Malam kita, kami, anda, kalian

Posted: Selasa, 27 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
0

Malam belum habis kawan.

Karena masih berdua kita disini
Menari diatas kesunyian
Bercinta didalam dinginnya impian

Salahkah berdiam dalam keramaian?
Apakah dosa tertawa ditengah kesendirian?

Kita memang bukan serupa mereka
Karena malam kita siangnya anda
Apalagi tidur kami yang berupa gembira kalian

Lalu biarkan menjelma
Karena malam kami belum tiba masa redupnya.

Pagi kita

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Pagi teman ku,
Siapa sahabat kita sekarang?
Hanya kata2 tak berbalas jawabmu
Hanya suara tak terjawab lanjutmu

Kita sendiri lagi

Serakan tugas
Dentingan dosa
Hentakan nada
Lelahnya tawa

Ya, hanya mereka sahabat kita

Pada setiap nafas kita berdusta
Tentang cinta
Surga
Nafsu

Ya!
Inilah kita !

Jangan lelah menghela
Karena pagi kita belum tiba masanya.

The Place I Call Home

Posted: Senin, 19 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
0

Sebagian dari kita mungkin dianugrahi sedikit kelebihan dengan mempunyai rumah. Entah bentuknya bangunan bertingkat dengan luas tanah sebesar lapangan bola atau rumah kecil sederhana dengan furniture yang itu-itu saja. Bagaimanapun bentuknya, saya yakin rumah adalah tempat paling nyaman bagi anda. Tempat kita bisa merebahkan badan untuk sejenak melupakan masalah. Menghisap sedikit kenikmatan yang bernama ketenangan. Yah,, mungkin definisi rumah juga tidak bisa dipersempit dengan lapisan tembok yang ditutupi dengan atap sebagai peneduh. Rumah menurut saya bisa berwujud komunitas, kehangatan persaudaraan, kelembutan alam atau kenyamanan jalanan. Intinya, rumah ialah sesuatu yang bisa membuat kita lepas dari semua topeng-topeng yang membungkus keseharian kita.

Maka jika mengacu definisi tersebut, jalanan adalah rumah saya yang sesungguhnya karena di jalananlah saya menemukan hidup yang sebenarnya. Kesederhanaan, kekerabatan, kesombongan, kegilaan, ketenangan dan paling penting kesendirian. Jalanan menjadi tempat saya bersitirahat, bermain, bersukacita, menangis, tersenyum, berteriak, dan meratap. Tidak ada tempat yang memberikan sensasi itu lebih daripada jalanan.

Kenapa jalanan? Bukankah jalanan adalah media berkumpulnya kekerasan, ketamakan, kejahatan ? Itulah salahnya ketika kita melihat jalanan sebagai suatu bagian terpisah. Hanya melalui media-media dengan propaganda picisannya. Tentang tingginya pencopetan, maraknya pembunuhan, tunawisma yang bertebaran dan entah apalagi kata mereka. Percayalah, semua itu hanyalah sisi lain dari jalanan. Tahukah anda, bahwa di jalanan, di tempat semua kriminalitas itu berkumpul terdapat kebajikan yang terpendam? Jangan lihat dari tempat anda yang tinggi, dengan pakaian mahal dan handphone yang lux. Tanggalkan semua, berjalanlah dengan nurani, diatas kaki anda sendiri. Berjalanlah, resapi, pelajari dengan khidmat.

Anda akan temukan bahwa dibalik kesulitan seorang nenek tua yang merangkak, masih mau ia berbagi bekal makan siangnya. Diantara sulitnya pembeli, seorang pedagang tetap ikhlas berbagi. Mungkin tidak disetiap ujung kota kita temui kebaikan, tapi percayalah. Negeri ini belum habis kebaikannya. Mungkin keramahan itu langka disini, tapi bukan alasan kita melupakannya. Bukan karena jalanan adalah tempat yang sedemikian keras sehingga kita harus mencampakkannya.

