Move or Stay

Posted: Senin, 22 Maret 2010 by Iqbal Fajar in
1

Sudah seminggu ini saya kehilangan semangat. Semua semangat, mulai dari kerja, kuliah, berhubungan social dengan orang lain, meneliti hal-hal baru. Entah apa yang hilang dari diri saya. Padahal jika ingin menilik lebih lanjut, posisi saat ini tidak begitu buruk. Finansial masih positif, walaupun tidak berlebih. Tugas kuliah juga tidak begitu banyak. Dukungan dan kemesraan dari pacar sedang deras-derasnya dilimpahkan. Hanya masalah pekerjaan saja yang mengganggu. Project yang di targetkan masih saja jalan ditempat. Berdampak besar pada pekerjaan di kantor yang seakan hanya makan gaji buta.

Entah apa yang terjadi. Sebenarnya banyak yang harus saya lakukan. Tugas presentasi belum sepenuhnya selesai. Minggu ini saya juga ada jadwal ujian di kampus. Belum lagi urusan pekerjaan tahun lalu yang masih belum menemui kata sepakat. Tapi masalah yang paling memusingkan tentu saja target project yang sudah di inisiasi hampir 2 tahun. Project yang beberapa kali disebutkan pada tulisan-tulisan saya. Entah mengapa project ini tidak juga tembus. Selalu ada halangannya. Padahal pihak yang paling bertanggung jawab sudah setuju. Sekarang giliran bawahannya ikut-ikutan merecoki.

Jujur saja, saya sudah kehilangan kenikmatan mengejar project ini. Terlalu banyak waktu dan tenaga terbuang. Bukan hanya atasan yang sudah mulai kehilangan kesabaran. Saya pun bingung harus seperti apa lagi project ini akan berujung. Pekerjaan saya hanya berkutat dengan mengunjungi klien sembari menanyakan progress kegiatan, menunggu kabar, bersabar dan berdoa. Alhasil, otak saya lama kelamaan mulai kehilangan potensinya. Hanya terpakai oleh chat, ber hahi di kantor, main game, atau lebih parah lagi. Merokok seharian.

Saya letih, bukan karena fisik tetapi potensi tubuh yang tidak termaksimalkan. Sangat tidak nyaman rasanya menunggu tanpa kepastian. Saya butuh tantangan, butuh sesuatu yang membuat saya tertidur kelelahan atau pusing memikirkan tumpukan data yang belum tersentuh di meja. Banyak yang ingin saya lakukan, tetapi karena pekerjaan utama di kantor ini adalah menunggu, praktis fokus saya terpusat pada kegiatan paling menyebalkan itu.

Mungkin anda berfikir saya seharusnya berbuat hal-hal lain yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Out of the box. Memang itu yang sedang berkeliaran di pikiran saya. Wiraswasta. Satu kata yang sedang menjadi obsesi besar kini. Pada kenyataannya, tidak semudah yang dibicarakan. Saya dengan kemalasan akut bawaan orok ini, masih terlalu takut keluar dari zona nyaman sehingga yang terjadi hanyalah rencana, rencana dan serangkaian rencana lainnya.

Saya sadar apa yang sebenarnya dicari. Impian. Tujuan. Obsesi. Project traceability adalah alasan saya bertahan di BUMN ini. Beberapa teman menyarankan saya tetap bertahan hingga project selesai sehingga saya bisa resign dengan dada membusung. Tapi, jujur saja, mimpi itu mulai terkikis. Saya kehilangan passion. Kehilangan tujuan.

Banyak orang berkata bahwa kita tidak bisa hidup tanpa impian, obsesi, mimpi atau apapun sebutannya. Mengarungi hidup tanpa tujuan yang jelas adalah hal yang paling saya takutkan. Sering saya termangu di tepi jalan ketika melihat segerombolan anak muda berdandan ala Punk, atau pengemis dengan rengekan buatannya. Tidak ada kehidupan disana menurut saya. Apa yang mereka tuju? Apa yang mereka harapkan? Kebebasan kah? Kemudahan mendapat uang kah? Kenikmatan kah? Entah apa yang mereka pikirkan..

