Kreativitas, Pengalaman dan Kesimpulan

Posted: Sabtu, 26 Mei 2012 by Iqbal Fajar in
0

“Jangan lupa makan ya. Jangan lupa juga minum obatnya J

Apa yang anda bisa lihat dari kutipan sms diatas? FYI, sms tersebut adalah salah satu dari rangkaian percakapan via sms antara dua orang kekasih. Salah satunya sedang dalam keadaan sakit dan yang lainnya tidak bisa datang sehingga mengecek keadaan dengan sebuah sms.  Kembali, apa yang anda lihat ? Perhatian yang besar ? Kasih sayang ? Rasa cemas ? atau malah hal lainnya ?

Memang jika hanya melihat dari satu baris kalimat saja, sebagian besar orang akan menjawab bahwa salah satu pihak memberikan perhatian dengan cara mengingatkan makan dan minum obat. Tapi percayalah, ada lebih banyak perasaan yang bermain dan sikap tersembunyi di dalam sms tersebut

Bagaimana bisa? Itu kan hanya sebuah kalimat biasa. Anda tidak bisa melakukan penilaian apa-apa dari kalimat tersebut. Naif jika hanya melihat kalimat itu saja. Itu pasti pikiran yang terlintas ketika saya mengatakan ada banyak makna di satu sms tersebut. Benar jika hanya melihat dari satu kalimat itu saja. Tetapi itulah kesalahan yang seringkali dilakukan oleh sebagian besar dari kita. Hanya konteks terakhir dari potongan keseluruhan yang jadi acuan dan tiba-tiba kita menutup kemungkinan bahwa ada makna lain yang ada di balik satu kalimat pendek.

Kita terkadang tanpa sadar melakukan penilaian atas keadaan sekitar, kenyataan yang terlihat atau permasalahan yang terjadi hanya dari apa yang bisa kita lihat. Berdasarkan pengalaman dan kebiasaaan, maka kita akan menyesuaikan apa yang kita lihat menjadi suatu keputusan dan kesimpulan. Kita menyebutnya bukti dan apa yang kita tafsirkan terhadap bukti tersebut adalah kesimpulan.

Tidak ada yang salah sampai disini. Kemampuan membuat kesimpulan memang didesain seperti itu oleh otak kita. Lihat, cocokkan dengan pengalaman dan ambil kesimpulan. Itulah tahapan singkat pengambilan keputusan. Tetapi ada yang menarik di tahapan tersebut. Ada kata-kata cocokkan dengan pengalaman. Ternyata dalam banyak hal, tahapan inilah yang menjadi kunci mengapa bukti, dalam hal ini kalimat, menjadi bisa dimaknai secara berbeda.

Untuk mengerti lebih lanjut bagaimana pengalaman bisa membedakan sebuah kesimpulan saya akan mengambil contoh singkat dari bagaimana perbedaan otak anak kecil dan orang dewasa bekerja. Anak dibawah umur 3 tahun umumnya tidak bisa memproses dan memaknai satu benda sebagai dua atau lebih makna. Singkatnya seperti ini. Jika kita bilang sebatang kayu adalah kayu kering maka anak kecil akan melihatnya hanya sebagai kayu. Tetapi, orang dewasa memiliki otak hasil evolusi dan hadiah Tuhan yang sudah sempurna sehingga ada proses kreatif disana. Kita tidak memandang kayu sebagai kayu, tetapi bisa sebagai alat penyangga, acuan ukuran, bahkan untuk memukul. Anak kecil melihat ini sebagai sesuatu yang aneh. Kayu ialah kayu. Tidak ada kayu sebagai penyangga atau acuan ukuran. Itu karena anak kecil belum memiliki kreativitas dan pengalaman yang mencocokkan kayu bisa digunakan sebagai fungsi lain. Orang dewasa bisa. Sekali lagi kata kuncinya ialah kreativitas dan pengalaman.

Berdasarkan kasus tersebut, bagaimana seseorang bisa mengambil kesimpulan sudah jelas terjawab. Antara menggunakan kreativitas dan mencocokkan dengan pengalaman. Anak kecil akan lebih banyak menggunakan kreativitas sebagai kunci utama mengambil keputusan karena tidak ada pengalaman yang bisa digunakan (itu menjelaskan kenapa ada anak kecil yang menganggap kayu sebagai pedang). Semakin dewasa, anak kecil akan mendapatkan banyak pengalaman dan pengalaman akan berubah menjadi logika. Pada akhirnya semakin dewasa dia, proses kreatif akan semakin dikesampingkan karena terbukti kreatif saja tidak cukup untuk bertahan hidup. Pengalaman dan logika lebih dibutuhkan dalam mengambil keputusan yang sesuai dengan keadaan. Maka jadilah kita. Manusia dewasa yang melihat segala sesuatunya berdasarkan pengalaman.

