Catatan tentang 2011 : Eat That Frog, Alive !

Posted: Jumat, 10 Februari 2012 by Iqbal Fajar in
0

Ini mungkin kontemplasi tahunan paling telat yang pernah ada. Alasannya simple saja, saya belum merasa perlu melakukan kontemplasi hingga saat saya menulis artikel ini. Catatan ini merefleksikan kejadian selama satu tahun terakhir ditambah dua bulan pertama di 2012. Bertolak belakang dari salah satu buku yang saya baca baru-baru ini, Eat That Frog, saya akan menjabarkan kejadian tersebut, not from The Ugliest Frog but from The Pretty One.

Pekerjaan
Saya memulai tahun kemarin dengan status sebagai karyawan di salah satu distributor farmasi dan pakan ayam sebagai Technical Sales. Pekerjaan yang membawa saya pada salah satu momen penting dalam perkembangan karier. Seperti sudah diceritakan dalam beberapa artikel di blog ini, alasan meniti karier di perusahaan itu ialah untuk memulai lagi dasar-dasar sebagai professional dan yang paling penting ialah untuk menghancurkan egoisme yang sudah mengakar terlalu dalam. Setengah tahun kemarin saya habiskan dengan berjuang dan berusaha, walau jika ditinjau dari sudut pandang keberhasilan, saya bisa dikatakan gagal. Tapi dari sudut pandang sebagai pribadi, saya berhasil mencapai tahapan yang jauh lebih dewasa. Egoisme yang sebelumnya sangat kuat, berhasil dihancurkan hingga tahapan paling rendah dan saya dipaksa untuk memulai lagi semua dari awal. Saat itu, kebanggaan sebagai seorang yang pernah begitu berkuasa dan sukses kini telah berganti dengan kerendahan hati dan jiwa sosial yang dulu pernah ada. Boleh dikatakan, walau pahit, 11 bulan di perusahaan itu akan selalu saya ingat ketika keangkuhan dan kepuasan yang terlalu besar datang kembali di masa depan. Walaupun begitu, perusahaan itu tampaknya bukan jalur karier yang cocok bagi saya, maka ketika kesempatan lain datang, saya pun hengkang. Empat bulan terakhir di tahun lalu saya memasuki dunia karier baru. Bidang yang sejak awal jadi tujuan saya. Konsultan. Di sinilah saya menemukan kembali makna dari bekerja dengan sepenuh hati. Yang paling penting ialah melakukannya dengan passion, gairah, rasa cinta, semangat dan mimpi. Di perusahaan kecil yang berjiwa besar ini, saya menemukan muara dimana ide, gagasan, dan kebebasan berkreasi bisa tersalurkan. Hal yang paling menyenangkan ialah saya punya atasan dan rekan kerja yang terus memacu dan mendedikasikan hidupnya demi kesempurnaan. Maka itulah yang saya lakukan kini. Bekerja lebih keras dan cerdas, membangun fondasi yang jauh lebih kuat, memberikan yang terbaik demi klien serta terus berusaha belajar dan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi. Hari-hari kini tidak lagi diisi dengan mengeluh atau menyesali hidup. Itulah juga mengapa blog ini sempat terlantar beberapa lama. Sanking asiknya bekerja, saya melupakan kebiasaan buruk mengutuk dunia dan segala masalahnya. Ya, kini saya bahagia. Bekerja hingga pagi bukan lagi masalah. Malam-malam diisi dengan bekerja,bekerja dan bekerja. Taman kecil di lantai dasar apartemen tempat tinggal menjadi saksi malam-malam penuh kopi dan rokok. Jika sedang senggang, buku adalah teman terbaik. Jumlah dan kualitas buku yang saya baca selama 6 bulan bekerja jauh lebih banyak daripada semasa hidup saya dan ini akan terus berlanjut karena tiap bulan minimal ada 3 buku yang saya baca, entah berupa bidang pekerjaan atau supportivenya. Anggaran baru pun muncul di keuangan pribadi. Belanja buku. Dan sekali lagi, saya bangga akan pencapaian ini. Terima kasih atas kebiasaan membaca yang diajarkan orang tua semasa kecil dulu, kini saya bisa melihat dunia dengan perspektif yang sangat berbeda dibandingkan tahun lalu. Menulis pun tidak ditinggalkan. Saat ini saya sedang mengumpulkan tulisan terkait pekerjaan yang akan di post di blog tersendiri. Pada akhir tahun ini, saya punya mimpi untuk membukukan tulisan tersebut dan selangkah lebih maju dalam karier menulis yang hanya berkutat di blog curhat atau pengalaman bodoh. Onward, kata yang menjadi inspirasi saya tahun ini. Kata yang awalnya digunakan oleh Howard Schultz, chief executive officer Starbucks Coffee Company sebagai pengganti Regards dalam note-note kecilnya pada mitra Starbucks. Kata yang kemudian menjadi inspirasi Starbuck dalam melewati saat-saat terburuknya untuk memulai menjalani hari-hari terbaik penuh kebanggaan dalam sejarah perusahaan. Dan ya, sekali lagi saya katakan. Saya bangga dengan pekerjaan ini.