Atau sebut saja contoh lainnya, seorang tua yang termangu di pelataran rumahnya beralaskan tanah, hanya memakai kaus oblong, celana pendek sembari menghisap rokok kreteknya. Tanpa arah, matanya memandang jalanan. Entah apa yang di pikirannya. Mungkin pertanyaan standar, kapan anaknya pulang, kenapa tidak ada yang bisa dikerjakan, kapan dia akan bertemu teman main caturnya atau sejuta alasan mengambang lainnya. Dan kegiatan itu terus berlanjut hingga sore, esoknya, bulan berikutnya bahkan puluhan tahun lainnya. Keadaan yang statis, tanpa perubahan, tanpa tujuan, hanya menanti datangnya esok hari dengan segala rutinitasnya. Hanya sesederhana itu.

Ayah saya selalu berpetuah kepada anak-anak tercintanya. “Bukan masalah kita hidup dalam kondisi yang kekurangan. Yang penting ialah selalu ada perubahan menjadi lebih baik. Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Maka yakinlah bahwa kita akan tetap hidup dengan lebih memaknai hidup itu sendiri”. Sebuah konsep continuos improvement sederhana dari seorang manusia yang telah mengajarkan banyak kehidupan pada saya. Pelajaran yang hingga kini saya terus pegang teguh dan terapkan.

Maka tulisan ini kembali diakhiri oleh pertanyaan yang sama. Move or Stay? Jawaban saya, Move. Bukan karena hilangnya ambisi dan mimpi, bukan karena gaji yang tidak mencukupi, bukan karena sistem yang sulit dibenahi, bukan karena harapan yang memudar. Bukan hanya karena itu. Tapi saya harus bergerak terus menuju titik berikutnya. Titik yang dinamakan Mimpi.

Yeah, I’ll move. To the higher level beyond everything. To the end of the rainbow, to see what is behind. To reveal another possibilities lay upon the earth. To rip all my comfort zone and reach another battlefield. I’ll fight. Till every breath and blood taken from me. And in the name of my God, I vow.

End Of The Rainbow by Sandhy Sondoro

Posted: Kamis, 18 Maret 2010 by Iqbal Fajar in
0

Entah mengapa, hari ini saya sangat sangat kangen dengan pacar tercinta yang nun jauh disana. Apalagi sambil mendengarkan lagu ini. Very good song. The song that make Sandhy Sondoro won The New Wave 2009, a competition for international young singer. Perfect song for me that in falling in love mode J. Enjoy !


End Of The Rainbow - Sandhy Sondoro

And now… I promise you…
That I will so… so close to you…
Like you want me too…
Like I want it too…
And now… I think I’m in love with you…
And…this scenes…got my eyes on you…
For the first time.. yee for the first time…

Reff:
And now… I’ll pick up the star for you…
If you love me too…if you love me too…
I know… I’ll fly you to the sky over the seven sky…
If you love me too …

And now… don’t know what to do…
You got me drown so deep into…
Into you… so deep into you…
Reff:
And now… I’ll pick up the star for you…
If you love me too…if you love me too…
I know… I’ll fly you to the sky till the end of the raindow
End of the rainbow…

Little by little pass your life embrace your heart…
Light my love melt into your soul….
Into your soul…yeahhh
That my love that your life embrace your heart…
melt into your soul…
End of the rainbow… Over the seven sky yeiyeyehhh…