Kita akan kembali lagi ke topik awal. Apa hubungan pengalaman dengan pengambilan keputusan. Hal yang menarik tentang pengalaman ialah bahwa dia terbangun atas serangkaian kesalahan kreativitas. Anak kecil pada awalnya akan menganggap kayu ialah sebuah pedang tetapi semakin dewasa, dia akan menyadari bahwa kayu tidak cocok sebagai pedang karena tidak ada ketajaman disana. Kayu, setelah percobaan yang berkali-kali, akan lebih cocok digunakan sebagai penyangga dari pada pedang. Pengalaman ini yang kemudian menjadi logika. Ketika seseorang menafsirkan sesuatu, dia akan mencari memorinya dan mencocokkan dengan berbagai pengalaman yang pernah didapatkan untuk kemudian disimpulkan menjadi suatu keputusan

Ketika berbicara pengalaman maka yang terjadi ialah pengalaman bisa berarti terjadi pada setahun, sebulan atau semenit yang lalu. Artinya, ketika seseorang mengambil keputusan hanya berdasarkan pengalaman, dia bisa saja mengambil keputusan dari pengalaman satu tahun lalu atau pengalaman satu menit lalu. Inilah yang terjadi ketika seseorang memiliki perbedaan dari penafsiran satu bukti atau kalimat dalam kasus ini. Ketika anda membaca kalimat diatas, pengalaman manakah yang anda gunakan dalam mengambil kesimpulan ? Satu tahun lalu atau satu menit yang lalu?

Hal ini menjadi menarik ketika kita menggunakannya untuk kasus lain. Kita sering kali terlalu cepat menilai segala sesuatu dari apa yang kita pikirkan. Kita seringkali secara otomatis mencocokkan bukti dengan pengalaman yang sudah sering terjadi. Kita menganggap ketika seorang rekan kerja yang seringkali membuat kesalahan dalam melakukan entry data selalu melakukan kesalahan yang sama ketika hasil entry data menunjukkan anomaly. Kita melakukan pencocokan dengan pengalaman dan mengambill kesimpulan bahwa hasil entry data nya memang salah. Kita secara otomatis berpendapat bahwa ada kemungkinan data yang dientry memang seperti itu dan ada anomaly di data tersebut. Kita salah mengambil kesimpulan hanya karena salah mencocokkan pengalaman.

Kasus-kasus sepele seperti inilah yang membuat kita, mahluk Tuhan yang paling sempurna, melakukan kesalahan. Bukan karena kesalahan ciptaan Tuhan, tapi kemalasan kita meneliti kembali apakah pengalaman yang kita jadikan sebagai acuan untuk mengambil keputusan sudah sesuai atau belum. Karena kemalasan kita mencocokkan pengalaman dan melihat perspektif lain dari suatu masalah, seringkali kita melakukan kesalahan dasar dan terkadang akibatnya fatal.

Apa pelajaran yang bisa diambil? Mudah saja. Hilangkan kemalasan dalam mengambil keputusan. Paksa otak anda untuk meneliti kembali pengalaman-pengalaman lain yang pernah anda dapatkan sesuai dengan bukti yang ada. Tidak hanya itu, bersikaplah lebih kritis. Cari tahu apa maksud dari suatu bukti, apakah memang itu yang sebenarnya terjadi atau mungkin saja ada hal lain yang belum pernah kita ketahui sehingga otak kita tidak punya pengalaman terhadap bukti yang ada. Dengan cara ini anda akan lebih bisa melakukan pengambilan kesimpulan dengan lebih baik. Lebih akurat dan lebih mendekati kebenaran.

Kembali ke kalimat awal yang jadi awal tulisan ini. Ketika pasangan yang menerima sms menghadapi kalimat diatas, maka dia akan mencoba mencari pengalaman dari kasus dan kejadian serupa. Ini yang dia dapatkan.

“Hunniee,, jangan lupa makan yaaa. Minum obatnya juga. Maaf aku gak bisa kesana. Luv u. Muaacchhhh"

Itu adalah kalimat lain yang pernah di sms kan oleh pasangan yang sama ketika salah satunya sakit. Bedanya saat itu hubungan mereka masih normal dan saling mencintai.