Tentang Rindu pada Menulis

Posted: Kamis, 13 Oktober 2016 by Iqbal Fajar in
0

Well,,

Sudah lama sekali rasanya tidak menulis di blog ini. Hampir 2 tahun sudah ditinggalkan. Tertelan dalam rutinitas pekerjaan, kesibukan personal dan kehidupan berkeluarga. Sebenarnya sudah beberapa kali saya menyambangi blog ini. Hanya sekedar untuk melihat kembali tulisan lama atau sekilas melihat kembali masa lalu.

Dan kini saya kembali lagi.

Alasan utama mengapa saya mencoba menulis lagi di blog ini sederhana saja. Ada banyak hal telah bergerak dari jalur harapan dan rencana. Dan seperti biasa. Saya galau dan kesepian. Lagi.

Lucu ya. Blog ini dulu dimulai dari kesepian dan kegalauan saya. Berhenti karena sepi dan galau hilang. Lalu kembali terisi karena hal yang tak jauh berbeda. Bedanya konteks dari sepi dan galau itu sendiri.

Jika dulu sepi dan galau terdefinisi dalam bentuk sebenar-benarnya, tapi kini sepi dan galau terdefinisi dalam bentuk yang berbeda.

Dulu galau lebih banyak karena percintaan atau sekedar keresahan sosial terhadap fenomena disekitar saya. Kini galau adalah rindu saya pada kejujuran terhadap berkata-kata dalam makna. Dengan lingkup pekerjaan, imaji, kata, analogi, dan frasa adalah objek terlarang. Saya harus menjelaskan segala sesuatu dengan makna sejelas-jelasnya. Tanpa ambiguitas dan tanpa makna tersirat. Padahal bahasa saya sejak dahulu memang selalu bersayap. Itu mengapa saya cinta puisi. Galau juga kini berubah makna nya. Jika dulu saya bisa menulis seenak udel dalam kosakata dan kejujuran cerita, kini atas nama pekerjaan dan profesionalitas, saya harus memaksa memilih untaian kalimat agar sesuai dengan kebutuhan klien. Akhirnya saya terbiasa berkata sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Kemampuan itu memang sangat berguna di pekerjaan. Tapi menghasilkan kegalauan luar biasa. Saya rindu berkata-kata dalam jujurnya analogi, liarnya imajinasi dan masa bodohnya pendapat orang lain.

Lain cerita dengan sepi. Jika dulu makna sepi adalah karena tidak ada entitas lain yang menemani, teman bercerita ketika galau tiba atau sekedar tempat pencurahan rasa sayang. Tapi kini sepi tidak lagi bermakna sama. Sepi kini adalah kerinduan pada kesendirian itu sendiri. Rindu pada nikmatnya kesendirian di malam hari, kangen pada masa-masa introspeksi diri, dan juga rindu terhadap ke egoisan menghadapi dunia. Dengan status saat ini, kesendirian adalah barang berharga. Tapi sendiri versi saat ini tidak hanya terbatas pada kebutuhan sendiri secara fisik saja. Kini sendiri juga hadir dalam bentuk berbeda. Fisik bisa saja tidak bersama. Tapi pikiran saya sulit menyendiri. Sulit menjadi egois lagi, teramat susah untuk menyenangkan diri sendiri dan hampir mustahil memusatkan pikiran hanya untuk sekedar kosong, tanpa berfikir apa-apa. Selalu saja ada hal yang harus dipikirkan dan sedihnya, itu bukan untuk diri saya sendiri.

Dan kini saya sudah mencapai batasnya. Galau dan sepi definisi baru ini sudah begitu memuncak sehingga memaksa saya untuk menulis lagi. Karena jika tidak, hidup saya akan tambah sia-sia. Meratapi mengapa kini galau dan sepi definisi baru itu hadir lagi dan kapan hilangnya.

Dan seperti saat saya pertama kali menulis blog ini, harapannya akan tiba di suatu masa dimana galau dan sepi definisi baru ini terhenti karena saya sudah menemukan obatnya. Entah apa solusinya dan kapan selesainya. Well, I just need to write anyway. And hopefully, this will trigger me to be a better person.

Lets start.

Onward,

Faithfully Me