Pendidikan, Sebuah Renungan

Posted: Rabu, 17 Maret 2010 by Iqbal Fajar in
0

“Apa fungsi pendidikan?”
Pertanyaan simple itu dilontarkan oleh dosen pembimbing saya di sela-sela sesi pembimbingan. Saya yang terlahir dengan bakat sok tahu langsung menjawab :
“Agar kita bisa mengetahui hal-hal baru, bisa mengembangkan dan meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu kita, serta agar kita mensyukuri nikmat Tuhan”.
Saya tersenyum simpul. Jawaban yang cukup bagus dan intelek menurut saya.
Dosen saya hanya menggeleng kecil selagi menjawab,
“Bukan. Fungsi utama pendidikan adalah membuat kita lebih bijak”
Saya tersentak. Sangat sederhana, tapi menjabarkan semuanya. Fungsi pendidikan menurut beliau bukan hanya untuk memberikan kita pengetahuan, bukan hanya untuk mengeksplorasi dunia ini lebih jauh lagi. Bukan hanya untuk menciptakan alat-alat baru yang memudahkan kita, bukan hanya untuk mengembangkan IQ apalagi untuk sekedar pembuktian bahwa kita mampu menguasai suatu permasalahan.
Tidak hanya itu. Beberapa fungsi diatas memang tujuan sebagian besar akademisi di dunia ini. Tapi menurut saya, yang terispirasi dari dosen, fungsi utama pendidikan adalah membuat kita lebih bijak memahami sesuatu. Lebih terbuka dalam menanggapi permasalahan. Lebih tenang dalam menghadapi kemelut. Lebih sabar dalam menyikapi musibah.
Kenapa saya ingin membahas pendidikan? Ada kaitannya dengan beberapa orang yang mengaku berpendidikan, tapi menurut hemat saya belum mengerti fungsi pendidikan itu sendiri. Contoh pertama ialah kasus yang diutarakan oleh salah satu guru saya. Ada seorang ibu yang dipusingkan oleh kelakuan anaknya yang masih sering mengompol. Kejadian simple yang sering kita dengar. Banyak orang menyalahkan si anak karena sering mengompol. Tapi mari lihat kejadian sebelum tidur. Si anak merengek kepada ibunya hendak buang air kecil. Ibu yang sudah terlanjur mengantuk, balik memarahi anak. Akhirnya si anak dipaksa masuk kamar tidur dalam kondisi takut dimarahi dan menahan buang air dan seperti yang sudah kita duga. Anak itu mengompol dan Ibu kembali memarahinya karena kebiasaan mengompolnya yang tidak bisa hilang.
Contoh lainnya mengambil setting di sebuah kantor. Manager Pemasaran memarahi staf marketingnya karena target yang tidak tercapai bulan ini. Atasan tersebut beralasan bahwa strategi marketing yang dilakukan oleh bawahannya tersebut tidak berjalan dengan baik. Staf marketing yang dipojokkan pun akhirnya hanya bisa diam seribu bahasa. Alasan yang sama diutarakan oleh Manager Marketing kepada Direktur Pemasaran dalam sesi evaluasi. Direktur pemasaran yang notabene lebih “berpendidikan” memberikan pertanyaan balik.
“Kamu mengetahui rencana strategi marketing yang diajukan bulan lalu?
“Tahu Pak”
“Kamu setuju dengan rencana strategi marketing itu?”
“Setuju Pak”
“Lalu kenapa kamu menyalahkan staf kamu untuk sesuatu yang sudah kamu setujui?”
Dialog Direktur dengan Manajer tersebut tanpa kita sadari hadir di tengah-tengah kehidupan dalam bentuk yang mungkin lebih sederhana, atau malah lebih kompleks. Dosen yang memberikan soal ujian diluar bahan kuliah dengan alasan agar mahasiswanya lebih terbuka tetapi tanpa memberitahu sebelumnya atau kakak kelas yang marah-marah tidak jelas di OSPEK tanpa memberikan alasan logis, hanya berlandaskan kata sakti : Demi pendidikan.
Sebenarnya mudah mengukur tingkat pendidikan seseorang. Tidak perlu IPK tinggi atau jajaran gelar menghiasi nama. Tidak pula perlu kumpulan diksi yang dilontarkan dalam pidato kenegaraan atau beribu alasan tentang pembenaran suatu hal. Cukup lihat perilaku di kehidupannya sehari-hari. Sudahkah kebijaksanaan menghiasi pemikirannya, telah dianalisiskah permasalahan yang datang padanyanya, cukupkah dirinya dengan bersyukur terhadap nikmat Tuhan, telah terangkah pikirannya dari tipu daya, mampukah logikanya mengalahkan arogansi dan egosentris.
Jika belum, sekali lagi menurut pandangan saya, dia belum layak mendapat gelar berpendidikan. Baru sebatas mengecap pendidikan. Belum memahaminya. Semoga suatu saat kita diberi kesempatan menjadi manusia yang berpendidikan.

Catatan tentang Sayang

Posted: Selasa, 09 Maret 2010 by Iqbal Fajar in
3

“Ketika kamu tidak tahu apa yang kamu harus sayangi dari seseorang, ketika kamu hanya bisa menyayanginya tanpa alasan apapun. Bukan karena wajahnya yang menawan, bukan karena suara yang merdu, atau kekayaan yang menggunung. Hanya rasa sayang, tanpa alasan dan tanpa penyebab. Maka itulah rasa sayang yang sebenarnya.”

Quote dari sahabat saya itu kini saya rasakan lagi. Kali ini dari seorang dara asal bandung dengan paras manisnya. Anda bisa tahu siapa dia dari tulisan saya sebelumnya. Wanita yang kini resmi menyandang gelar paling tidak penting di dunia : pacar saya. Semua bermula dari rongrongan seseorang dari masa lalu. Seseorang yang juga pernah memberikan rasa sayang yang sebenarnya kepada saya. Walau pada akhirnya tidak ada yang bisa dipertahankan dari hubungan kami. Lalu semua berakhir, dan kini rasa sayang yang dulu hilang kini ditambatkan di hati dara cantik itu.

