Music and How They Affect Me
Posted: Rabu, 29 Agustus 2012 by Iqbal Fajar in
0
It’s silly how musik can affect
me this much. Yup, walau
kelihatanya aneh, musik bisa mempengaruhi bagaimana cara saya melihat kehidupan
atau lebih tepat, berdamai dengannya. Ini sudah terjadi berkali-kali. Ketika
pekerjaan bertumpuk, jalanan ramai dengan kemacetan, suasana hening yang
menyebalkan, konsentrasi dibutuhkan dalam bekerja, atau yang paling sering,
ketika pikiran tidak mau berhenti mempermasalahkan hal-hal sepele.
Entah dengan bagaimana, sihir melodi musik bisa memberikan ketenangan
sekaligus kegilaan pada emosi labil saya. Bermotor yang semula tegang dapat
berubah menjadi ketenangan dalam kecepatan, kebuntuan ide bertransformasi
menjadi rangkaian kata dan inspirasi atau suasana hati gundah yang berbalik
ceria. Musik entah bagaimana caranya, mewujudkan itu semua.
Silly, right ? Kecanduan saya pada musik sudah ada sejak
dahulu kala. Sejak pertama kali Walkman, produk revolusioner dari Sony Co.
diluncurkan. Ketika kaset menjadi media utama musik dimainkan dan radio sangat
popular dengan request dan titip salamnya. Saya bukan pecinta live musik,
setidaknya saat itu di masa SMA. Kehidupan asrama memberikan keterbatasan. Saat
itu, dengan Walkman pinjaman dan radio yang disembunyikan kehidupan SMA yang
membosankan menjadi lebih berwarna. Malam-malam yang dihabiskan dengan menelpon
rahasia ke stasiun radio demi request lagu kesayangan, menemani waktu belajar
yang kadang selalu over time. Atau ketika album
Westlife dan Blink 182 yang terus menerus berngiang di kuping.
Tapi, masa SMA sesungguhnya bukan saat dimana musik mengubah cara saya
berinteraksi dengan dunia. Kuliah adalah titik baliknya. Kebebasan yang
tiba-tiba hadir membuat passion
terhadap melodi sekaligus teriakan lantang rocker memberikan saya ruang baru
untuk menikmati dunia. Earphone tidak
pernah lepas dari kuping. Kanan untuk earphone,
kiri untuk mendengar. Autisme dan tidak sopan menjadi trademark yang kerap
dibubuhkan oleh orang disekitar. Wajar saja, siapa yang suka mengobrol dengan
orang yang kerap kali mengangguk pelan menikmati reff Linkin Park ketika diajak
bicara. Beberapa teman bahkan mengatakan bahwa indra saya hanya bisa bekerja
satu bagian dan bagian lainnya tidak aktif karena saya kerap kali tidak
menjawab saat dipanggil.
Musik saat itu menjadi teman sekaligus sumber kegembiraan dan tawa.
Jarang sekali masalah atau pikiran negative menghampiri (even thought that maybe affected by my youth spring too). Tidak
jarang saya ditegur teman kamar dan kost karena kebiasaan berteriak menyanyikan
lagu atau ketika asyik bergumam ketika kumpul dengan sahabat. That time, my world is all about me and
Walkman, others are just tenant :)
Keadaan berubah tatkala ada cinta menghampiri. Konsekuensi dalam
hubungan membuat saya rela melepaskan musik sebagai bagian kehidupan. Tidak ada
lagi earphone yang menempel, teriakan
ala rocker atau gumaman lagu sendu. Mereka berganti dengan wanita yang hampir
seluruh waktu menemani saya. Dan saya bahagia melepaskan bagian itu demi
memberikan perhatian yang terbaik bagi wanita tersebut.
Keadaan mulai berubah ketika cinta meninggalkan saya. Di akhir kehidupan
kuliah yang menyenangkan itu, saya harus bertahan dengan kehilangan wanita yang
sudah menjadi bagian dalam keseharian. Ketika itulah musik kembali
menyelamatkan. Saat skripsi tertunda oleh sulitnya metodologi, ketika teman
terbagi dan ketika jalanan mulai menjadi tempat pelarian. Yup, sang musik
menemukan partnernya. Dalam derasnya angin malam dan dinginnya udara Puncak,
saya mengejar ketenangan melalui kecepatan dan hentakan musik. Mereka seakan
tenaga dan semangat yang tidak pernah berhenti menghidupi saya. Pun begitu
ketika perjalanan jarak jauh mulai saya lakukan dimasa kerja. Single touring dan perjalanan malam yang
pernah saya ceritakan di artikel lainnya. Mulai dari nyasar malam di Jakarta,
Bandung yang rutin dijalani, Lampung yang hanya dipersiapkan 3 hari, hingga
Jogja yang memberikan saya mimpi untuk terus menjelajahi jalanan.
Tidak hanya dengan jalanan musik berteman, tetapi juga ketika fokus pada
pekerjaan menjadi kebutuhan. Rekan kerja pernah berkata, terlepas dari perilaku
kekanakan saya, saat-saat ketika diam di depan laptop, fokus pada layar dan pekerjaan
adalah sedikit waktu saya terlihat sebagai orang dewasa dan professional
sesungguhnya. Hingga kini pendapat itu tetap berlaku. Ketika hingar bingar
ruang kerja berjalan, saya tetap asyik dengan kesunyian lantunan nada.
Musik juga hadir dalam bentuk lainnya. Tidak hanya terbatas pada earphone, headphone atau dentuman bass
speaker. Ia juga hadir dalam bentuk live
musik di restoran, café, event, bahkan club. Live musik pertama saya ada di
Java Jazz bersama mantan. Event yang awalnya hampir di cancel itu kini menjadi
rutinitas tahunan. Bentuk lainnya juga hadir dalam bentuk kencangnya hentakan musik
club bersama dengan alcohol. Untungnya alcohol sudah lama tidak menjadi bagian
dari pengalaman musik saya. Kini, saya sudah sangat terpuaskan hanya dengan
duduk meminum cola sambil berlompat
mengikuti hentakan DJ atau live band
di beberapa club tertentu. Sering saya dianggap aneh karena pergi ke club hanya
sekedar mendengar musik tanpa alcohol atau seperti yang pria lain lakukan, mencari
pasangan.
Plihan lagu pun mulai menemukan bentuknya. Pop Jazz, akustik, RnB, alternative, dan british music adalah pilihan utama. Tidak saja karena nadanya yang tidak
biasa, nada yang cepat atau pilihan kata-kata yang tidak murahan, tapi karena
genre tersebut adalah bentuk saya sebenarnya. Rumit, kompleks, detail tapi
disisi lain berusaha tetap memandang dunia sebagai tempat bermain dan menikmatinya
hingga nafas terakhir.
Dan seperti itulah makna musik bagi saya. Dia sebagai bius penenang
dalam kekacauan, lonjakan semangat ketika masa suram, percikan ide dalam
kebuntuan dan tentu saja, teman dikala kesendirian datang. Dia bukan cinta yang
saya kejar seumur hidup, hanya rangkaian nada yang tidak pernah berkhianat
ketika dibutuhkan. Hadir dalam kehidupan tanpa menuntut komitmen berkelanjutan.
Ya, musik adalah salah satu bagian hidup yang tak terpisahkan J