Tentang Dia (2)

Posted: Senin, 25 April 2011 by Iqbal Fajar in
0

Semua kosong teman
Tidak berbekas rasa
Tanpa nada manja
Bahkan sekedar temu adalah dusta

Itulah caranya bersikap
Tentang kekerasan hati
Keegoisan kata
Kebutuhan pada kebebasan
Kenyamanan keadaan

Dan dia tidak berbohong
Hanya memunafikkan kenyataan
Karena tidak bisa tetapkan kesetiaan kilahnya
Adalah penolakan definisi kekecewaannya

Tapi itu katanya !
Kalimat dia yang bermain dengan cinta
Tahu apa dia ?
Hanya hatinya yang selalu mendusta

Dan memang itu riwayatnya
Cari sandalan untuk kecewa
Berikan harapan untuk injak hingga tandas
Sebutkan semua hanya untuk kembali
Yang ternyata hanya sementara

Itulah alaminya
Sikap permanennya
Bahasa lahirnya
Maka semua tingkah dustanya adalah kejujuran

Kini hanya tinggal tunggu saatnya kawan,
Hingga dia berlutut di korban selanjutnya
Mangsa hingga habis harga diri

Dan sang pria kembali menerima
Karena itulah fungsi utama si lelaki
Tong sampah yang setia

Ini bukan sajak keikhlasan
Hanya umpatan yang seharusnya termuntah

Catat ini kawan,
Ikhlas bukan haknya
Karena dia hanya pembohong biasa
Tidak kurang, tidak lebih

Sayang, sebuah definisi.

Posted: Senin, 18 April 2011 by Iqbal Fajar in
0

And here I go. Another headache morning. Pagi yang diawali dengan kepala pusing dan kecewa. Yup, pada akhirnya saya harus merelakan hubungan dengan dia hancur untuk kedua kalinya. Kata merelakan mungkin sedikit tidak pas. Saya memutuskan untuk berakhir. Dia memilih, untuk kedua kalinya, pada lelaki lain.

Apa definisi sayang menurut anda? Cinta ? Pengorbanan ? Kesetiaan ? Perjuangan ? Banyak orang mendefinisikan cinta dalam bentuk-bentuk itu. Saya sendiri mencintai dia dengan atribut tersebut. Sayangnya, ternyata definisi itu tidak berguna kali ini. Ternyata ada yang lebih penting dari semua itu. Ikhlas. Saya terbukti tidak bisa mencintai di tahapan itu.

Lets go back to where it started. Melati, sebut saja itu namanya. Wanita manis dengan senyum yang menawan. Saat kami pertama bertemu, saya melihatnya sama seperti wanita lainnya yang pernah mampir dalam kehidupan. Wanita yang seharusnya dekat tidak lebih dari 3 bulan dan hilang karena kebosanan. Nyatanya itu salah. Melati punya banyak hal yang membuat saya jatuh cinta, dalam arti sebenar-benarnya. Bukan manisnya senyum, ramahnya sikap, mapannya kehidupan, kedewaasaan pribadi. Dia lebih dari itu semua. Melati bisa menerima saya apa-adanya, membuat kehidupan muram menjadi lebih bercahaya, dan kesiapan untuk berkomitmen. She's perfect for me and everything is gonna be complete only if she's not belong to anybody.

Ya, pada akhirnya wanita pilihan saya adalah wanita yang sudah menjalin hubungan kekasih dengan orang lain. Kenyataan pahit itu baru disadari setalah semua rasa sayang itu terlalu dalam baginya. Pasti kalian berfikir, bagaimana mungkin saya bisa jatuh cinta pada orang yang sudah ada orang lain di hatinya ? Jawabannya adalah karena Melati tidak yakin pada pasangannya. Pria yang sudah 4 tahun menjalani kehidupan bersama, Pria yang memberikan kenyamanan ala ratu padanya, pria yang selalu ada buat dia ketika Melati pulang kerja, jalan-jalan, bersama teman, bahkan sudah memiliki usaha bersama. Menurut Melati, pria itu bukanlah pasangan hidupnya. Dia hanya menjalankan rutinitas.

Maka saya percaya. Mulailah hubungan kami dengan perselingkuhan di belakang pria itu. 3 bulan kami lalui seakan tidak terasa. Rasa sayang itu pun mencapai puncaknya. Saya mengajukan proposal menikah ke orang tua dengan Melati sebagai calonnya. Bodoh? Tentu tidak karena saya menemukan pasangan hidup di diri Melati. Lagipula Melati pun merasakan hal yang sama. Lebih dari itu, saya juga mengajukan hal yang sama ke orang tuanya. Positif feed back. Dan hubungan kami tetap berlanjut.

