Gift and Prison

Posted: Selasa, 20 Desember 2011 by Iqbal Fajar in
0

Saya hanya tersenyum ketika salah seorang rekan kerja meminta bantuan untuk berbicara dengan klien tadi siang. “Lo kan lebih jago ngomong daripada gw” begitu katanya. Dan hanya senyum yang muncul. Begitupun ketika rekan kerja yang lain meminta untuk membujuk salah satu rekan yang akan mengajukan pengunduran diri. Atau ketika atasan memuji kemampuan mendekati klien yang terkenal bawel. Kali lain klien kembali memuji kemampuan berbicara di depan forum, walau saya baru terhitung baru di pekerjaan ini. Saya hanya tersenyum. Ya, hanya itu yang saya butuhkan saat ini. Jika itu kejadiannya 1 atau 2 tahun yang lalu, hidung ini akan kembang kempis sembari perasaan melayang karena gembira. Tapi tidak sekarang. Cukup senyum yang menjadi balasan.

Mereka bilang ini keturunan dari Papa. Beliau memang piawai dalam urusan satu ini. Berbicara, berdialog, mengambil hati orang lain, berdiplomasi dan apapun itu namanya. Kelebihan yang turun juga pada adik kedua. Dengan berbekal kemampuan berkomunikasi itu, dia bisa menjadi Nong Banten, ajang serupa yang disebut Abang None di Jakarta. Kemampuan diplomasi juga yang salah satunya membawa dia sebagai HRD di Maskapai Nasional negara ini. Anugrah itu saya mulai sadari di acara arisan keluarga beberapa tahun yang lampau. Ketika itu ada seorang saudara yang mengatakan saya sudah tampak seperti Papa yang jago berbicara. Sejak itulah rasanya saya mulai serius dalam menggunakan kemampuan ini.

Dengan berbicara dan merangkai kata-kata, saya sudah mencapai banyak kesuksesan. Bakat itu mulai diasah ketika SMU. Berbekal kata-kata bahwa saya pernah mengikuti klub bulu tangkis di SMP, Ketua OSIS kala itu mengangkat sebagai Ketua Klub Bulutangkis di tahun pertama saya sekolah. Atau ketika saya berkenalan dan dekat dengan salah satu pemain basket di lapangan olahraga kampus. Si pemain basket itu ternyata kakak kelas di jurusan. Perkenalan yang mengantarkan pada keakaraban dan jaminan tidak disentuh oleh senior selama ospek kampus. Dan lagi-lagi kemampuan berbicara pula yang membuat saya berhasil mengkoordinir beberapa teman di angkatan untuk ikut serta dalam lomba karya ilmiah nasional. Lomba yang mengantarkan kami pada medali perak dan memulai gelombang serupa di masa mendatang. Bakat yang terus diasah itu tetap memberikan berkahnya ketika memasuki dunia professional. Sebut saja promosi di 6 bulan pertama kerja hasil dari ikut meeting merger awal dengan bos. Ketika ditanya apakah masih ada kesempatan disalah satu klien kami, saya dengan diplomatis menjawab bahwa tentu saja masih ada. Mereka puas dengan hasil pekerjaan kita. Dan itulah yang dijadikan oleh atasan sebagai pembenaran pengangkatan saya sebagai Account Executive bagi klien tersebut. Langkah baru untuk menjalani bidang yang membuat saya tersesat cukup lama, marketing.