Saya sendiri termasuk penggemar jalanan. Setiap meter, setiap langkah, memberi warna baru dalam kehidupan. Saya teringat masa kecil dulu ketika pulang sekolah adalah saat-saat paling menggembirakan karena berarti saya dan teman-teman akan berjalan kaki dari sekolah kami menuju rumah melewati pedesaan. Ingatan itu masih lekat kala kami bermain di gorong-gorong pipa, bergulingan di tanah merah, menyapa pak tua (saya lupa namanya) yang setia menjaga kebunnya. Dari pak tua itu pula kami belajar tentang mencabut ubi, bermain-main dengan kambingnya atau ikut terjun ke empang dimasa pengurasan.

Jalanan masa kecil itulah yang membentuk jiwa kesederhanaan dan social saya. Bandingkan dengan anak sekarang. Pulang sekolah langsung menunggu jemputan menuju rumah sembari sibuk dengan gadget mininya. Kalau bandel, bermain ke warnet atau mall. Terkungkung dalam lapisan-lapisan beton, berhadapan dengan grafis berbentuk pahlawan, tembak-tembakan atau sepakbola. Dengan itulah mereka tumbuh dan berkembang, dengan kepribadian persaingan, individualisme, kekerasan, dalam kecilnya bilik-bilik atau tanpa batasnya dunia maya. Disanalah mereka tumbuh dan belajar. Jangan heran jika karakteristiknya tidak jauh dari sikut-menyikut, soliter, ekslusivisme, dan rendahnya kesadaran.

Percayalah, ketika di jalanan bahkan seorang professor psikologi tidak dapat menjelaskan seluruh fenomena yang ada disana. Banyak sekali anomali-anomali yang terjadi. Seorang pemuda dengan dandanan lusuh dan gembelnya ternyata bisa berargumentasi dengan cerdas tentang buruknya pengelolaan negeri. Atau tukang ojek yang dengan semangat 45 menjelaskan keteraturan dan siklus macet secara sistematis serta ilmiah. Lain waktu seorang kernet berteori tentang best practice pembagian komisi.

Terlepas dari itu, jalanan juga teman cerita yang paling sabar. Dengannya saya bisa membuka semua kebohongan dan topeng yang dikenakan selama keseharian. Saya bisa memaki, mengutuk, menangis, berteriak, tertawa, menjadi gila tanpa ada yang protes. Di jalananlah saya bisa menulis, berpuisi, bersandiwara, merenung, mengkaji, dan mengerti. Saat yang paling saya rindukan dari jalanan adalah kala menyambanginya di tengah malam, menyusuri lenggangnya aspal, mengukur dengan tiap langkah sembari menikmati hembusan angin malam. Dan tanpa dipaksa, semua beban dan masalah terlebur dengan sempurna. Perfect moment.

Jalanan mungkin tidak seramah dan senyaman yang kita harapkan. Banyak kepentingan disana, banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi dan mencari pemuasnya. tapi cobalah lebih merendah dan menyelami bahasa-bahasa mereka. Mungkin anda akan menemukan rumah baru serta menambatkan hati disana. Enjoy the road :)

Bikers, The Beginning and The Journey

Posted: Selasa, 13 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
0

Persentuhan pertama saya dengan sepeda motor terjadi ketika pulang kampung ke kampung ibu di Lahat. Almarhum kakek, saat itu punya motor tua hasil menabungnya ketika muda. Honda merah (lupa serinya) yang masih terawat. Saya yang ketika itu baru masuk kuliah, belum bisa mengendarai motor. Selain karena saya lebih prefer menggunakan sepeda, motor juga barang yang termasuk lux saat itu. Orangtua saya berpendapat belum saatnya saya menggunakan sepeda motor. Biar serius belajar katanya.

Jadilah liburan tahun itu rasanya liburan yang paling menyenangkan dibanding liburan-liburan tahunan lainnya. Bersama dengan kawan lama, Redi, kami berkeliling mengitari kota Lahat yang memang hanya sekelumit itu saja. Sensasi ketika tarikan gas pertama, perpindahan gigi yang seret karena kurang oli, mendorong motor dengan mekanisme engine break karena engkolan tidak berhasil, kebingungan mengatur sein, mendaki tanjakan dengan gigi 1 sampai mesin tua Honda bau hangus, hingga mencapai kecepatan tertinggi di gigi 3 yang hanya secepat 60 km/jam. Itulah saat-saat pertama kali saya terinisiasi pada kecepatan, angin yang menerpa wajah, deruman motor hingga nikmatnya kesendirian. Sangking tidak mau berpisahnya pada motor merah itu, saya sempat berpikir untuk tinggal lebih lama di Lahat hanya demi bercengkrama dengan motor Honda merah tua itu. Permintaan yang langsung di jawab Ibu dengan mata melotot.

