan bersosialisasi dan menyalurkan pikiran tidak
bisa sekedar dipuaskan dengan menulis di blog pribadi ini atau membuat cerita
refleksi diri di forum tanpa membuka identitas. Kini keadaan tidak semudah itu
lagi. Saat ini, saya hidup di lingkungan dengan lingkup social yang kecil.
Manusia yang ditemui hanya sedikit, sebagian besar malah klien dari pekerjaan.
Lainnya hanyalah outsider yang tidak
terlalu penting dalam hidup. Apalagi saya tinggal di apartemen dengan tingkat social
yang cukup rendah (or maybe its just me
that reject the social life ? :) ).
Awalnya itu semua bukan masalah. Menjadi beban ketika saya mulai
memutuskan membuka hati pada seorang wanita. Sebelum bertemu wanita ini, saya
masih berjuang untuk melupakan kenyataan bahwa rencana terbesar dalam hidup
harus kandas bersama mantan sebelumnya. Belum lagi sakit hati karena
kepercayaan yang langka saya berikan ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi
saya tidak bisa selamanya tidak percaya pada manusia kan ? It’s a nature that make us a human, not a robot.
Maka ketika ada kesempatan yang ditawarkan untuk kembali percaya serta
kemungkinan untuk memiliki keluarga, saya mengambilnya. And swear to God, I love that woman till now. Dia dengan segala
kekurangannya, adalah bagian hidup saya. Setidaknya hingga kenyataan,
ketakutan, dan juga keadaan memisahkan kami berdua. Ya, terlepas dari semua
kriteria yang saya cari dari seorang pasangan hidup ada beberapa kenyataan
bahwa kami memang terlalu berbeda. Terlalu banyak pertanyaan dan ketidakyakinan
yang menyertai hubungan kami. Ada energy negatif yang entah bagaimana selalu
muncul sekuat apapun kami berusaha menyingkirkannya.
Pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai muncul tidak
tertahankan. Logika pun mulai bermain, asumsi pun mulai dibangun dengan data
yang tidak valid. Alternatif bodoh pun mulai bermunculan. Menariknya ialah
berbeda dengan mengatasi pikiran-pikiran di sisi professional yang lebih
mengutamakan logika, saya lebih banyak menggunakan hati dan kepercayaan dalam
mengatasi ledakan pikiran dari sisi personal
life.
Saya bukan orang yang mudah percaya pada seseorang tetapi ketika
memutuskan percaya maka kepercayaan adalah totalitas. Itu cara paling ampuh
untuk mengatasi pikiran dan logika bodoh saya tentang manusia. Saya hanya harus
mempercayainya. Bahkan ketika semua data, variable, asumsi dan kesimpulan mengarah
pada jawaban yang bertolak belakang. Saya hanya harus mempercayainya. Pada
akhirnya, ada beberapa kejadian di dunia yang tidak bisa dijawab dengan otan yang
terbatas ini. Tuhan, takdir, dan cinta. Mereka memang dibuat untuk dipercaya,
bukan untuk dicari alasan mengapa atau penjelasannya. Setidaknya itulah yang
saya yakini.
Maka ketika semua pikiran liar itu muncul, data memberikan bukti sempurna,
logika memberikan hipotesisnya, bahwa hubungan kami memang sulit untuk
berhasil, saya hanya perlu percaya pada mimpi bahwa wanita itu adalah tulang
rusuk yang disiapkan Tuhan jauh sebelum terciptanya dunia.
Ohh,, dear God. I wish life is
just as simple as like that.
Bertahan dari pikiran dan kebiasaan berpikir logis sudah sulit dilakukan. Kini
saya harus melakukannya sembari meyakinkan wanita yang juga punya masalah yang
sama. Dia pernah gagal dalam hubungan dan kegagalan tersebut merusak
kepercayaannya pada cinta. Dia tidak yakin pada saya, tidak percaya pada
kemungkinan kami bersama selamanya, ketakutan akan pendapat orang lain, tidak
nyaman akan rasa insecure nya, tidak
puas akan jawaban yang diberikan dan itu semua membuat dia terus menerus
bertanya, bertanya dan bertanya. Pertanyaan yang akhirnya meluap dalam sebuah
pernyataan yang menjadi titik kulminasi hubungan kami.
Kembali sedikit ke hubungan saya dengan beberapa wanita sebelumnya. Pengalaman
mengajarkan bahwa keyakinan bisa mengalahkan semua keraguan. Itu mengapa pada
hubungan sebelum ini saya mempercayai wanita yang faktanya jelas tidak bisa
terbuka pada saya dan tetap melamarnya. Dalam semua ketidakpastian akan seperti
apa dia setelah menikah, saya tetap mempercayainya. Karena saya hanya harus
mempercayainya dan terus melangkah. Dan percaya atau tidak, sebagian besar
wanita yang pernah mempunyai hubungan khusus dengan saya adalah wanita dengan
tipikal sama. Unstable emotion, rotten by
their self problem and offcourse, dealing with fact that I’m just not enough
for her.
Tapi wanita ini berbeda. Dia haus kebenaran dan keyakinan padahal itu
hanya bisa ditemukan dari kesadaran untuk mempercayai pasangan. Dan dia
menyatakannya dengan kata-kata, pertanyaan pertanyaan yang terus menerus
berulang, walaupun saya sudah berusaha menjawab dan memberikan keyakinan. Saya
juga bertanya, ragu, insecure, takut, butuh dikuatkan dan disupport. Tetapi
saya cukup sadar bahwa keraguan dan ketidakyakinan tersebut berasal dari diri
saya sendiri, bukan dari keadaan atau kekurangan pasangannya. Itulah mengapa
saya memendam semua, meyakinkan diri sendiri dan terus menerus percaya pada
cinta.
Tetapi sekuat apapun saya, pada akhirnya energy negatif yang terus
menerus datang itu meruntuhkan keyakinan yang sudah dijaga. Saya yang menyerah.
Itu salah saya. Bagaimanapun saya adalah pria yang seharusnya menjaga dan terus
meyakinkan dia. Saya lah yang tetap bertahan dan menjawab keraguan dia dengan
tindakan. Memberikan apa yang diidamkannya karena hanya itu permintaan dia. Saya
gagal. Berakhirnya hubungan ini adalah tanggung jawab saya. Tidak perlu dibahas
lagi atau dicari alasan.
Kini, yang bisa saya lakukan adalah menata hati lagi, mencari metode
yang bisa menghilangkan pikiran-pikiran negatif, pertanyaan-pertanyaan yang tidak
akan pernah terjawab, hipotesis yang tidak akan pernah terbukti serta
kesimpulan yang akan selalu jadi misteri. Beberapa solusi yang dilakukan untuk
berhenti berpikir dan berasumsi adalah bekerja, membaca, dan paling efektif
yaitu menulis dan terus menulis. Sayangnya hingga kini metode yang tepat itu
masih belum ditemukan. Buktinya saya masih saja terbangun hingga pagi bahkan
ketika badan sudah memaksa istirahat. Terbenam dalam puluhan gelas kopi dan
ratusan batang rokok. Terbangun telat dan menjalani rutinitas kantor dengan
badan yang melemah untuk mengulang lagi peperangan dengan pikiran dan terjaga
hingga pagi menjelang.
Metode itu tampaknya memang tidak akan ditemukan karena semuanya hanya obat
sementara yang menekan symptom bukan menyembuhkan akar masalahnya. Karena
bahkan setelah semua yang terjadi, saya tetap percaya. In the end, love is just as simple as that…