Jakarta (tidak) sama dengan Indonesia

Posted: Selasa, 17 Agustus 2010 by Iqbal Fajar in
0

Ibukota negara adalah representatif dari negara itu. Statement yang harus diakui di sadari oleh kita semua. Jakarta sudah menjadi panutan dan acuan oleh sebagian besar masyarakat kita. Buktinya semua berlomba-lomba menjadi dan menuju Jakarta. Kota-kota besar di bangun dengan semangat yang sama seperti Jakarta. Penuh dengan modernitas, lengkap dengan tatanan kehidupan yang mengiringinya. Orang-orang berebutan menyesaki ibukota setiap kali lebaran usai. Atas nama kehidupan yang lebih baik katanya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kehidupan Jakarta. Modernitas dan perkembangan adalah suatu hal yang wajar bahkan dibutuhkan. Dengan semua kemajuan teknologi dan peradaban, kita bisa sejajar dengan bangsa lain di dunia. Lalu apa yang salah dari Jakarta? Sayangnya jawabannya adalah manusia-manusia penghuninya (termasuk saya). Masyarakat Jakarta terbiasa dengan individualisme, egois, menang sendiri, tak teratur, indisipliner, anarkis, vandalisme dan sederetan catatan buruk lainnya. Tidak semua memang tapi itulah masalah kedua. Tanpa disadari kita sudah melakukan dan mengamininya. Siapa yang tidak suka marah2 tatkala macet? Padahal dilain waktu mungkin kita menyerobot antrian dengan alasan terburu buru. Marah pada sopir bus yang tidak mau berhenti sempurna padahal kita tetap melaju kencang dengan kendaraan pribadi walau ada penyebrang yang melambaikan tangan.

Tanpa disadari pula, sikap itu menjadi prototype kita tentang sebuah kota dan negara. Coba saja dengar pendapat teman-teman dari daerah tentang kelakuan warga Jakarta. "Wajarlah, semua kota besar seperti itu" atau "Hidup di kota itu keras, harus siap sikut menyikut". Dan semua anggapan tentang kehidupan kota yang rendah kadar toleransi itu menjadi mimpi kita tentang kehidupan yang lebih baik.

Sadarkah kita, dengan semua pembenaran tentang wujud kehidupan utopia itu berlawanan dengan semangat negeri ini? Bangsa kita bukanlah bangsa Barat yang hidup dengan individualisme. Jika menilik demografi dan geografi negara ini, seharusnya kita sadar bahwa bangsa besar ini bukan hidup melalui menjatuhkan satu sama lainnya. Kekayaan alam yang berlimpah dan kondisi geografis yang relatif mudah menjadi dasar dari sifat kolektivisme dan kekeluargaan. Dengan alam yang ramah kita dituntut untuk menjaga dan hidup bersama alam. Manusia-manusianya berkumpul dan tolong menolong untuk memanfaatkan pemberian Tuhan, bukan mengeruk dan menyimpannya untuk pribadi-pribadi tertentu. Coba tengok suku-suku asli yang belum terkontaminasi peradaban Barat. Keluarga dan kelompok adalah hal penting yang harus dijaga. Bahkan hingga kini naluri itu tidak bisa dihilangkan. Kemanapun kita pergi, tempat yang nyaman adalah bersama kelompok, entah itu bentuknya keluarga, teman, agama.

Atas dasar peradaban modern yang sayangnya diterjemahkan dalam bentuk sempit peradaban Barat, kita melupakan tradisi ketimuran yang menjadi naluri utama. Wajar peradaban Barat mengutamakan ekslusifitas dan kapitalisme. Demografi dan geografi mereka yang terpencar, alam yang tidak ramah memaksa mereka melakukan seleksi alam dan pengerukan kekayaan secara masif. Beberapa pendapat mengatakan bahwa dengan seleksi alam dan kapitalisasi itulah peradaban Barat berkembang dengan cepat. Saya sendiri pihak yang tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat itu. Seleksi itu perlu, tapi bukan dengan hidup diatas mayat orang lain. Toh, Jepang dengan tradisi yang tetap dipertahankan bisa menjadi salah satu sentra ekonomi dunia. Belum lagi Cina dengan kolektifitas masifnya yang membanjiri dunia dengan produk alternatifnya. Kalau mereka bangsa Timur bisa Berjaya dengan tradisinya, kenapa kita tidak ?

Tiap bangsa pasti punya kearifan dan budayanya sendiri. Kesalahan saya dan sebagian besar dari kita ialah melupakan kearifan, budaya, nilai luhur dan naluri alamiah yang sudah diturunkan oleh pendahulu kita. Atas nama modernisasi kita tinggalkan kekeluargaan, tenggang rasa, tolong menolong, kolektivitas, dan kecintaan pada alam. Kita lebih nyaman dengan individualisme, sikut menyikut, persaingan tidak sehat, pengerukan sumberdaya membabibuta, serta budaya implan lainnya. Atas nama modernisasi, kemapanan, perubahan, kehidupan yang lebih baik, tanpa sadar kita hanya menggali lubang kubur sendiri yang kita siapkan bagi anak cucu.

Belum terlambat untuk berubah. Jakarta dan kota-kota besar setipe lainnya memang sudah rusak oleh manusia-manusianya. Tak ada yang terlambat, setidaknya masih banyak kota, desa, kampung yang tidak harus menjadi seperti Jakarta karena kita semua sadar bahwa Jakarta dengan semua budaya Baratnya bukan lah Indonesia yang sebenarnya.

Selamat Hari Merdeka !