Motor kedua yang jadi tunggangan saya juga masih berstatus pinjaman. Teman satu jurusan, Johan, yang dibekali oleh orang tuanya sebuah motor Honda Astrea tahun 1994 jadi target belajar motor saya. Masih teringat ketika Johan mengizinkan saya membonceng dia dengan motornya. Sepanjang jalan Johan terus menerus mengarahkan saya yang masih kagok memegang stang sekaligus berteriak teriak "pelan pelan, awas, belok belok, lobang !!" dan teriakan sejenisnya. Antara takut motornya menabrak dan keselamatan yang terancam. Setelah lancar, Johan pula yang berbaik hati meminjamkan motor untuk mengapel Nia, cewe incaran saya ketika itu. Ada kejadian menarik. Saat membonceng Nia, saya yang masih newbie dalam mengendarai motor, beberapa kali hampir menabrak dan mengerem mendadak. Nia sempat menasehati saya untuk menggunakan klakson. Tak lupa pula membandingkan kemampuan motor saya dengan saudaranya yang mahir dan tidak sradak sruduk. Seingat saya, sejak saat itulah saya berjanji akan membuktikan kalau saya bisa mengendarai motor dengan membuat boncengan saya nyaman dan tenang.

Motor pertama yang benar-benar saya miliki (yah,,milik orang tua maksudnya hehehe) adalah Honda Supra X tahun 2003. Walaupun motor bekas, mesin dan bodinya masih bagus. Baru dipakai 1 tahun. Dengan motor pribadi itulah petualangan sebagai bikers dimulai. Bermula dari permintaan mantan pacar untuk berjalan jalan keliling kampus kami. Awalnya hanya seputaran kampus dan pada siang hari ketika pulang kuliah. Dasar mantan saya memang anak rumahan, jadilah dia tidak puas hanya berkeliling kampus saja. Petualangan pun dimulai. Berawal dari mengitari desa-desa disekitar kampus, petualangan kami berlanjut ke daerah sekitar Bogor. Sebut saja jalan belakang Atang Sedjaya, Balumbang Jaya, Cibanteng Proyek, pedalaman Ciawi, sampai jalur-jalur tikus lainnya. Terkadang perjalanan itu dimulai dari iseng-iseng dan keingintahuan ditambah dengan prinsip anak pecinta alam yang melekat kuat di diri saya, yaitu selalu ada jalan keluar di ujung sana. Prinsip bodoh yang mengantarkan kami berkeliling pedalaman bogor hingga malam tiba.

Setelah kandasnya hubungan kami, kebiasaan mengukur jalan, tidak serta merta saya lupakan. Malah makin menjadi. Kalau dulu saya masih memikirkan waktu dan cuaca, setelah sendiri saya kerapkali setelah berkendara sendiri menembus berbagai rintangan, mulai dari hujan badai, jalanan yang tak beraspal, tanjakan curam, jurang yang menganga, pedesaan yang terpencil, hingga kebun teh yang menyegarkan. Sebagai pengganti teman, saya menggunakan mp3 sebagai resep jitu. Awalnya memang hanya sebagai penghilang kantuk dan bosan. Lama kelamaan saya pun kecanduan. Tanpa hentakan lagu di kuping, bermotor rasaya kurang klop. Bahkan cenderung tegang dan emosian.

Jarak tempuh pun mulai berkembang. Dari radius paling jauh Ciawi, saya mulai merambah ke tempat2 baru dan eksotis. Sebut saja Cigamea, Gunung Salak Endah, Curug Nangka, pemandian air panas Cipanas hingga daerah Puncak. Perlahan tapi pasti secara rutin saya mengunjungi tempat2 unik tersebut. Terkadang terlalu sering. Bisa tiap hari. Waktunya juga anomali. Kalau sedang waras, saya berangkat ke Cigamea siang dan maghrib sudah tiba di kostan. Tapi kalau lagi suntuk, jam 12 malam pun saya tidak ragu menggeber motor ke Puncak. Baru turun gunung setelah puas menikmati segarnya udara puncak, pedasnya jagung bakar Masjid At-Ta’awun dan hangatnya sekoteng Puncak Pass.

