Rindu

Posted: Rabu, 04 September 2013 by Iqbal Fajar in
0

Rindu aku pada angin
Yang menerjang, tegas, tak bertulang

Dalam hening dentuman nada
Serta adrenalin yang membuka mata

Rindu aku pada cengkrama
Tentang spontan dan tanpa aba-aba
Tiada wajah yang selamatkan atau malu yang bertuan

Rindu aku pada tawa 
Berlepasan tanpa henti
Hanya tertahan oleh waktu pagi

Rindu aku pada tangis
Menetas tiba-tiba
Menyeruak dalam bising keteraturan


Wahai diriku yang dahulu
Kemana engkau tersimpan?
Apakah sudah nikmat kursi empukmu itu?
Atau terang sudah malam sendirimu?
Hingga kau lupakan bahwa hidup sejatinya adalah bergembira?

Akar

Posted: Senin, 02 September 2013 by Iqbal Fajar in
0

Sudah lama rasanya saya tidak menulis. Walaupun definisi menulis sedikit dipertanyakan. Ya, definisi menulis ini ialah menulis di blog pribadi. Bercerita tentang perasaan, pengalaman, kejadian dan romansa kehidupan. Menulis tetap saya lakukan tetapi dalam bentuk berbeda. Lebih banyak berupa artikel atau pekerjaan. Proposal, presentasi, makalah, hingga tulisan ilmiah.

Tapi hampir tidak ada yang berupa tulisan curahan hati seperti biasanya. Ini aneh. Setidaknya bagi individu pengeluh dan maniak curhat seperti saya. Tidak ada puisi, curhatan, pendapat pribadi atau sekedar kejadian bodoh sebagai tulisan. Alasan tidak ada waktu juga bukan bentuk yang tepat. Pekerjaan memang banyak tetapi masih cukup untuk dikendalikan. Ide juga bukan hambatan. Selalu ada kejadian lucu atau menarik untuk diceritakan.

Lalu apa alasannya? Well, simpel saja sebenarnya. Saya mendapatkan saluran curhat baru. Ada media untuk bercerita yang lebih mudah, cepat dan pastinya, bisa memberikan komentar secara cepat.

Yup, saya sudah memiliki pasangan. Dia yang selalu tersenyum dan tertawa lucu. Bertingkah selayaknya anak kecil sembari menyembunyikan kedewasaan dan kemandiriannya. Karena wanita itulah saya menjadi lebih manusia lagi. Lebih menjadi mahluk social yang sebagian besar hidupnya dihabiskan dengan berinteraksi dengan sesama mahluk social, bukan laptop atau note yang hanya satu arah. Bukan pula menjadi individu autis yang melihat dari satu perspektif saja, pendapat pribadi.

Jujur, ini pedang bermata dua. Satu sisi sangat bagus karena saya bisa jadi manusia normal lagi. Sisi lain yang mungkin berbahaya ialah menurunnya kreativitas menulis karena kurang latihan. Saya menjadi kurang peka dalam menyalurkan ide dan pendapat. Menjadi kurang kritis dalam menyikapi permasalahan hingga kebingungan memilih diksi yang tepat untuk ekspresi perasaan.


Tapi sejujurnya, sisi buruk itu adalah sesuatu yang saya terima. Pengalaman menjadi manusia social yang sepenuhnya berkembang, berinteraksi, berdiskusi, mengerti, bertoleransi dan mencintai manusia lainnya, adalah pengalaman yang tidak akan saya tukar dengan apapun juga. Lagipula, menulis adalah darah, passion, kebanggaan dan nyawa saya. Sebesar apapun alasan yang menahannya, saya akan tetap menulis. Karena menulis adalah akar saya yang paling utama. Sesuatu yang tidak akan hilang walau apapun yang terjadi.