Thinker

Posted: Selasa, 28 Juli 2015 by Iqbal Fajar in
0

Being thinker is perks as well as flaw. 

Inilah gift sekaligus curse. Being thinker is the best perks that I always feel grateful all the time. Karena gift ini pula saya berhasil survive dalam kehidupan, mendapatkan pencapaian yang tidak pernah diduga dan berkesempatan melakukan banyak hal.

But as I said earlier. It's also my flaw. Menjadi thinker artinya mengerti sesuatu atau berusaha mengerti dengan berbagai macam aspek, pola pikir, perspektif dan sudut pandang. Menjadi thinker artinya mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan, merencanakan sesuatu yang belum terjadi, mencoba mengerti sesuatu tanpa batasan, mencari jawaban atas pertanyaan sepele atau sekedar penasaran dengan anomali tidak penting.

Padahal, tidak semua harus terjawab, tidak semua prioritas, tidak semua perlu dilihat dari berbagai pandang dan tidak seluruhnya harus dipersiapkan dengan detail. Dunia dipenuhi dengan segala ketidakpastian yang membuatnya menjadi menarik. Mencari jawaban untuk segala irregularities perlu dilakukan, tapi tidak semua harus terjawab. Ketika satu hal tidak sesuai harapan, mungkin saja memang itulah jawabannya. Sebuah kebetulan mungkin saja membawa pada pencerahan dan kebahagiaan. Tidak semua harus ada alasannya. Kita hanya perlu menjalaninya dan menikmati hidup.

Tapi tidak dengan saya (dan mungkin thinker-thinker lainnya). Selalu harus ada penjelasan, harus ada persiapan, harus ada perspektif lain, harus ada jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan bodoh yang tidak penting. Kenapa rasa makanannya tidak pas padahal sudah sesuai resep, kenapa desain rokok harus kotak, kenapa orang-orang rela berjam-jam di jalan demi mudik, kenapa target peserta tidak tercapai padahal harga sudah murah, kenapa setting grinder fine malah menyebabkan kopi bitter, kenapa setelah diskusi yang menyenangkan dia malah menghindar, kenapa dan kenapa dan kenapa lainnya.

Belum lagi bentuk pertanyaan bagaimana, apabila, seharusnya, sebaiknya, seperti apa, yang dipadukan dengan topik-topik remeh lainnya. 

Being thinker is exhausting. 

Dan puncaknya adalah 1 minggu sebelum ini. Saya menghabiskan waktu berpikir dan berasumsi hingga bermalam-malam. Berusaha mencari jawaban atas pertanyaan, fakta, kejadian, kasus dan keadaan yang terjadi. Tanpa tidur, tanpa istirahat selayaknya dan tanpa kesadaran akan setumpuk tanggung jawab...

Dan flaw overthinking ini diperparah dengan kemalasan yang entah kenapa enggan beranjak. Setelah semua pikiran tersebut, saya masih saja malas untuk bergerak mencari jawabannya. Hanya mengandalkan otak dan asumsi, saya berusaha menekan pikiran-pikiran tersebut. Mengalihkannya dengan kegiatan lain yang tidak memberi jawaban. Main game, browsing, merokok, membuat kopi, berjalan tanpa arahan dan berusaha tidur.

Tapi selayaknya thinker, pikiran saya tidak akan terpuaskan jika jawaban belum tercapai. Dan usaha untuk mengalihkan pikiran tersebut hanya berujung pada tambahan topik lainnya untuk dipikirkan.

And here we are. 

Jam 5.32 pagi, setelah 2 cup double espresso, segelas kopi, setengah bungkus rokok, berjam-jam mendengarkan lagu, main game, dan mata yang terus terjaga. 

Hufftt,, I need rest.. mind and body...