Real problems comes along. Mantan tidak bisa terima dengan sikap saya yang mengakhiri hubungan begitu saja. Apalagi dia mengetahui saya sudah menggandeng orang lain. Serangan balas dendam pun dilancarkan. Bermula dari account email yang dibajak, YM serta Facebook yang diobrak abrik hingga menelpon ke pacar saya demi “misi mulia”: penghancuran image. Hal yang paling membuat saya lemas adalah terbajaknya account email. Menjadi sangat bermasalah karena melalui account tersebut saya berkomunikasi dengan client, teman kuliah, sahabat, serta dunia saya lainnya. Tanpa itu semua, praktis akses saya ke mereka tertutup, peluang yang sudah ada harus hilang, client lama harus me reconfigure alamat mereka, saya kehilangan contact di addres email, serta re-subscribe milis-milis yang salah satunya adalah milis kuliah. Akibatnya terlihat dengan cepat. Bermula dari client yang mempertanyakan kenapa tidak ada tanggapan, bahan-bahan ujian dan tugas kuliah yang tidak dapat saya akses, hingga rasa cemas tentang kemungkinan penyalahgunaan account email dan FB. Banyak upaya yang saya lakukan. Mulai dari re hack email yang berakhir dengan ter block nya email, deactivate account FB yang juga hanya bertahan sementara, sampai meminta kawan melakukan unsubscribe pada milis-milis saya. Usaha yang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Sangat tidak sedikit.

Hal yang paling menguras pikiran sebenarnya adalah kenyataan mantan dapat menghubungi pacar saya. Tujuan utamanya jelas. Menghancurkan dan memastikan saya tidak menjalin hubungan dengan dara cantik itu. Dengan YM yang sudah ter hack dia dapat saja mengundang pacar untuk menelpon dengan bermacam-macam dalih. Jujur, ada beberapa hal yang tidak seharusnya diceritakan kepada orang lain. Hubungan saya dan mantan sudah sangat dekat. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Tentu saja ada beberapa rahasia yang seharusnya hanya kami berdua yang tahu. Secara khusus, mantan pernah meminta saya berjanji untuk menjaga rahasia tersebut. Janji yang saya pegang teguh karena dari sekian banyak janji yang saya lontarkan setidaknya hanya ini yang dapat saya jaga.

Tentu tidak nyaman pula jika saya yang pastinya sudah dianggap setan bermuka iblis oleh mantan harus menerima kenyataan bahwa si cantik mendengar segala sesuatu tentang saya yang mungkin tidak sepenuhnya benar. Pikiran tersebut berkecamuk ketika mantan menelpon dan membenarkan bahwa dia memang meng hack account email saya. Tidak hanya itu, dia juga berhasil menghubungi pacar sembari menyombongkan diri bahwa pacar saya akan mengakhiri hubungan yang baru berjalan 3 hari ini.

Dengan lemas karena permasalahan hack ini, saya menelpon pacar untuk memastikan ancaman mantan. Ternyata hanya bagian hack email saja yang benar dari ancaman tersebut. Si manis itu tidak menerima telepon atau sms dari siapa pun pagi itu. Mengetahui kenyataan tersebut, saya menghela nafas. Setidaknya saat ini saya masih punya tempat berbagi. Ada yang bisa menenangkan kekalutan hati karena rumitnya masalah email, sosok yang rela tersenyum dan tertawa demi meringankan beban, hingga mendengar uraian keputusasaan yang meluncur deras. Saat itu, hanya Allah dan dia yang menenangkan saya. Entah apa yang terjadi jika tidak ada si manis itu.

Maka selama empat hari mulai dari hari ter hack nya account email hingga hari Minggu, saat kami bertemu di panasnya stasiun Cimahi bandung, berteman dengan sengatan terik matahari, makan dan bersantai di lounge café hingga nonton bareng salah satu nominasi Oscar yang baru tayang, tidak ada sedikitpun keluhan dan kemalasan yang ditampilkan olehnya. Berbeda dengan saya, dengan alasan masalah kantor, account email yang tidak dapat di akses sampai kelelahan kuliah, saya mengeluh dan menggerutu tantang semua hal. Si manis tetap dengan senyum, tawa dan kesabarannya meladeni pacar barunya. Tulus. Tanpa imbalan atau harapan berlebih.