Bakat berbicara itupun berkembang menjadi kemampuan presentasi dan menggaet hati klien. Di awal mula meniti karier sebagai marketing, saya bertemu dengan klien yang sudah senior dan seperti kebanyakan senior, mereka merasa anak baru lulus seperti saya ini tidak bisa apa-apa. Pendapat yang saya patahkan tepat di depan klien dan atasannya. Mereka yang awalnya meremehkan terpaksa menarik kata-kata dan meminta bantuan saya untuk persiapan presentasi di salah satu ajang internasional. Event yang mereka hadiri dengan presentasi dan materi anak baru kemarin sore yang mereka pandang sebelah mata. Kemampuan berbicara pun kembali memberikan manfaat bagi saya. Dengan berbekal insting marketing dan kemampuan berbicara, saya bisa tinggal di salah satu apartemen bergengsi di Ibukota selama setahun. Gratis. Bakat itu yang lagi-lagi membawa pada pencapaian yang sampai saat ini tetap saya ingat sebagai kenangan manis. Sukses membawa project yang bisa dikatakan menyelamatkan SBU kami walau hanya segelintir orang yang tahu peranan saya dalam project itu. Dan itulah saat ketika saya meninggalkan perusahaan yang sudah membawa hingga tahapan ini.

Ketika bekerja ditempat baru pun, saya akhirnya bergelut dengan dunia marketing dan sales. Walau harus diakui, pencapaian saya tidak bisa terlalu dibanggakan dalam pekerjaan ini, tapi saya berhasil menjadi salah satu wakil perusahaan yang pergi ke kantor pusat supplier di luar negeri. Itulah kali pertama saya menyentuh tanah di luar negeri tercinta ini. Bahkan hingga kini, saya masih merasakan beberapa keuntungan dari kemampuan berbicara ini. Kemampuan yang membuat beberapa orang disekitar terpana, kagum, takjub dan memuji.

Tapi semua tidak selalu terlihat seperti apa adanya. Bakat itu sebenarnya hal yang saat ini paling ingin saya hilangkan. They call it a gift, while I call it prison.

Why a prison? It called a prison because I couldn’t run from it even I try as hard as I could. Tidak semua hal baik datang dengan kemampuan berbicara itu. Itu saya sadari ketika kata-kata diplomasi dibalikkan tepat didepan muka dan dilakukan di depan banyak orang. Saya dipermalukan dan diteriaki oleh penonton dari salah satu kubu yang marah karena jadwal pertandingan tidak sesuai akibat adanya beberapa masalah teknis. Saya yang kehabisan kata-kata hanya bisa menunduk diam dan meminta maaf. Teriakan, kemarahan, ejekan dan umpatan dilontarkan dengan ganas malam itu. Sejak itu saya sadar ucapan orang tua “mulutmu adalah harimaumu” adalah nyata. Seharusnya saya sadar betapa berbahayanya bakat ini jika disalahgunakan, tetapi ego dan kebanggaan yang tinggi menolak itu semua. Saya yakin bahwa malam itu hanya karena ketidakmatangan saya dalam mempersiapkan acara serta ketidakmampuan saya berdiplomasi. Mulai saat itulah saya berusaha berdiplomasi dengan kata-kata. Diplomasi yang baik akan mengubah kenyataan yang buruk menjadi sedikit lebih baik atau bahkan merubah kesalahan menjadi kebenaran. Itulah prinsip yang saya pegang.

Maka mulailah diplomasi mengantarkan saya pada kesuksesan yang telah di sebutkan tadi. Terlepas dari itu, kebanggaan saya pada diri sendiri serta kekerasan hati yang tidak mau kalah dari orang lain membuat diplomasi menjadi senjata utama. Ketika berdebat dengan mantan, saya menggunakan diplomasi dan logika terbalik untuk menghindar dari kesalahan atau ketika kepergok selingkuh maka kemampuan membujuk dan meyakinkan, saya gunakan untuk menutupi jumlah selingkuhan lainnya. Bahkan ketika saya berusaha memutuskan mantan karena saya sudah bosan, lagi-lagi diskusi berhasil dimenangkan dengan sederet pembenaran atas kebohongan. Rentetan pemutarbalikkan fakta dengan diplomasi juga berkembang ketika bekerja. Pada beberapa kasus, saya menyalahkan pihak lain atas kelalaian dan ketidakmampuan. Saya berkeras bahwa semua kesalahan adalah karena mereka dan saya hanya berusaha membantu menyadarkan kesalahan itu.

