Persentuhan pertama saya dengan sepeda motor terjadi ketika pulang kampung ke kampung ibu di Lahat. Almarhum kakek, saat itu punya motor tua hasil menabungnya ketika muda. Honda merah (lupa serinya) yang masih terawat. Saya yang ketika itu baru masuk kuliah, belum bisa mengendarai motor. Selain karena saya lebih prefer menggunakan sepeda, motor juga barang yang termasuk lux saat itu. Orangtua saya berpendapat belum saatnya saya menggunakan sepeda motor. Biar serius belajar katanya.
Jadilah liburan tahun itu rasanya liburan yang paling menyenangkan dibanding liburan-liburan tahunan lainnya. Bersama dengan kawan lama, Redi, kami berkeliling mengitari kota Lahat yang memang hanya sekelumit itu saja. Sensasi ketika tarikan gas pertama, perpindahan gigi yang seret karena kurang oli, mendorong motor dengan mekanisme engine break karena engkolan tidak berhasil, kebingungan mengatur sein, mendaki tanjakan dengan gigi 1 sampai mesin tua Honda bau hangus, hingga mencapai kecepatan tertinggi di gigi 3 yang hanya secepat 60 km/jam. Itulah saat-saat pertama kali saya terinisiasi pada kecepatan, angin yang menerpa wajah, deruman motor hingga nikmatnya kesendirian. Sangking tidak mau berpisahnya pada motor merah itu, saya sempat berpikir untuk tinggal lebih lama di Lahat hanya demi bercengkrama dengan motor Honda merah tua itu. Permintaan yang langsung di jawab Ibu dengan mata melotot.
Motor kedua yang jadi tunggangan saya juga masih berstatus pinjaman. Teman satu jurusan, Johan, yang dibekali oleh orang tuanya sebuah motor Honda Astrea tahun 1994 jadi target belajar motor saya. Masih teringat ketika Johan mengizinkan saya membonceng dia dengan motornya. Sepanjang jalan Johan terus menerus mengarahkan saya yang masih kagok memegang stang sekaligus berteriak teriak "pelan pelan, awas, belok belok, lobang !!" dan teriakan sejenisnya. Antara takut motornya menabrak dan keselamatan yang terancam. Setelah lancar, Johan pula yang berbaik hati meminjamkan motor untuk mengapel Nia, cewe incaran saya ketika itu. Ada kejadian menarik. Saat membonceng Nia, saya yang masih newbie dalam mengendarai motor, beberapa kali hampir menabrak dan mengerem mendadak. Nia sempat menasehati saya untuk menggunakan klakson. Tak lupa pula membandingkan kemampuan motor saya dengan saudaranya yang mahir dan tidak sradak sruduk. Seingat saya, sejak saat itulah saya berjanji akan membuktikan kalau saya bisa mengendarai motor dengan membuat boncengan saya nyaman dan tenang.
Motor pertama yang benar-benar saya miliki (yah,,milik orang tua maksudnya hehehe) adalah Honda Supra X tahun 2003. Walaupun motor bekas, mesin dan bodinya masih bagus. Baru dipakai 1 tahun. Dengan motor pribadi itulah petualangan sebagai bikers dimulai. Bermula dari permintaan mantan pacar untuk berjalan jalan keliling kampus kami. Awalnya hanya seputaran kampus dan pada siang hari ketika pulang kuliah. Dasar mantan saya memang anak rumahan, jadilah dia tidak puas hanya berkeliling kampus saja. Petualangan pun dimulai. Berawal dari mengitari desa-desa disekitar kampus, petualangan kami berlanjut ke daerah sekitar Bogor. Sebut saja jalan belakang Atang Sedjaya, Balumbang Jaya, Cibanteng Proyek, pedalaman Ciawi, sampai jalur-jalur tikus lainnya. Terkadang perjalanan itu dimulai dari iseng-iseng dan keingintahuan ditambah dengan prinsip anak pecinta alam yang melekat kuat di diri saya, yaitu selalu ada jalan keluar di ujung sana. Prinsip bodoh yang mengantarkan kami berkeliling pedalaman bogor hingga malam tiba.
Setelah kandasnya hubungan kami, kebiasaan mengukur jalan, tidak serta merta saya lupakan. Malah makin menjadi. Kalau dulu saya masih memikirkan waktu dan cuaca, setelah sendiri saya kerapkali setelah berkendara sendiri menembus berbagai rintangan, mulai dari hujan badai, jalanan yang tak beraspal, tanjakan curam, jurang yang menganga, pedesaan yang terpencil, hingga kebun teh yang menyegarkan. Sebagai pengganti teman, saya menggunakan mp3 sebagai resep jitu. Awalnya memang hanya sebagai penghilang kantuk dan bosan. Lama kelamaan saya pun kecanduan. Tanpa hentakan lagu di kuping, bermotor rasaya kurang klop. Bahkan cenderung tegang dan emosian.