Hari yang menyenangkan itu harus saya tutup dengan berat. Dikatakan berat karena saya akan mengungkapkan alasan sebenarnya ter hack nya account-account maya saya. Yang tentunya berafiliasi dengan pengakuan saya tentang mantan dan hubungan kami sebelumnya. Maka meluncurlah pengakuan itu. Setelah pembicaraan panjang yang melelahkan, rahasia saya dan mantan akhirnya terbuka. Aib itu menyeruak dengan segala busuknya. Mata sang kekasih masih belum berubah, hanya raut wajahnya yang menegang, sikapnya berubah, posisi badannya menjauh, bahasa tubuh akhirnya berbicara. Dia kecewa.

Lalu pengakuan itu meluncur dari mulut mungilnya, dia ternyata sudah menerima telepon dari mantan saya. Semua cerita saya sebenarnya pengulangan dari yang dibicarakan oleh mantan, walaupun memang ada hal yang dilebih-lebihkan dengan harapan hubungan kami berakhir. Saya hanya bisa diam dan termangu. Membayangkan betapa sakitnya hati kekasih saya harus menerima kenyataan tersebut. Manusia yang diharapkan dan dicintainya ternyata tidak seperti yang diharapkannya. Tapi di lain sisi dia tetap bertahan demi saya, demi lelaki tidak tahu malu yang mengeluh dan merengek di depannya. Bertahan selama 4 hari dalam ketidakpastian, kekalutan, kekecewaan, ketidakpercayaan, serta semua energi negatif lainnya. Tapi, dia bertahan. Dengan senyum manisnya, dengan keceriaanya, dengan ketulusannya, dengan pengorbanannya. Dia bertahan sembari memendam semua.

Malam itu, saya bertanya alasan dia melakukan semua pengorbanan itu. Jawabannya simple.

“Itu sudah kewajiban aku sebagai pacar kamu”

Terpekur diam, saya bisu sesaat. Speechless.

Dan malam itu pula derajat sayang kepadanya berubah. Dari hanya sebagai seorang pacar yang masih mementingkan sifat, penampakan, posisi, keadaan serta semua atribut logika lainnya yang selalu menyertai menjadi setingkat lebih tinggi lagi. Malam itu saya sayang kepadanya. Tanpa tahu apa dan kenapa. Hanya rasa sayang. So simple,,

Malas yang Akut

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Terjebak dalam keadaan dimana tidak ada yang bisa dilakukan kecuali tidak berbuat apapun adalah hal yang paling menyebalkan. Entah itu menunggu delayed flight di bandara, menanti kekasih yang ternyata masih tertidur pulas di kamarnya atau seperti yang saya rasakan kali ini. Terjebak dalam kereta commuter Jakarta Bogor. Sudah 45 menit saya mendiami kereta ini. Waktu yang seharusnya bisa mengantarkan saya ke Depok setidaknya. Semua bertambah menyesakkan karena ini kereta AC sehingga tidak ada yang bisa dilakukan selain menuggu, tanpa rokok, minuman, makanan, buku, ataupun jalan keluar alternative. Hanya tersudut di bangku kereta.

Huff,, jika menilik lagi, semua ini memang kesalahan saya. Seharusnya tadi malam tidak dihabiskan dengan menonton TV hingga larut. Padahal saya tahu sabtu pagi ini saya harus kuliah di Bogor. Berangkat jam 6 pagi tentu kegiatan yang sangat sulit dilakukan ketika malamnya baru memenjamkan mata jam 3. Maka ajakan teman untuk kuliah ke Bogor pagi itu harus mengalah dengan empuknya kasur serta dinginnya AC. Pagi itu saya terlelap lagi.

Baru jam 10 saya benar-benar bangun dan logika kebanggaan mulai bekerja. Hari ini presentasi kelas. Memang itu di jam mata kuliah kedua setelah makan siang. Sudah sekali saya meningalkan sesi presentasi. Jika meninggalkan untuk kedua kalinya, praktis saya akan kehilangan banyak poin untuk penentuan huruf mutu nantinya. Tapi dasar memang malas adalah bawaaan orok, pagi itu masih saya isi dengan bersantai di sofa sembari sarapan asap rokok. Waktu mulai menunjukkan jam 11 siang. Lapar mulai datang dan saya tahu di lemari es tidak ada french fries kesukaan saya maupun rolade daging yang baru dibeli kemarin. Semua karena listrik apartemen yang diputus sementara kemarin sehingga makanan beku siap saji itu rusak. Alasan pemutusan sementara itu pun sama saja. Tidak jauh karena kemalasan saya mengecek kotak surat sehingga tagihan bulan kemarin lupa dibayar.

