Saya hanya tersenyum ketika salah seorang rekan kerja meminta bantuan untuk berbicara dengan klien tadi siang. “Lo kan lebih jago ngomong daripada gw” begitu katanya. Dan hanya senyum yang muncul. Begitupun ketika rekan kerja yang lain meminta untuk membujuk salah satu rekan yang akan mengajukan pengunduran diri. Atau ketika atasan memuji kemampuan mendekati klien yang terkenal bawel. Kali lain klien kembali memuji kemampuan berbicara di depan forum, walau saya baru terhitung baru di pekerjaan ini. Saya hanya tersenyum. Ya, hanya itu yang saya butuhkan saat ini. Jika itu kejadiannya 1 atau 2 tahun yang lalu, hidung ini akan kembang kempis sembari perasaan melayang karena gembira. Tapi tidak sekarang. Cukup senyum yang menjadi balasan.
Mereka bilang ini keturunan dari Papa. Beliau memang piawai dalam urusan satu ini. Berbicara, berdialog, mengambil hati orang lain, berdiplomasi dan apapun itu namanya. Kelebihan yang turun juga pada adik kedua. Dengan berbekal kemampuan berkomunikasi itu, dia bisa menjadi Nong Banten, ajang serupa yang disebut Abang None di Jakarta. Kemampuan diplomasi juga yang salah satunya membawa dia sebagai HRD di Maskapai Nasional negara ini. Anugrah itu saya mulai sadari di acara arisan keluarga beberapa tahun yang lampau. Ketika itu ada seorang saudara yang mengatakan saya sudah tampak seperti Papa yang jago berbicara. Sejak itulah rasanya saya mulai serius dalam menggunakan kemampuan ini.
Dengan berbicara dan merangkai kata-kata, saya sudah mencapai banyak kesuksesan. Bakat itu mulai diasah ketika SMU. Berbekal kata-kata bahwa saya pernah mengikuti klub bulu tangkis di SMP, Ketua OSIS kala itu mengangkat sebagai Ketua Klub Bulutangkis di tahun pertama saya sekolah. Atau ketika saya berkenalan dan dekat dengan salah satu pemain basket di lapangan olahraga kampus. Si pemain basket itu ternyata kakak kelas di jurusan. Perkenalan yang mengantarkan pada keakaraban dan jaminan tidak disentuh oleh senior selama ospek kampus. Dan lagi-lagi kemampuan berbicara pula yang membuat saya berhasil mengkoordinir beberapa teman di angkatan untuk ikut serta dalam lomba karya ilmiah nasional. Lomba yang mengantarkan kami pada medali perak dan memulai gelombang serupa di masa mendatang. Bakat yang terus diasah itu tetap memberikan berkahnya ketika memasuki dunia professional. Sebut saja promosi di 6 bulan pertama kerja hasil dari ikut meeting merger awal dengan bos. Ketika ditanya apakah masih ada kesempatan disalah satu klien kami, saya dengan diplomatis menjawab bahwa tentu saja masih ada. Mereka puas dengan hasil pekerjaan kita. Dan itulah yang dijadikan oleh atasan sebagai pembenaran pengangkatan saya sebagai Account Executive bagi klien tersebut. Langkah baru untuk menjalani bidang yang membuat saya tersesat cukup lama, marketing.
Bakat berbicara itupun berkembang menjadi kemampuan presentasi dan menggaet hati klien. Di awal mula meniti karier sebagai marketing, saya bertemu dengan klien yang sudah senior dan seperti kebanyakan senior, mereka merasa anak baru lulus seperti saya ini tidak bisa apa-apa. Pendapat yang saya patahkan tepat di depan klien dan atasannya. Mereka yang awalnya meremehkan terpaksa menarik kata-kata dan meminta bantuan saya untuk persiapan presentasi di salah satu ajang internasional. Event yang mereka hadiri dengan presentasi dan materi anak baru kemarin sore yang mereka pandang sebelah mata. Kemampuan berbicara pun kembali memberikan manfaat bagi saya. Dengan berbekal insting marketing dan kemampuan berbicara, saya bisa tinggal di salah satu apartemen bergengsi di Ibukota selama setahun. Gratis. Bakat itu yang lagi-lagi membawa pada pencapaian yang sampai saat ini tetap saya ingat sebagai kenangan manis. Sukses membawa project yang bisa dikatakan menyelamatkan SBU kami walau hanya segelintir orang yang tahu peranan saya dalam project itu. Dan itulah saat ketika saya meninggalkan perusahaan yang sudah membawa hingga tahapan ini.