Jarak tempuh pun mulai berkembang. Dari radius paling jauh Ciawi, saya mulai merambah ke tempat2 baru dan eksotis. Sebut saja Cigamea, Gunung Salak Endah, Curug Nangka, pemandian air panas Cipanas hingga daerah Puncak. Perlahan tapi pasti secara rutin saya mengunjungi tempat2 unik tersebut. Terkadang terlalu sering. Bisa tiap hari. Waktunya juga anomali. Kalau sedang waras, saya berangkat ke Cigamea siang dan maghrib sudah tiba di kostan. Tapi kalau lagi suntuk, jam 12 malam pun saya tidak ragu menggeber motor ke Puncak. Baru turun gunung setelah puas menikmati segarnya udara puncak, pedasnya jagung bakar Masjid At-Ta’awun dan hangatnya sekoteng Puncak Pass.
Mulai saat-saat itulah seingat saya, terjadi perubahan paradigma tentang bermotor. Bukan lagi untuk mencapai suatu tempat, menemukan hal-hal baru, ajang pamer ke teman atau menghabiskan waktu. Mengendarai motor, bagi saya sudah menjadi terapi. Bukan tempat tujuan yang jadi titik akhir tapi perjalanan itu sendiri yang saya tuju. Dari perjalanan kampus darmaga ke puncak, saya banyak berfikir, mengevaluasi diri, bertanya pada nurani, menata kekacauan yang sudah terjadi serta memikirkan mimpi-mimpi yang akan jadi tujuan. Begitupun dengan perjalanan Bogor-Bandung yang hanya diputuskan dalam waktu 2 jam saja. Tanpa persiapan, tanpa tahu jalan, tanpa tempat menginap, saya membawa badan dan Supra kesayangan menuju Bandung demi sebuah perenungan. Ketika itu saya dalam saat-saat stress dan kalut. Draft skripsi yang sudah ditolak untuk keberapakalinya, kembali harus menunggu antrian panjang pengerjaan oleh dosen pembimbing yang super sibuk. Padahal sudah jengah melihat teman-teman seangkatan yang satu persatu lulus dan bekerja. Antara Bogor-Bandung itulah saya menemukan arti sebuah perjalanan, makna dan pelajaran yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menjalaninya.
Maka ketika saya lulus dengan predikat memuaskan (anda pasti bisa mengira berapa IPK saya kan :)), saya yang diberkahi doa ibunda tercinta, mendapatkan kerja di kota Jakarta. Kota yang selama ini dekat tapi jauh. Dekat karena jarak yang hanya 2 jam perjalanan, jauh karena saya tidak punya pengalaman menapaki kehidupan dan jalanan jakarta. Seperti yang sudah diduga, perubahan ekstrim antara kehidupan mahasiswa di Bogor menjadi keseharian karyawan di Jakarta membuat saya stress. Jalanan yang macet, waktu kerja yang sangat pagi, kehidupan yang individualis serta hal lainnya. Untungnya Jakarta menawarkan pesona sekaligus solusi bagi masalah saya. Jalanan boleh macet total siang hari, tapi malam hari adalah kebalikannya. Dinginnya malam, tenangnya suasana taman kota dan paling penting jalanan yang kosong dan lenggang. Sungguh terapi yang adiktif. Kebiasaan yang berubah menjadi kebutuhan. Kala itu, hanya angin malam dan derasnya adrenalin dari kecepatan tinggi yang bisa menidurkan saya.
Motor tunggangan pun berubah. Supra X yang telah menemani selama 4 tahun masa kuliah digantikan oleh Pulsar 180 cc. Sempat orangtua bertanya,
"Kenapa tidak mobil? Lebih bergengsi, nyaman dan aman."
"Gak ah, sudah terlanjur cinta dengan motor" jawab saya
Kecintaan pada motor memang mendarah daging. Bahkan hingga saat ini, saya belum bisa mengendarai mobil dengan alasan simpel. Masih nyaman dengan bermotor. Padahal jika dibandingkan mobil, motor adalah moda kendaraan yang jauh lebih inferior. Panas, debu, polusi, tidak nyaman, hanya muat dua orang, cenderung dipandang kelas menengah dan kelemahan-kelemahan lainnya. Tapi tidak ada yang bisa (belum) menggantikan motor dihati saya.
Persentuhan saya dengan derasnya angin alam, sempitnya celah jalanan, terpacunya adrenalin, indahnya alam, dan nyamannya kesendirian membawa saya pada perjalanan-perjalanan bodoh lainnya. Sebut saja touring rutin ke Bandung, petualangan ke Sukabumi, perjalanan 3 hari ke Lampung atau yang baru-baru ini. Single touring menuju Jogja. Semua saya lakukan sendiri. Perjalanan-perjalanan yang menurut beberapa orang bodoh, cari masalah, kurang kerjaan dan tidak bermanfaat itu memberikan hikmatnya pada saya, dalam bentuk yang sebenar-benarnya. Jalanan mengajarkan saya tentang keberanian, kekuatan, pantang menyerah, kebangkitan, mimpi, kesederhanaan, tangisan, kemarahan, kekalahan, persahabatan, dan kesendirian. Jalanan pula yang membentuk kepribadian dan harga diri.
Ini bukan cerita tentang kenyamanan. Bukan epik tentang petualangan, ataupun indahnya kebersamaan. Ini adalah kisah tentang keindahan jalanan yang hanya dimengerti oleh mereka yang mau menyambanginya.