Baru jam sebelas lebih saya bergerak ke kamar mandi dan bersiap berangkat. Sempat bingung apa yang akan membawa saya ke Bogor. Omprengan di Cawang atau KRL di Gambir. Pilihan jatuh di KRL. Paling aman menurut saya.

Selesai dengan semua persiapan saya turun ke lobby. Siang itu panas. Bahkan dari lobby yang ber AC itu saya sudah bisa merasakan panasnya udara luar. Si malas kembali menggoda. Alih-alih menggunakan Bus way yang mengharuskan saya berjalan 10 menit dalam panasnya Jakarta, saya pun memlih TAXI. Dengan konsekuensi menuggu lebih lama dan tentunya biaya yang lebih membengkak. Singkat kata, TAXI yang ditunggu hampir setengah jam itu pun datang dan sampailah saya di Gambir. Cacing di perut mulai demo. Lagi-lagi saya malas makan. Sekalian di kampus saja pikir saya.

Kereta pun datang. Entah kenapa saya sudah mulai tidak nyaman ketika kereta mulai berjalan. Lambat. Seharusnya kereta express tidak seperti ini. Tidak ada pemberhentian di stasiun kecil. Kereta yang saya naiki mulai menunjukkan anomalinya di perjalanan ke Stasiun Lenteng Agung. Kereta melambat kemudian berhenti.

5 menit. Saya masih asik dengan MP3.

15 menit. Mulai membaca Bahan presentasi nanti.

30 menit. Saya gelisah. Penumpang gelisah. Lapar mulai menggangu.

40 menit. Panik. Bisa-bisa saya melewatkan lagi sesi presentasi kelompok. Giliran kemarin saya tidak mendapat nilai karena tugas kantor. Masa kali ini saya harus kehilangan nilai lagi karena kemalasan?? Perut mulai melilit. Dan ini kereta AC. Tidak ada yang bisa berbuat apapun. Mengetuk pintu kondektur bukan solusi. Maka saya mulai menggerutu tidak jelas

45 menit. Akhirnya kereta mulai bergerak. Tapi saya pasrah. Setidaknya saya sampai di kampus jam setengah 3. Ditambah makan siang yang digabung dengan sarapan menghabiskan waktu minimal setengah jam. Jam 3 baru saya bisa masuk kelas. Semoga saja keberuntungan masih bersama saya. Kata-kata penghibur diri itu yang selalu bertugas menutupi kemalasan akut ini. Entah kapan rasa malas ini hilang dari saya. Hanya semoga yang bisa saya panjatkan. Tidak adil rasanya kan? Saya tahu pikiran anda. Tidak seharusnya kita hanya berharap dan berdoa. Harus berusaha. Tapi sekali lagi, saya malas J

Laki-laki, Wanita, dan Cinta

Posted: Senin, 01 Maret 2010 by Iqbal Fajar in
0

Laki-laki mungkin adalah mahluk yang selalu merasa superior jika dibandingkan wanita. Banyak alibi dijadikan pembenaran, mulai dari asal-usul wanita yang konon berasal dari rusuk lelaki, sifat laki-laki yang selalu berusaha melindungi wanita, postur tubuh yang mendukung, dilengkapi perintah agama yang membenarkan itu semua. Laki-laki memang sepatutnya lebih kuat dari wanita. Setidaknya itu pandangan orang konservatif. Pada nyatanya, banyak wanita yang lebih superior dari laki-laki. Sebut saja Margaret Thatcher, Benazir Bhuto, Megawati Soekarnoputri serta sederet nama pemimpin besar lainnya. Tapi lelaki, menurut saya, memang diciptakan lebih superior dari perempuan. Orang biasa menyebutnya kodrat.

