Another Memory about Gie
Posted: Kamis, 28 Oktober 2010 by Iqbal Fajar inMemori saya kembali ke kejadian 4 tahun lalu. Malam itu, teman sekamar, Intjeu, membawakan buku dan VCD tentang seorang penulis, demostran sekaligus pujangga. Soe Hok Gie, dia yang meninggal di Puncak Mahameru, titik tertinggi di Pulau Jawa.
Jiwa patriotism, idealis, berontak dan selalu berubah membawa saya pada kekaguman terhadap sosoknya. Lebih dari itu, saya juga menemukan seorang sahabat lama yang tidak pernah bertemu sebelumnya. Soe atau Gie, begitu dia biasa dipanggil. Anak muda luar biasa dengan rasa takut terhadap pihak berkuasa yang sudah putus sejak belia. Pecinta alam yang menemui akhirnya di pangkuan sahabatnya. Pujangga dengan kata-kata dan melankolis yang membius pembacanya. Patriot yang bukan hanya cinta pada sesama tapi juga iba pada musuh. Sosok idealis sejati yang entah kapan akan muncul lagi di dunia. Dan diatas semua, pemberani yang siap berjalan tegap di alur keyakinannya. Alur yang lurus, jujur dan tanpa kemunafikan.
Kini, 4 tahun setelah malam itu saya malu ketika kembali bertemu dengan teman lama itu. Malu pada dia yang teguh dengan pendirian dan kebenaran. Kini, hanya dengan sedikit kesulitan dan kesendirian saya merasa berhak terhadap keluh kesah dan amarah. Dulu saya kerap menghujat mereka yang duduk diatas singgasana dengan cacian. Setelah semua sistem pendidikan ditinggalkan, saya malah berjuang menarik pandangan mereka dengan harapan sedikit project demi nama kesuksesan. Lalu apa beda saya dengan mereka yang memperkaya diri sendiri, mereka yang hidup diatas menara gading itu? Yang makan dengan uang rakyat dan bersenang-senang dengan istri mudanya?
Walau sudah terlepas dari jerat itu semua, saya masih tetap berharap pada penjilatan terhadap yang dipertuan agung demi sejumput kenikmatan, kasur empuk, ruangan ber AC, kenyamanan bintang 5 serta wanita cantik yang memang bukan milik saya. Berjalan pada kemunafikan. Itulah yang sedang saya lakukan.
Dan malam ini, saya kembali malu. Malu pada dia yang tetap lurus di jalan kebenaran, meninggalkan semua kemewahan, empuknya kursi jabatan serta nyamannya fasilitas. Dia yang seharusnya dapat duduk di kursi anggota perwakilan rakyat, memilih hidup di susahnya masyarakat, mengajar di tengah kampus sederhana. Demi sebuah prinsip. Katakan tidak pada kemunafikan.
Dan saya memang tidak akan pernah menjadi seorang Soe Hok Gie, bahkan tidak akan pernah mendekati keteguhan hatinya. Tapi setidaknya malam ini saya kembali diingatkan oleh sahabat yang tidak pernah bertemu itu, bahwa jalan kebenaran dan kejujuran adalah keharusan. Maka saya berusaha, dan akan terus berusaha sekali lagi untuk berjalan di jalan kebenaran walau sesekali harus terperosok dalam jurang kemunafikan tapi saya akan tetap mendaki lagi dan terus berjalan. Hingga akhirnya sampai di ujung jalan kebenaran. Hingga saatnya tiba, tetap bersama saya Soe, agar keyakinan dan semangat itu tetap berkobar.