Ketika bekerja ditempat baru pun, saya akhirnya bergelut dengan dunia marketing dan sales. Walau harus diakui, pencapaian saya tidak bisa terlalu dibanggakan dalam pekerjaan ini, tapi saya berhasil menjadi salah satu wakil perusahaan yang pergi ke kantor pusat supplier di luar negeri. Itulah kali pertama saya menyentuh tanah di luar negeri tercinta ini. Bahkan hingga kini, saya masih merasakan beberapa keuntungan dari kemampuan berbicara ini. Kemampuan yang membuat beberapa orang disekitar terpana, kagum, takjub dan memuji.
Tapi semua tidak selalu terlihat seperti apa adanya. Bakat itu sebenarnya hal yang saat ini paling ingin saya hilangkan. They call it a gift, while I call it prison.
Why a prison? It called a prison because I couldn’t run from it even I try as hard as I could. Tidak semua hal baik datang dengan kemampuan berbicara itu. Itu saya sadari ketika kata-kata diplomasi dibalikkan tepat didepan muka dan dilakukan di depan banyak orang. Saya dipermalukan dan diteriaki oleh penonton dari salah satu kubu yang marah karena jadwal pertandingan tidak sesuai akibat adanya beberapa masalah teknis. Saya yang kehabisan kata-kata hanya bisa menunduk diam dan meminta maaf. Teriakan, kemarahan, ejekan dan umpatan dilontarkan dengan ganas malam itu. Sejak itu saya sadar ucapan orang tua “mulutmu adalah harimaumu” adalah nyata. Seharusnya saya sadar betapa berbahayanya bakat ini jika disalahgunakan, tetapi ego dan kebanggaan yang tinggi menolak itu semua. Saya yakin bahwa malam itu hanya karena ketidakmatangan saya dalam mempersiapkan acara serta ketidakmampuan saya berdiplomasi. Mulai saat itulah saya berusaha berdiplomasi dengan kata-kata. Diplomasi yang baik akan mengubah kenyataan yang buruk menjadi sedikit lebih baik atau bahkan merubah kesalahan menjadi kebenaran. Itulah prinsip yang saya pegang.
Maka mulailah diplomasi mengantarkan saya pada kesuksesan yang telah di sebutkan tadi. Terlepas dari itu, kebanggaan saya pada diri sendiri serta kekerasan hati yang tidak mau kalah dari orang lain membuat diplomasi menjadi senjata utama. Ketika berdebat dengan mantan, saya menggunakan diplomasi dan logika terbalik untuk menghindar dari kesalahan atau ketika kepergok selingkuh maka kemampuan membujuk dan meyakinkan, saya gunakan untuk menutupi jumlah selingkuhan lainnya. Bahkan ketika saya berusaha memutuskan mantan karena saya sudah bosan, lagi-lagi diskusi berhasil dimenangkan dengan sederet pembenaran atas kebohongan. Rentetan pemutarbalikkan fakta dengan diplomasi juga berkembang ketika bekerja. Pada beberapa kasus, saya menyalahkan pihak lain atas kelalaian dan ketidakmampuan. Saya berkeras bahwa semua kesalahan adalah karena mereka dan saya hanya berusaha membantu menyadarkan kesalahan itu.
Tapi bau busuk akan tetap tercium. Dan orang yang pertama kali menciumnya, jika dia sadar, ialah si penyebab busuk itu sendiri. Pada suatu titik saya sadar bahwa masalah bukan di mereka, tapi pribadi saya sendiri. Mantan tidak akan meminta begitu banyak jika saya tidak memberikan janji. Dia juga tidak akan marah sedemikian rupa jika tidak ada mimpi yang membuaikan. Klien tidak akan menjauh ketika produk sesuai dengan spesifikasi. Atasan tidak akan berpandangan buruk jika komitmen awal perjanjian berhasil dipenuhi. Ya, setelah beberapa kejadian berputarnya roda, saya sadar bahwa berbicara manis bukanlah solusi untuk masalah atau kesalahan yang sudah diperbuat. Menghadapinya dengan berani dan bertanggung jawab adalah solusi satu-satunya.