Tapi tidak malam itu. Semua pendapat saya tentang superioritas laki-laki harus ditelan mentah-mentah. Alasannya? Karena saya yang merasa superior ini harus tergagap menyatakan cinta kepada seseorang di ujung telepon. Ya, saya tergagap dengan nafas yang tidak beraturan karena kencangnya adrenalin dipompakan oleh jantung ini. Hanya karena harus mengucapkan. “aku sayang kamu”. That simple words. 3 kata yang seharusnya sangat mudah diucapkan. Bayangkan, apa susahnya mengatakan kata-kata itu. Dilihat dari ejaan tidak ada yang sulit. A-K-U S-A-Y-A-N-G K-A-M-U. See,, so simple…

Malam itu, sebenarnya bukan malam seharusnya 3 kata itu diucapkan. Seharusnya saya mengucapkannya ketika kami di salah satu rumah makan di Bandung. Suasana mendukung, sepi, tempat yang nyaman, obrolan yang mengalir santai. Seharusnya itu momen yang tepat. Seharusnya. Tapi menjadi tidak berarti karena mahluk Tuhan yang mengaku superior ini kehilangan nyalinya. Usaha kedua dilakukan esok pagi ketika mengantar sang pujaan hati ke tempat bekerjanya. Kali ini waktu yang tidak mengizinkan. Usaha ketiga dilakukan ketika menjemput si dia dari tempat kerjanya. Kali ini semua siap sedia. Dia santai, suasana mendukung, dan ternyata kata-kata itu kembali harus tertelan dalam mulut dalam-dalam. Saya memang pengecut.

Malamnya saya tidak bisa tidur. Pikiran tentang pernyataan cinta yang tertunda sangat menggangu. Maka malam itu saya beranikan diri lagi untuk mengucapkan 3 kata itu. Mungkin kali ini sang nyali yang selalu menjadi kebanggaan laki-laki akan menunjukkan tajinya. Setelah basa-basi simple sembari mengatur detak jantung yang mulai tidak beraturan, saya pun mengatakan 3 kata sakti itu sembari tergagap. “Aku sayang kamu”. Hening. Jantung saya berhenti sejenak. Menanti suara di ujung telepon. “Apa? Coba ulang lagi”. Dia berbicara singkat. Argghhh rasanya muka saya memerah saat itu. Bukan karena marah tapi karena malu yang menyergap dengan cepat. Akhirnya saya ulang lagi kata kata itu dengan penekanan serta intonasi yang lebih jelas. Hening lagi. Jantung saya berhenti lagi. Lalu tawa renyah keluar dari mulut si cantik itu. “Apa lagi ini??” Pikir saya malam itu. Dan percakapan selanjutnya didominasi dengan tawa si pujaan hati dan pertanyaan seputar alasan saya mengucapkan 3 kata itu.

Entah dengan si manis berhidung mancung itu, tapi setengah jam sesi pengakuan saya malam itu membuat saya tidak bisa bertingkah selayaknya manusia normal. Bangun, tidur, berguling, jongkok, tengkurap. Semua rasanya salah. Malam itu saya harus puas berkeringat karena tegang dalam dinginnya udara Dago. Saya harus mengatur nafas sembari memegangi muka yang memerah tidak jelas. Belum lagi kaki yang gemetar tanpa sebab. Malam itu yang superior adalah sang pujaan hati dengan tawa renyahnya.

Dan malam disaat kami pertama kali bertemu kembali menyesap. Dia berdiri di tengah panggung dengan balutan gaun putih yang menawan. Suara yang menawarkan keriangan, sikap yang menghidupkan malam, keceriaan yang mengisi hati serta tawa yang menyejukkan. Saat itu saya duduk tepat di depannya. Menyaksikan wajah cantik dengan hidung mancung berbalut putihnya kulit. Tidak pernah terbayangkan kalau malam itu saya akan diberi kesempatan bertemu lagi dengannya. Mencari tahu lebih dalam, berkenalan lebih dekat bahkan mengutarakan isi hati ini padanya. Malam itu saya terinisiasi. Sejumput doa terlontar. Semoga tawa itu bisa menemani hingga akhir nanti. Semoga.

ps :

Aku sayang kamu J

Manusia dan Tuhan

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Entah bagaimana saya harus memulai tulisan kali ini. Terlalu banyak yang ingin diceritakan. Masih ingat dengan tulisan saya sebelumnya tentang resetting my life?. Ini adalah kelanjutannya. Kemarin, ketika keputusan cancel project dilontarkan oleh atasan saya, rasanya dunia runtuh seketika. Sangat down saat itu. Bukan hal yang berlebihan sebenarnya karena project itu adalah idealisme dan mimpi saya selama ini. Tiba-tiba harus di cancel karena alasan yang sepele.