Tapi bau busuk akan tetap tercium. Dan orang yang pertama kali menciumnya, jika dia sadar, ialah si penyebab busuk itu sendiri. Pada suatu titik saya sadar bahwa masalah bukan di mereka, tapi pribadi saya sendiri. Mantan tidak akan meminta begitu banyak jika saya tidak memberikan janji. Dia juga tidak akan marah sedemikian rupa jika tidak ada mimpi yang membuaikan. Klien tidak akan menjauh ketika produk sesuai dengan spesifikasi. Atasan tidak akan berpandangan buruk jika komitmen awal perjanjian berhasil dipenuhi. Ya, setelah beberapa kejadian berputarnya roda, saya sadar bahwa berbicara manis  bukanlah solusi untuk masalah atau kesalahan yang sudah diperbuat. Menghadapinya dengan berani dan bertanggung jawab adalah solusi satu-satunya.

Sayangnya semua terlambat. Saya sudah terbiasa dengan kemampuan ini. Bakat ini tidak bisa hilang. Kelebihan ini sudah menjadi penjara yang mengikat. Ketika bertemu dengan konflik, saya otomatis berbicara dengan diplomatis dan menghaluskan kenyataan. Saat ada kesalahan, saya tanpa disadari berusaha mengalihkan beban pada pihak lain. Bakat ini tanpa saya sadari sudah menjadi karakter. Darah daging dan kebutuhan. Bahkan dalam tulisan di blog atau pun kata-kata, saya tanpa sadar menuliskan sesuatu yang mungkin bukan kejadian sebenarnya, menyembunyikan kenyataan atau perasaan, berpendapat sesuai image yang baik dan sekali lagi berdiplomasi demi tampilan yang menawan.

Dan inilah saya. Bahkan ditempat yang paling tidak banyak orang tahu ini, saya beberapa kali masih menuliskan sesuatu tidak sesuai kenyataan dan pikiran. Padahal tag blog ini jelas-jelas mengatakan “The Truth”. Saya kehilangan kemampuan berpendapat, berkekspresi, menuangkan pikiran dan berbicara dengan lantang tentang perasaan yang sebenarnya. Saya terlalu takut pada pandangan orang dan kenyataan. Itulah mengapa rasanya saya lebih mencintai puisi dibandingkan tulisan popular. Sederhana saja, saya bisa bebas berekspresi menggunakan imaji tanpa takut orang akan sadar maksud utamanya.

Dari sanalah bermula ketakutan pada diplomasi, pudarnya kebanggaan dan hilangnya kepercayaan. Saat ini saya bisa dikatakan menghindar untuk menjalani semua bentuk hubungan intens dengan manusia, khususnya persahabatan dan percintaan. Saya terlalu takut menyakiti dan mengecewakan mereka semua dengan kata-kata saya. Hubungan dengan beberapa wanita hancur karena kebodohan dan kekeraskepalaan saya. Wanita pertama saya hancurkan kepercayaannya, wanita kedua saya buat tidak percaya pada hubungan untuk sekian lama, wanita ketiga saya luluhlantakkan mimpinya, wanita keempat saya putarbalikkan fakta dan kebenarannya, wanita kelima saya permalukan di keluarganya, serta wanita yang dulu cinta pertama saya dan saat ini menjadi pasangan tampaknya juga akan mengalami hal yang sama. Saya tidak bisa percaya padanya, bahkan untuk beberapa hal mendasar seperti bekerja hingga larut malam. Padahal saya mencintainya sejak dulu dan setelah puluhan tahun kami bisa bersama dan inilah yang saya lakukan padanya..

