Move or Stay
Posted: Senin, 22 Maret 2010 by Iqbal Fajar inSudah seminggu ini saya kehilangan semangat. Semua semangat, mulai dari kerja, kuliah, berhubungan social dengan orang lain, meneliti hal-hal baru. Entah apa yang hilang dari diri saya. Padahal jika ingin menilik lebih lanjut, posisi saat ini tidak begitu buruk. Finansial masih positif, walaupun tidak berlebih. Tugas kuliah juga tidak begitu banyak. Dukungan dan kemesraan dari pacar sedang deras-derasnya dilimpahkan. Hanya masalah pekerjaan saja yang mengganggu. Project yang di targetkan masih saja jalan ditempat. Berdampak besar pada pekerjaan di kantor yang seakan hanya makan gaji buta.
Entah apa yang terjadi. Sebenarnya banyak yang harus saya lakukan. Tugas presentasi belum sepenuhnya selesai. Minggu ini saya juga ada jadwal ujian di kampus. Belum lagi urusan pekerjaan tahun lalu yang masih belum menemui kata sepakat. Tapi masalah yang paling memusingkan tentu saja target project yang sudah di inisiasi hampir 2 tahun. Project yang beberapa kali disebutkan pada tulisan-tulisan saya. Entah mengapa project ini tidak juga tembus. Selalu ada halangannya. Padahal pihak yang paling bertanggung jawab sudah setuju. Sekarang giliran bawahannya ikut-ikutan merecoki.
Jujur saja, saya sudah kehilangan kenikmatan mengejar project ini. Terlalu banyak waktu dan tenaga terbuang. Bukan hanya atasan yang sudah mulai kehilangan kesabaran. Saya pun bingung harus seperti apa lagi project ini akan berujung. Pekerjaan saya hanya berkutat dengan mengunjungi klien sembari menanyakan progress kegiatan, menunggu kabar, bersabar dan berdoa. Alhasil, otak saya lama kelamaan mulai kehilangan potensinya. Hanya terpakai oleh chat, ber hahi di kantor, main game, atau lebih parah lagi. Merokok seharian.
Saya letih, bukan karena fisik tetapi potensi tubuh yang tidak termaksimalkan. Sangat tidak nyaman rasanya menunggu tanpa kepastian. Saya butuh tantangan, butuh sesuatu yang membuat saya tertidur kelelahan atau pusing memikirkan tumpukan data yang belum tersentuh di meja. Banyak yang ingin saya lakukan, tetapi karena pekerjaan utama di kantor ini adalah menunggu, praktis fokus saya terpusat pada kegiatan paling menyebalkan itu.
Mungkin anda berfikir saya seharusnya berbuat hal-hal lain yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Out of the box. Memang itu yang sedang berkeliaran di pikiran saya. Wiraswasta. Satu kata yang sedang menjadi obsesi besar kini. Pada kenyataannya, tidak semudah yang dibicarakan. Saya dengan kemalasan akut bawaan orok ini, masih terlalu takut keluar dari zona nyaman sehingga yang terjadi hanyalah rencana, rencana dan serangkaian rencana lainnya.
Saya sadar apa yang sebenarnya dicari. Impian. Tujuan. Obsesi. Project traceability adalah alasan saya bertahan di BUMN ini. Beberapa teman menyarankan saya tetap bertahan hingga project selesai sehingga saya bisa resign dengan dada membusung. Tapi, jujur saja, mimpi itu mulai terkikis. Saya kehilangan passion. Kehilangan tujuan.
Banyak orang berkata bahwa kita tidak bisa hidup tanpa impian, obsesi, mimpi atau apapun sebutannya. Mengarungi hidup tanpa tujuan yang jelas adalah hal yang paling saya takutkan. Sering saya termangu di tepi jalan ketika melihat segerombolan anak muda berdandan ala Punk, atau pengemis dengan rengekan buatannya. Tidak ada kehidupan disana menurut saya. Apa yang mereka tuju? Apa yang mereka harapkan? Kebebasan kah? Kemudahan mendapat uang kah? Kenikmatan kah? Entah apa yang mereka pikirkan..
Atau sebut saja contoh lainnya, seorang tua yang termangu di pelataran rumahnya beralaskan tanah, hanya memakai kaus oblong, celana pendek sembari menghisap rokok kreteknya. Tanpa arah, matanya memandang jalanan. Entah apa yang di pikirannya. Mungkin pertanyaan standar, kapan anaknya pulang, kenapa tidak ada yang bisa dikerjakan, kapan dia akan bertemu teman main caturnya atau sejuta alasan mengambang lainnya. Dan kegiatan itu terus berlanjut hingga sore, esoknya, bulan berikutnya bahkan puluhan tahun lainnya. Keadaan yang statis, tanpa perubahan, tanpa tujuan, hanya menanti datangnya esok hari dengan segala rutinitasnya. Hanya sesederhana itu.
Ayah saya selalu berpetuah kepada anak-anak tercintanya. “Bukan masalah kita hidup dalam kondisi yang kekurangan. Yang penting ialah selalu ada perubahan menjadi lebih baik. Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Maka yakinlah bahwa kita akan tetap hidup dengan lebih memaknai hidup itu sendiri”. Sebuah konsep continuos improvement sederhana dari seorang manusia yang telah mengajarkan banyak kehidupan pada saya. Pelajaran yang hingga kini saya terus pegang teguh dan terapkan.
Maka tulisan ini kembali diakhiri oleh pertanyaan yang sama. Move or Stay? Jawaban saya, Move. Bukan karena hilangnya ambisi dan mimpi, bukan karena gaji yang tidak mencukupi, bukan karena sistem yang sulit dibenahi, bukan karena harapan yang memudar. Bukan hanya karena itu. Tapi saya harus bergerak terus menuju titik berikutnya. Titik yang dinamakan Mimpi.
Yeah, I’ll move. To the higher level beyond everything. To the end of the rainbow, to see what is behind. To reveal another possibilities lay upon the earth. To rip all my comfort zone and reach another battlefield. I’ll fight. Till every breath and blood taken from me. And in the name of my God, I vow.