Banyak orang bilang, segala sesuatu yang dimulai dengan tidak baik maka akan berakhir tidak baik juga. Ketika komitmen sudah diucapkan, ada kebutuhan terhadap timbal balik. Melati harus memutuskan kekasihnya dan memilih secara sempurna siapa pasangan hidupnya. Sayangnya, pada tahapan ini dia tidak bisa melakukannya. Melati terlalu terikat pada pria itu. Berbagai alibi dilontarkan. Pria itu yang sudah terlalu dekat dengan keluarga, tidak ingin menyakiti, belum saatnya, masih ada janji yang harus dituntaskan. Ketika itulah saya meminta ketegasan akan hubungan dan keputusan untuk memilih.

Ternyata saya hanyalah seorang pilihan kedua. Dia lebih memilih untuk menyerah pada kenyataan. Pria itu sudah menjadi bagian hidupnya, penjemputan tiap sore, kedekatan dengan keluarga, intimasi di keseharian hidup dan penerimaan terhadap semua keegoisan serta rasa takut terhadap kehilangan pegangan. Dan Melati pun menyerah, pada saya yang dia sebut pria pasangan hidupnya, pria yang memberikannnya kenyamanan, pria yang ingin ada disampingnya selama sisa hidup.

Saya marah. Kecewa pada kata-kata yang hanya retorika. Saya sudah berkorban bagi dia, untuk menyerahkan kepercayaan, komitmen, pengorbanan, cinta, dan semua atribut kasih sayang lainnya. Dan dia hanya berlindung dibalik kata-kata menyerah pada keadaan. Kami pun berpisah. Tidak ada hubungan sama sekali, seakan tidak pernah ada pertemuan dan rasa sayang diantara kami berdua.

Hal bodoh yang terjadi ialah kami terlalu takut kehilangan. Hanya butuh satu minggu untuk kembali bersama dan melupakan sakitnya penolakan dan ketidaksesuaian harapan. Hubungan baru dilandasi dengan prinsip, semua tidak perlu dipikirkan. Jalani saja seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa. Kali ini, Melati bisa melakukannya dengan benar. Saya, walaupun berhasil di dua minggu pertama harus kembali sadar bahwa ini bukan cinta. Hanya kebohongan yang dilandasi ketakutan dan rasa nyaman. Berkali-kali rasa sakit dan pengharapan ditekan, tuntutan terhadap keseriusan dan rasa sayang sempurna di abaikan hingga membohongi diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.

Seperti kalian tahu, semua tidak pernah baik-baik saja.

Dan malam itu, saya memutuskan untuk meminta sekali lagi keputusan darinya. Dan jawaban yang sama keluar dari mulut Melati. Dia memilih pria itu, karena menyerah pada keadaan. Saat itu saya sadar, Melati bukan tidak sayang pada saya, dia hanya jauh lebih sayang pada pria itu. Walau definisi sayang sendiri perlu dipertanyakan. Tidak ada kata sayang untuk dua orang. Tidak ada cinta yang terbagi untuk dua hati.

Pada akhirnya, saya sadar pria itu lebih baik untuk Melati. Jangan tanyakan kenapa, saya hanya bisa membuat asumsi karena menurut Melati, rasa sayangnya pada saya jauh lebih besar walau pada kenyataannya mungkin lain.

Kembali pada awal cerita ini. Kita asumsikan sayang adalah pengorbanan, kesetiaan, dan pengorbanan. Sudah jelas untuk definisi ini Melati jauh menyayangi pria itu daripada saya. Itulah mindset yang selama ini tertanam di kepala. Karena itulah saya memutuskan untuk tidak bisa bersama dengannya lagi. Tapi bagaimana jika sayang adalah keikhlasan, bukan atribut seperti pengorbanan. Bukan sesuatu yang lebih mengarah pada keegoisan dan keuntungan diri sendiri? Bagaimana jika ikhlas adalah menjalani kehidupan dan melepaskan sesorang yang kita sayangi untuk bersama dengan orang yang menurutnya lebih baik?

Maka jika mengacu pada definisi itu, saya hanyalah orang bodoh yang bermain-main dengan sayang. Saya tidak bisa mengikhlaskan Melati untuk pria itu, tidak bisa mengikhlaskan hati saya untuk mencintai wanita yang mungkin benar-benar mencintai saya tapi tertekan dengan semua hubungannya. Dan itulah mengapa saya tidak akan pernah bisa mendapatkan Melati. Karena saya tidak bisa mencapai tingkatan ikhlas dalam mencintai seseorang. Pada tahapan ini, Melati mungkin bisa menyayangi saya jauh lebih baik karena dia mengikhlaskan hubungan 4 tahunnya terancam dengan adanya saya, melati lebih bisa mengikhlaskan hatinya hancur karena saya yang tidak bisa menerima semua kenyataan dan menunggu sedikit lebih lama.

Jika benar sayang adalah keikhlasan, maka saya belum bisa menyayangi dia dengan sepenuhnya karena hingga kapanpun mengikhlaskan Melati bagi pria lain adalah hal yang mustahil.