Wanita keenam adalah yang mungkin paling saya sesali kehilangannya hingga saat ini. Dialah wanita yang saya pernah sebut sebagai pasangan hidup, wanita pertama yang membuka harapan dan hingga wanita yang saat ini saya tetap berharap kami bisa bersatu. Wanita yang telah mengajarkan saya pada keberanian mengakui kebenaran. Wanita yang tahu diri saya jauh lebih banyak dan jauh lebih dalam dari pribadi manapun yang pernah hadir dalam kehidupan ini. Wanita yang membuka pintu hati saya, mengukung kata-kata, membebaskan dari ketakutan akan bakat berbicara sekaligus menghancurkan semua kepercayaan pada hubungan dan kehidupan bersama dua manusia. Ya, dia yang membuka kunci penjara itu dan disaat bersamaan mengunci saya dalam penjara lainnya bernama kesendirian total.

Kini setelah semua masa itu, saya kira bisa keluar dari penjara bernama kemampuan diplomasi dan berbicara. Saya kini bekerja pada bidang konsultasi dimana kemampuan analisis dan bekerja professional menjadi satu-satunya cara untuk dihargai dan dipandang oleh orang lain. Pekerjaan yang saya idamkan dari dahulu. Tempat dimana saya lebih bergantung pada apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan. Perlahan, saya mulai kembali pada pribadi yang dulu hilang. Sosok manusia yang mengandalkan logika, kompetensi, tanggung jawab dan komitmen sebagai senjata utamanya, bukan lagi seorang marketing amatir yang percaya kata-kata dapat menyelesaikan permasalahan dunia. Kini, yang bisa saya lakukan hanyalah tersenyum pada pujian tentang bakat berbicara, berusaha lebih baik agar kesalahan tidak terjadi dengan bekerja dan menjadi pribadi yang lebih bisa diandalkan, menata diri untuk bisa mengendalikan kemampuan ini dan menerima kesalahan yang lalu sebagai pelajaran untuk pencapaian yang lebih baik. Tapi saya sadar dengan sepenuhnya, penjara itu tidak akan pernah berhenti mengurung dan mengikat selamanya. Karena saat ini keadaannya berbeda. Kunci penjara itu bukan milik saya, tapi ada padanya.        

Utopia

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Kalian tahu arti kata yang digunakan untuk judul tulisan ini? saya mengetahuinya ketika umur 9 tahun, dari sebuah komik bernama Dragon Quest. Kata itu mucul berkali-kali dalam komik-komik lainnya yang tetap saya baca sejak kecil hingga hari ini. Awalnya tidak bermakna apa-apa, hanya sebuah kata yang cukup membuat saya penasaran dan membuka kamus bahasa di perpustakaan sekolah. Kita akan kembali pada kata itu nanti. Perkenankan saya bercerita sedikit tentang hobi yang menurut beberapa orang sangat berguna.

Saya suka membaca, sedari dulu. Terutama komik jepang. Orang tua yang mengenalkan komik sebagai alat agar anaknya ini gemar membaca. Dan sukses besar. Komik pertama saya ialah Doraemon. Legend manga of all time by Fujiko F Fujio. Bercerita tentang seorang anak kelas 4 SD bernama Nobita dengan robot kucing masa depan bernama Doraemon yang dikirimkan oleh cucunya di masa depan, Sewashi, agar kakeknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Simple story, really fit with young child full of imagination like me. Doraemon dengan kantung ajaib dan sederet alat masa depan yang membuat anak kecil normal berharap meja belajarnya punya laci yang berisi mesin waktu. Sebut saja alat ajaib Doraemon. Pintu kemana saja, baling-baling bamboo, senter pembesar, pinsil otomatis untuk mengerjakan PR, bubuk penghilang, celana tarzan dan alat aneh dan mengagumkan lainnya.