Pagi itu ketika saya masuk kantor, rasanya adalah saat yang paling tidak nyaman. Berita tentang project yang bermasalah ternyata bukan dominasi saya. Tante dan Pak TK, rekan sesama AE juga membawa berita bahwa project mereka yang sudah di inisiasi dari tahun kemarin terancam cancel juga. Untungnya kami, sekumpulan buruh marketing di BUMN ini memiliki saraf humor yang berevolusi dengan baik. Maka, pagi itu dihiasi dengan menertawakan project yang tidak jelas kelanjutannya. Setidaknya pagi itu saya sedikit terhibur. Walaupun rasa gundah tetap menetap.

Siang hari, adalah puncaknya. Tekanan akibat project cancellation makin menjadi karena siang itu saya tidak ada kerjaan. Rencana pergi menemui klien baru pun harus ditunda karena ketidakprofesionalan tim dukungan usaha. Mobil yang seharusnya mengantar saya ke kantor klien dipakai untuk makan siang hingga jam 2 lebih. Padahal kami berjanji tiba di kantor klien jam setengah 2 dan perjalanan ke sana membutuhkan waktu 45 menit !!. Setelah lama menunggu dengan amarah yang mencapai ubun-ubun kepala, saya harus puas dengan kenyataan mobil yang ditunggu ternyata akan digunakan untuk atasan. Tanpa ucapan kasar, tanpa umpatan, tanpa raungan penghuni kebun binatang, saya berjalan kembali ke ke meja. Hanya menyimpan amarah di hati sembari mengutuk diri sendiri kenapa saya harus bertahan di perusahaan ini. Siang itu, saya putus asa. Tidak ada lagi senyum yang terlontar. Hanya amarah yang dengan sangat jelas terlukis di wajah. Tiba-tiba saja HP berbunyi. ID klien muncul.

“Pak Dirjen mau ketemu dengan tim kamu jam 18.00 hari ini untuk membicarakan keputusan kelanjutan project. Ajak atasan kamu”

Singkat saja klien menelpon dan saya yang memang sudah putus asa mengamininya dengan cepat. Saya tahu jawabannya. Setidaknya kali ini saya tidak harus mendengar keputusan cancel project sendirian seperti tahun lalu. Ada atasan dan tim saya. Cukup untuk membuat lebih malu lagi. Sore itu saya berangkat dengan ogah-ogahan. Bahkan karena sangat yakinnya saya akan penolakan Pak Dirjen, diperjalanan saya melontarkan usulan taruhan ke rekan marketing tentang keputusan Pak Dirjen. Saya yang putus asa tentu saja memilih project cancelled. Taruhannya traktir makan di tempat yang dipilih oleh pemenang.

Setelah menunggu setengah jam, Pak Dirjen dan Pak Direktur datang. Kami masuk ke ruangan beliau. Saya pasrah. Maka mengalirlah semua kata-kata sakti itu dari klien utama kami. Project continue. Ya, project yang sudah saya menyerah kepadanya tiba-tiba datang menghampiri saya. Project akan dilanjutkan, bahkan Pak Dirjen akan memberi dukungan penuh. Malam itu saya terperangah. Menyadari betapa kecilnya seorang Account Executive seperti saya. Seorang pandir yang tidak bisa melihat dunia kecuali dalam tempurung kecilnya. Manusia yang selalu membanggakan logika tanpa tahu bahwa ada sang Maha Logika disana. Seorang yang mengaku pejuang tapi tunduk pada kenyataan yang belum jelas kebenarannya. Malam itu saya kembali terpekur.

Kita, mahluk sombong yang menjelajahi dunia ini mungkin mahluk paling kurang ajar. Kita tinggal menumpang di bumi milik Sang Maha Kuasa, berjalan diatas bumi-Nya, makan dari-Nya, mengacak-acak milik-Nya. Semua yang kita punya adalah pinjaman dari Sang Pemilik Semesta. Bahkan tubuh ini pun hanya dipinjamkan-Nya. Kita berusaha dengan semua yang memang hanya dipinjamkan oleh-Nya. Dan ketika kita mengaku sudah berusaha, dengan semua yang hanya dipinjamkan, kita masih ngotot untuk menentukan hasilnya. Menurut saya, kita kurang ajar. Sangat.

Dan konsep ini yang baru saya sadar malam itu. Ada Sang Maha Kuasa pemilik semua isi dunia ini yang saya lupa minta izin kepadanya. Semoga ini terakhir kali saya harus terlupa kepada-Nya. Semoga anda tidak mengulangi kesalahan saya.