Topeng
Posted: Selasa, 22 Juni 2010 by Iqbal Fajar inBerapa banyak topeng yang kita gunakan?
Pertanyaan aneh dan tidak jelas. Bukan topeng biasa yang saya tanyakan. Tapi topeng di kehidupan berupa rasa sayang, kekesalan, kebohongan, kemunafikan, ataupun ketidakjujuran. Bangsa kita terbiasa dengan lapisan topeng yang dipakai sehari-hari. Atas nama kebaikan, atas nama stabilitas, atas nama menghindari friksi dan pembenaran lainnya. Bangsa ini memang dikenal dengan ketulusan hati, keramahtamahan, dan kesopanannya. Sayangnya, kenyataan yang sering saya temukan berkata sebaliknya.
Entah itu berupa bisik-bisik dibelakang tembok, konspirasi dari ruang rapat, hujatan di belakang layar dan sejenisnya. Dan sayangnya itu ditemukan dalam hampir setiap langkah saya. Sadar atau tidak sadar kita semua melakukannya. Gosip tentang rentang gaji yang bagaikan langit dan bumi, cerita tentang kesalahan seorang rekan, perselingkuhan sesama rekan kerja, pimpinan yang terlalu takut melangkah atau hujatan terhadap lemahnya sistem.
Tapi coba lihatlah, berapa banyak dari keluhan, umpatan, gossip, cerita tersebut yang muncul ke permukaan? Sebagian besar hanya riakan kecil di ruang rapat walaupun arus besar pergolakan sebenarnya terjadi di arus bawah. Pelakunya memakai topeng-topengnya. Sesuai dengan karakter, kebutuhan dan keberpihakannya. Ada yang nyaman dengan topeng kalemnya, santai dengan topeng anak penurutnya atau bahkan terang-terang sakit hati dengan wujud topeng kemarahannya. Tidak ada yang tahu apa, siapa, bagaimana bentuk asli dibalik topeng itu. Tidak anda, tidak saya, juga orang lainnya. Hanya si pemakai topeng itu sendiri yang bisa berkaca pada kejernihan hatinya.
Saya sendiri termasuk manusia yang nyaman dengan topeng anak nakal. Bisa berupa mulut yang iseng mencela, kata-kata yang tidak pada tempatnya, keakraban yang kadang berlebihan, kelakuan yang childish, atau kurangnya tata karma. Padahal saya juga terkadang tidak nyaman dengan topeng itu. Tapi topeng inilah yang menurut saya paling bisa merepresentasikan jiwa. Daripada menjadi anak manis yang kerjanya menjilat, lebih baik menjadi perhatian dengan tingkah laku yang urakan. Konsekuensinya memang banyak. Anggapan orang tentang ketidakdewasaan, tidak professional, pemalas, tukang onar, dan keras kepala adalah kenyataan yang harus diterima. Entah berapa banyak masalah yang sudah diterima sebagai dampak penggunaan topeng anak nakal itu. Mulai dari keributan dengan kakak kelas, perang dingin dengan rekan kerja, KPI yang katanya tidak baik, sampai ditolak oleh seorang wanita dengan alasan terlalu kekanakkanakan.
Topeng yang kita bicarakan ini menurut saya adalah representasi ketidaknyamanan kita pada keadaan. Bentuk ketidaknyamanan itupun diwujudkan dalam suatu perlindungan terhadap gangguan dari luar. Berawal dari sanalah topeng itu terbentuk. Semakin lingkungan tidak nyaman, maka semakin berlapis dan beragamlah topeng yang kita pakai. Hingga terkadang kita tidak tahu lagi siapa diri kita sebenarnya.
Topeng tetaplah topeng. Tidak ada yang nyaman dengannya karena nurani tidak bisa dibohongi. Lambat laun, rasa bersalah dan ketidaknyamanan akan menghantui. Ketika itu tejadi, berhentilah sejenak. Keluar dari sistem anda lalu lepaskan satu per satu topeng yang anda pakai. Kemudian tersenyumlah, menangislah, marahlah, keluarkan semua. Topeng tetaplah topeng. Hanya hiasan, hanya pajangan. Bukan tujuan apalagi kehidupan. Lalu melangkahlah. Dengan wajah anda yang sebenarnya karena nyawa ini terlalu berharga untuk dihabiskan dari balik topeng-topeng kehidupan.
Semoga topeng-topeng kita tetaplah topeng-topeng biasa. Bukan hidup kita, bukan tujuan kita.