Dari Doraemon, kecintaan saya terhadap komik pun bertambah. Menggila jika bisa dikatakan. Mama bahkan menyempatkan berburu komik ke pasar tanah abang dan senen untuk memuaskan kebutuhan membaca saya. Komik seperti Dragon Ball, Kungfu Boy, Hattori, Astro Boy, bahkan hingga komik cewek seperti Candy Candy menjadi keseharian saya. Tak puas dengan itu, saya pergi ke Toko Buku seperti Gramedia dan Gunung Agung sekedar untuk membaca komik. FYI, took buku tersebut ada di Mall yang untuk pergi kesana anak kelas 4 SD lainnya biasanya akan datang dengan orang tua. Tapi tidak dengan saya. Dengan berbekal uang 1000 rupiah hasil menahan jajan selama 5 hari sekolah. Uang yang hanya cukup untuk ongkos pulang balik. Saya menghabiskan satu hari minggu hanya demi membaca komik sambil berdiri. Satu hari artinya dimulai dari toko buka jam 10 pagi hingga tutup jam 7 malam. Bayangkan anak kecil dengan kaus dan celana pendek, naik angkot, berdiri dengan mata berbinar melihat kumpulan komik sembari menahan lapar dan haus hanya demi membaca serangkaian komik Dragon Ball. Yeaahh, I’m that freak . Setelah saya SMP dan SMU pun kebiasaan itu tidak berubah. Sekolah asrama yang saya jalani selama 6 tahun dengan peraturan ketat tidak menyurutkan kecintaan pada komik. Sering saya kabur dari asrama hanya untuk terbenam di surga komik. Bedanya kini bukan lagi Toko Buku tapi tempat penyewaan komik. Beberapa kali saya dihukum karena ketahuan kabur, tapi apa yang bisa menghentikan passion seseorang? Tidak ada rasanya.

Secinta-cintanya saya pada komik, ada beberapa komik yang saya tidak begitu suka. Komik amerika dan korea adalah jenis komik yang saya jauhi. Komik jepang adalah yang terbaik. Baru ketika SMU , saya tahu istilah untuk jenis komik itu. Manga (selanjutnya komik jepang akan disebut manga). Ada hal yang menarik tentang manga. Ternyata, manga pun ada berbagai jenis dan dari manga itu yang paling saya suka ialah manga dengan genre petualangan, heroic dan battle manga. Doraemon dan Dragon Ball adalah dua manga yang termasuk dalam genre tersebut. Ciri-ciri manga itu adalah jagoan, kegembiraan, perjuangan. Keistimewaan lainnya adalah hubungan personal antara beberapa pemerannya yang digambarkan sangat detil. Manga yang saya baca ketika SMU kebanyakan bercerita tentang bagaimana beberapa orang sahabat yang berjuang untuk menjadi terbaik dalam bidangnya. Bahkan beberapa dikemas dalam kerumitan dan kompleksitas cara alur cerita.

Secara tidak langsung, manga telah mempengaruhi cara berfikir dan kepribadian. Dari Doraemon, saya belajar tentang Nobita yang lemah dan tidak bisa apa-apa, malas sekaligus bodoh. Tapi Nobita pada beberapa kesempatan bisa menjadi yang terbaik karena kepolosan dan kemurnian perasaannya. Nobita juga beberapa kali diceritakan sebagai anak yang tidak pantang menyerah walau sudah tertekan dan pada akhirnya sukses dan berhasil. Disanalah saya belajar tentang keteguhan hati sekaligus kepolosan memandang kehidupan. Ketika SMP saya membaca Detective Conan yang bisa memecahkan permasalahan dengan ketelitian. Disanalah saya mengenal pentingnya attention to detail and multiple point of view. Alur cerita Detective Conan yang rumit juga mempengaruhi saya pada cara berfikir terhadap permasalahn yang kadang mudah tapi dipersulit demi membuatnya menarik. Manga juga yang mengajarkan pada saya arti persahabatan dan pasangan yang bisa mengerti keadaan orang terdekatnya hanya dengan beberapa kata atau perbuatan. Manga yang saya baca di SMU dan kuliah memberikan pelajaran lebih banyak, bahwa semua harus didapatkan dengan perjuangan dan kerja keras. Shoot dan Slam Dunk adalah beberapa manga yang mempengaruhi saya. There’s no such thing called free lunch. I believe on that since young.
Kesamaan semua manga tersebut ialah semuanya akan berakhir dengan happy ending. Jagoan yang berjuang dari dasar, berusaha keras, kecewa beberapa kali dan akhirnya menang. Tidak lupa heroine (pemeran wanita) yang menjadi pasangan sang jagoan. Alur cerita ini ribuan kali menghampiri. Pada akhirnya, semua sama. Utopia. Dunia yang sempurna. Dan itulah cara saya memandang dunia dan segenap permasalahannya. Bahwa sekarang ada kekecewaan, kekalahan, kegagalan, kejahatan, ketidaksesuaian, tidak masalah karena pada akhirnya akan ada utopia bagi jagoan bersama sahabat dan orang tercintanya.