Mulai saat-saat itulah seingat saya, terjadi perubahan paradigma tentang bermotor. Bukan lagi untuk mencapai suatu tempat, menemukan hal-hal baru, ajang pamer ke teman atau menghabiskan waktu. Mengendarai motor, bagi saya sudah menjadi terapi. Bukan tempat tujuan yang jadi titik akhir tapi perjalanan itu sendiri yang saya tuju. Dari perjalanan kampus darmaga ke puncak, saya banyak berfikir, mengevaluasi diri, bertanya pada nurani, menata kekacauan yang sudah terjadi serta memikirkan mimpi-mimpi yang akan jadi tujuan. Begitupun dengan perjalanan Bogor-Bandung yang hanya diputuskan dalam waktu 2 jam saja. Tanpa persiapan, tanpa tahu jalan, tanpa tempat menginap, saya membawa badan dan Supra kesayangan menuju Bandung demi sebuah perenungan. Ketika itu saya dalam saat-saat stress dan kalut. Draft skripsi yang sudah ditolak untuk keberapakalinya, kembali harus menunggu antrian panjang pengerjaan oleh dosen pembimbing yang super sibuk. Padahal sudah jengah melihat teman-teman seangkatan yang satu persatu lulus dan bekerja. Antara Bogor-Bandung itulah saya menemukan arti sebuah perjalanan, makna dan pelajaran yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menjalaninya.

Maka ketika saya lulus dengan predikat memuaskan (anda pasti bisa mengira berapa IPK saya kan :)), saya yang diberkahi doa ibunda tercinta, mendapatkan kerja di kota Jakarta. Kota yang selama ini dekat tapi jauh. Dekat karena jarak yang hanya 2 jam perjalanan, jauh karena saya tidak punya pengalaman menapaki kehidupan dan jalanan jakarta. Seperti yang sudah diduga, perubahan ekstrim antara kehidupan mahasiswa di Bogor menjadi keseharian karyawan di Jakarta membuat saya stress. Jalanan yang macet, waktu kerja yang sangat pagi, kehidupan yang individualis serta hal lainnya. Untungnya Jakarta menawarkan pesona sekaligus solusi bagi masalah saya. Jalanan boleh macet total siang hari, tapi malam hari adalah kebalikannya. Dinginnya malam, tenangnya suasana taman kota dan paling penting jalanan yang kosong dan lenggang. Sungguh terapi yang adiktif. Kebiasaan yang berubah menjadi kebutuhan. Kala itu, hanya angin malam dan derasnya adrenalin dari kecepatan tinggi yang bisa menidurkan saya.

Motor tunggangan pun berubah. Supra X yang telah menemani selama 4 tahun masa kuliah digantikan oleh Pulsar 180 cc. Sempat orangtua bertanya,

"Kenapa tidak mobil? Lebih bergengsi, nyaman dan aman."
"Gak ah, sudah terlanjur cinta dengan motor" jawab saya

Kecintaan pada motor memang mendarah daging. Bahkan hingga saat ini, saya belum bisa mengendarai mobil dengan alasan simpel. Masih nyaman dengan bermotor. Padahal jika dibandingkan mobil, motor adalah moda kendaraan yang jauh lebih inferior. Panas, debu, polusi, tidak nyaman, hanya muat dua orang, cenderung dipandang kelas menengah dan kelemahan-kelemahan lainnya. Tapi tidak ada yang bisa (belum) menggantikan motor dihati saya.

Persentuhan saya dengan derasnya angin alam, sempitnya celah jalanan, terpacunya adrenalin, indahnya alam, dan nyamannya kesendirian membawa saya pada perjalanan-perjalanan bodoh lainnya. Sebut saja touring rutin ke Bandung, petualangan ke Sukabumi, perjalanan 3 hari ke Lampung atau yang baru-baru ini. Single touring menuju Jogja. Semua saya lakukan sendiri. Perjalanan-perjalanan yang menurut beberapa orang bodoh, cari masalah, kurang kerjaan dan tidak bermanfaat itu memberikan hikmatnya pada saya, dalam bentuk yang sebenar-benarnya. Jalanan mengajarkan saya tentang keberanian, kekuatan, pantang menyerah, kebangkitan, mimpi, kesederhanaan, tangisan, kemarahan, kekalahan, persahabatan, dan kesendirian. Jalanan pula yang membentuk kepribadian dan harga diri.