Sayangnya semua terlambat. Saya sudah terbiasa dengan kemampuan ini. Bakat ini tidak bisa hilang. Kelebihan ini sudah menjadi penjara yang mengikat. Ketika bertemu dengan konflik, saya otomatis berbicara dengan diplomatis dan menghaluskan kenyataan. Saat ada kesalahan, saya tanpa disadari berusaha mengalihkan beban pada pihak lain. Bakat ini tanpa saya sadari sudah menjadi karakter. Darah daging dan kebutuhan. Bahkan dalam tulisan di blog atau pun kata-kata, saya tanpa sadar menuliskan sesuatu yang mungkin bukan kejadian sebenarnya, menyembunyikan kenyataan atau perasaan, berpendapat sesuai image yang baik dan sekali lagi berdiplomasi demi tampilan yang menawan.
Dan inilah saya. Bahkan ditempat yang paling tidak banyak orang tahu ini, saya beberapa kali masih menuliskan sesuatu tidak sesuai kenyataan dan pikiran. Padahal tag blog ini jelas-jelas mengatakan “The Truth”. Saya kehilangan kemampuan berpendapat, berkekspresi, menuangkan pikiran dan berbicara dengan lantang tentang perasaan yang sebenarnya. Saya terlalu takut pada pandangan orang dan kenyataan. Itulah mengapa rasanya saya lebih mencintai puisi dibandingkan tulisan popular. Sederhana saja, saya bisa bebas berekspresi menggunakan imaji tanpa takut orang akan sadar maksud utamanya.
Dari sanalah bermula ketakutan pada diplomasi, pudarnya kebanggaan dan hilangnya kepercayaan. Saat ini saya bisa dikatakan menghindar untuk menjalani semua bentuk hubungan intens dengan manusia, khususnya persahabatan dan percintaan. Saya terlalu takut menyakiti dan mengecewakan mereka semua dengan kata-kata saya. Hubungan dengan beberapa wanita hancur karena kebodohan dan kekeraskepalaan saya. Wanita pertama saya hancurkan kepercayaannya, wanita kedua saya buat tidak percaya pada hubungan untuk sekian lama, wanita ketiga saya luluhlantakkan mimpinya, wanita keempat saya putarbalikkan fakta dan kebenarannya, wanita kelima saya permalukan di keluarganya, serta wanita yang dulu cinta pertama saya dan saat ini menjadi pasangan tampaknya juga akan mengalami hal yang sama. Saya tidak bisa percaya padanya, bahkan untuk beberapa hal mendasar seperti bekerja hingga larut malam. Padahal saya mencintainya sejak dulu dan setelah puluhan tahun kami bisa bersama dan inilah yang saya lakukan padanya..
Wanita keenam adalah yang mungkin paling saya sesali kehilangannya hingga saat ini. Dialah wanita yang saya pernah sebut sebagai pasangan hidup, wanita pertama yang membuka harapan dan hingga wanita yang saat ini saya tetap berharap kami bisa bersatu. Wanita yang telah mengajarkan saya pada keberanian mengakui kebenaran. Wanita yang tahu diri saya jauh lebih banyak dan jauh lebih dalam dari pribadi manapun yang pernah hadir dalam kehidupan ini. Wanita yang membuka pintu hati saya, mengukung kata-kata, membebaskan dari ketakutan akan bakat berbicara sekaligus menghancurkan semua kepercayaan pada hubungan dan kehidupan bersama dua manusia. Ya, dia yang membuka kunci penjara itu dan disaat bersamaan mengunci saya dalam penjara lainnya bernama kesendirian total.
Kini setelah semua masa itu, saya kira bisa keluar dari penjara bernama kemampuan diplomasi dan berbicara. Saya kini bekerja pada bidang konsultasi dimana kemampuan analisis dan bekerja professional menjadi satu-satunya cara untuk dihargai dan dipandang oleh orang lain. Pekerjaan yang saya idamkan dari dahulu. Tempat dimana saya lebih bergantung pada apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan. Perlahan, saya mulai kembali pada pribadi yang dulu hilang. Sosok manusia yang mengandalkan logika, kompetensi, tanggung jawab dan komitmen sebagai senjata utamanya, bukan lagi seorang marketing amatir yang percaya kata-kata dapat menyelesaikan permasalahan dunia. Kini, yang bisa saya lakukan hanyalah tersenyum pada pujian tentang bakat berbicara, berusaha lebih baik agar kesalahan tidak terjadi dengan bekerja dan menjadi pribadi yang lebih bisa diandalkan, menata diri untuk bisa mengendalikan kemampuan ini dan menerima kesalahan yang lalu sebagai pelajaran untuk pencapaian yang lebih baik. Tapi saya sadar dengan sepenuhnya, penjara itu tidak akan pernah berhenti mengurung dan mengikat selamanya. Karena saat ini keadaannya berbeda. Kunci penjara itu bukan milik saya, tapi ada padanya.