Dan itulah yang selalu saya amini hingga kini. Ketika diremehkan oleh teman-teman karena fisik yang lemah, saya berusaha menjadi yang terbaik dengan berlatih lari lebih banyak dari yang lainnya. Ketika nilai Bahasa Inggris jeblok, saya belajar mati-matian dan menyelesaikannya dengan menjadi salah satu peraih nilai tertinggi di UAN. Saat partner kerja meremehkan kompetensi, saya berjuang untuk menjadi salah satu konsultan dan marketing terbaik. Inilah utopia saya. Dunia manga yang penuh dengan perjuangan, kekecewaan, kekalahan dan pada akhirnya muncul dengan kemenangan. Saya secara sadar menjalani kehidupan bahwa akan ada kegembiraan diakhir perjuangan, tinggal sejauh mana ketekunan, kerja keras dan kesabaran akan bertahan.
Kini setelah sekian puluh tahun berjalan, saya masih terbenam dalam utopia manga tersebut. Bisa dikatakan, manga memberikan saya pelajaran lebih banyak dari apapun di dunia ini karena pada akhirnya, apa yang saya kerjakan, lakukan dan dapatkan adalah hasil pembentukan karakter dari ribuan manga dengan utopianya.

Nyanyian Subuh

Posted: Jumat, 16 Desember 2011 by Iqbal Fajar in
0

Rokok itu tersesap
Teman kami subuh itu
Ya, masih terjaga kami disini
Teman kita yang tersenyum sunyi
Hanya nada biola acak yang bernyanyi

Ini subuh entah keberapa kami terjaga
Si insomnia belum puas bercanda
Tak apa, kami tetap ada kawan
Karena sejatinya kita memang sahabat

Ah, sudah berkumandang sang tanda
Sudah tiba waktu tampaknya
Tapi kami masih ingin bercumbu !
Belum puas kami merengkuhmu

Fajar, jangan kau terbit dulu
Masih rindu kami pada Jakarta malam itu

Between What You Think and What You Do

Posted: by Iqbal Fajar in
1

And here I am folks, drunk with two bottle San Miguel nearby. Ini malam entah keberapa saya di meja yang sama. Dengan perasaan yang juga tidak jauh berbeda. Galau, kalau kata mereka. Penyebabnya juga masih sama, mantan yang masih saja menghantui pikiran. Ya, dia yang pernah bersama saya beberapa waktu belakangan. Dia yang menduakan, dia yang menolak untuk terbuka, dia yang dengan kata-kata “hunnie” nya, dia yang menolak untuk menjalani hubungan yang lebih serius demi perbaikan diri. Ya, dia yang beberapa waktu lalu saya sebut pasangan hidup dan ternyata membuang itu semua entah demi pikiran apa. Kami sama-sama keras hati dan egois. Kami yang tidak mau berusaha lebih jauh untuk mempertahankan apa yang kami percayai bisa dapatkan. Kami yang terlalu berpegang pada pendirian bodoh bernama harga diri.