Ini bukan cerita tentang kenyamanan. Bukan epik tentang petualangan, ataupun indahnya kebersamaan. Ini adalah kisah tentang keindahan jalanan yang hanya dimengerti oleh mereka yang mau menyambanginya.

Empty Backpack

Posted: Kamis, 01 Juli 2010 by Iqbal Fajar in
2

Sebagian dari kita mungkin nyaman dengan perlindungan mobil mewah, menikmati indahnya pakaian branded, hangatnya keluarga atau manisnya persahabatan. Prototype sebagian besar warga metropolitan. Harus diakui, itulah mimpi ibukota negeri ini (juga sebagian besar warga kota lainnya). Kemakmuran, kemapanan, ketenangan, ekslusifitas dan segala atributnya. Tidak ada yang salah disana. Memang itu mimpi manusia.

Atau kita beralih ke yang lebih konservatif. Siapa yang tidak ingin pulang ke rumah yang nyaman dengan istri yang manis membukakan pintu, anak yang tertawa ceria serta bagi sebagian orang ketenangan dalam kehidupan. Bagi anak muda, bisa berbentuk teman yang menemani bercanda, sahabat yang bisa menjaga rahasia atau pasangan yang mengerti keadaan kita. Terlihat sempurna bukan? Walaupun mimpi itu sebagian besarnya adalah buah dari tontonan sinetron di layar televisi kita, harus diakui ambisi untuk hidup yang lebih baik ada di tiap-tiap raga kita.

Ambisi demi hidup yang lebih baik itu tanpa terasa merasuk di banyak sendi kehidupan. Kalau iman dan tekad masih kuat, ambisi hadir dalam bentuk positif. Kerja keras, pantang menyerah, rajin beribadah, integritas atau keteguhan hati. Bahayanya adalah ketika nafsu berkuasa. Muncullah penyakit negara ini, kemalasan, kebohongan, kecurangan, hingga yang paling konkrit : korupsi.

Tanpa sadar, semua ambisi menjadi tekanan. Tanpa sadar kita hidup dalam tuntutan. Tanpa sadar semua adalah pertarungan. Atas nama ambisi itu, energi kita banyak terbuang. Kelelahan karena sesuatu yang mungkin tidak seharusnya menjadi penghalang.

Saya ingin mencatut filosofi empty backpack dari Ryan Bingham di film Up In The Air. Bingham mengumpamakan dirikita dan ambisi dalam hidup sebagai sebuah tas dan isinya. Pada awalnya, tas kita kosong, hanya beban tas yang dirasakan. Kemudian kita mulai memasukkan banyak hal kedalamnya. Laptop, buku, meja kerja, orang terdekat kita, mobil, rumah kalau perlu seluruh kekayaan kita dimasukkan kesana.

Sekarang cobalah berjalan dengan tas anda. Berat bukan? Itulah kehidupan kita. Ketika lahir kita hanya membawa tas kosong. Semakin bertambah usia, pengalaman, kemapanan, maka semakin banyaklah ambisi yang kita masukkan ke tas kita. Hingga pada akhirnya, kita tidak mampu bergerak karena beratnya ambisi itu.

Sayangnya banyak orang tidak mengerti beratnya sebuah keinginan. Kita membebani diri dengan banyak hal tapi tidak menyadari bahwa sebuah tas ternyata juga punya batas. Entah itu kapasitasnya, kekuatannya dan paling penting ialah kemampuan manusianya.

Saya tidak meminta anda mengosongkan tas tersebut. Cukup pilih semampu anda, dan jangan biarkan isi tas anda dipenuhi oleh barang yang mungkin tidak terlalu penting sebenarnya. Masih banyak barang penting yang bisa diisi di tas anda. Sesuatu yang bisa anda temui dengan berjalan lebih jauh dari biasanya. Sesuatu yang bisa kita lakukan jika dan hanya jika tas kita tidak terlalu penuh dan menghambat perjalanan. Semoga kita tergolong manusia yang berjalan lebih jauh daripada manusia yang kelelahan memanggul tasnya.