Sayangnya kami, kita, kini sudah tidak ada lagi. Hanya ada saya dan dia. Saya dengan gila kerja dan bahagia, serta dia dengan kehidupannya yang menurutnya bisa lebih baik tanpa saya. Tapi saya dan dia memang sama. Aktor ulung dengan kemampuan menggunakan topeng bahagia. Saya dan dia yang bisa terlihat menjalani hidup dengan baik-baik saja. Dan kita memang expert dalam bidangnya. Tapi topeng tetap lah topeng. Tiada yang benar disana. Saya dan dia tetap berharap akan adanya keajaiban yang menyatukan kami menjadi kita kembali.

Itulah saya dan dia, dua manusia yang berharap menjadi kami, kita. Tapi itulah yang saya dan dia lakukan. Sebatas berharap. Ketika dia datang menawarkan proposal kita, saya dengan topeng baik-baik saja menolaknya. Begitupun dia yang merasa hanya cukup dengan sms dan YM belaka. Jika benar dia mencinta dan butuh, mengapa hanya datang dengan sms dan YM? Kenapa dia diam ketika saya datang tepat dimukanya dengan proposal untuk melangkah ke tingkat selanjutnya? Kenapa jika dia khilaf saat itu, hanya sms dan YM yang diajukannya? Mana perjuangannya untuk mendapatkan saya? Hanya sepenting itukah kita bagi dia? Sebatas sms dan YM lalu berharap semua terjadi dengan begitu saja seakan tidak ada apa-apa? Lalu kenapa dia tetap datang menawarkan perasaan dan harapan untuk kembali bersatunya kita?

Pun begitu dengan saya. Ketika dia menolak ajakan terakhir itu, saya memilih untuk melupakannya dan membuang jauh-jauh tentang dia. Bahkan berjanji untuk melupakannya selama sisa hidup. Lebih dari itu, saya berusaha melangkah maju dengan berkomitmen dengan orang lain. Dan lihatlah saya sekarang? Kembali berusaha percaya dan meninggalkan semua sumpah serapah yang dulu terucap. Berharap dia kembali di malam dan mimpi. Bolak balik mengaktivasi account FB demi melihat bagaimana kabarnya. Berharap dia melakukan hal lebih dari sekedar sms dan YM. Seburuk inikah pendirian untuk tetap menjauhkan dia dari kehidupan saya? Apakah saya memang sudah tidak bisa membuka hati lagi selain untuk dirinya?

Dan pada akhirnya semua pertanyaan itu tidak akan pernah bisa terjawab. Karena itulah sebatas yang saya dan dia lakukan. Berharap dan sms. Itulah memang harga saya dan dia di masing-masing pihak. Dia bagi saya hanya seseorang yang penting untuk diingat dan diharapkan, dan saya baginya hanya cukup dihadapi dengan sms dan YM. Dan inilah yang saya akan kerap kali lakukan. Bermimpi dan teringat padanya, pada tahapan tertentu maka berakhir dengan menulis tulisan bodoh sembari mabuk. Sementara dia akan tetap dengan sms dan YM nya yang kerap kali berkata tidak akan menghubungi lagi dan mungkin akan tetap mengingat saya sebagai kekasih sejatinya yang kelak, entah kapan, akan bersatu lagi dengannya. Mungkin akan benar adanya, mungkin juga tidak. Tidak ada yang tahu perasaan manusia. Saya mungkin akan bisa menjadi terbuka dan melangkah maju, dia mungkin akan menemukan pria lain yang menjadi pengganti posisi kekasih sejati dihatinya. Atau saya akan tetap dengan tidak bisa membuka hati dan menjalani hidup bodoh mempercepat kematian atau dia yang tetap berharap pada bersatunya kita walau entah kapan terjadi itu semua.

Satu hal yang pasti, saya dan dia akan tetap seperti ini selama kita adalah sebuah pikiran dan harapan. Result come from what you do, not what you think. As simple as it is…