Bisnis
Saya memulai bisnis pribadi ini sekitar setengah tahun lalu. 2 bulan sebelum Ramadhan. Bisnis kecil yang menggunakan koneksi supply dari perusahaan keluarga. Bisnis yang saya harapkan dapat menjadi salah satu media mengasah enterpreaneurship sekaligus menjadi nilai positif dalam keuangan pribadi. Saya memulai bisnis ini dengan sahabat terbaik, Ghea. Dalam perjalanannya, adik Ghea, Ogi ikut dalam menjalankan bisnis. Hingga suatu waktu Ghea memutuskan untuk kembali bekerja dan bisnis berjalan dengan hanya kami berdua. Saya menggunakan pendekatan strategis untuk menjalankan bisnis ini. Perapihan database dan akuntabilitas financial sekaligus inovasi dalam perluasan pasar. Sejak awal, bisnis ini dirancang secara professional sekaligus kekeluargaan. Semua jelas dan terukur. Saya dan Ogi mendapatkan pembagian hasil yang sesuai. Kami pun mulai bermimpi untuk menjadi lebih besar daripada sekedar menjual barang eceran. Investasi dilakukan, sistem dirapihkan, database pelanggan dijadikan acuan dan pada kuartal pertama kami, bisnis ini memberikan profit yang mencapai setengah gaji saya saat itu. Itulah saat-saat terbaik yang sayangnya hanya bertahan sebentar. Ketika Ghea mulai meninggalkan kami di bulan keempat bisnis tersebut dimulai, pendekatan disiplin yang kami gunakan mulai ditinggalkan. Database pelanggan tidak diisi dengan baik, data penjualan mulai telat disampaikan dan inovasi pasar tidak berjalan. Ini ketakutan utama saya ketika berbisnis dengan orang yang tidak kompeten dan lebih buruk lagi, memiliki kedekatan personal. Saya tidak bisa berbuat apa-apa ketika disiplin dan gairah Ogi menurun. Saya terlalu dekat dengan keluarganya. Rumah mereka adalah rumah kedua saya. Keluarga mereka adalah keluarga saya. Pada akhirnya, saya mulai melupakan mimpi tentang professionalitas dan pertumbuhan bisnis yang kami rumuskan. Ini pelajaran yang akan saya ingat kedepannya. Bekerja dengan keluarga bukan menjadi pilihan saya. Bukan karena saya anti terhadap hubungan social. Ini murni professionalitas. Dalam bekerja, saya selalu berusaha untuk memiliki kedekatan dengan rekan kerja. Kenyamanan dan kenikmatan bekerja salah satunya datang melalui interaksi antara pribadi-pribadi yang memiliki satu visi dan tujuan. Dengan keluarga atau orang yang terikat hubungan perasaan secara kuat, kita tidak bisa melakukan pengambilan keputusan yang tegas dan kritis. Selalu akan ada rasa tidak nyaman ketika harus memberikan arahan atau keputusan yang dibutuhkan oleh perusahaan tapi tidak nyaman bagi pribadi yang ditujukan. Seringkali ketika emosi berperan, keputusan yang dihasilkan bukan berdampak pada keberlajutan perusahaan malah memperburuknya. Atau dalam kasus lain, pihak keluarga yang memiliki power lebih kuat akan menindas pihak keluarga yang lebih lemah. Menjadi lebih  menyedihkan ketika pihak yang lemah ditindas, apapun bentuknya itu, tidak bisa berbuat apa-apa karena keterikatan yang bernama keluarga. Itulah yang terjadi di perusahaan keluarga besar kami. Ayah saya adalah salah satu diantara banyak korban keluarga di perusahaan itu. Selama beberapa tahun terakhir saya menyaksikan Papa setiap Kamis berangkat tengah malam menuju Lampung untuk bekerja selama 3 hari dan baru kembali ke rumah di tengah malam hari Minggu. Itu semua beliau lakukan atas nama mempersatukan keluarga. Kejadian itu yang mungkin membuat saya trauma dengan bisnis berbasis kekeluargaan. Terlepas dari itu, setahun kemarin saya belajar bahwa skeptisme tentang tidak professionalnya bisnis keluarga tidak selamanya benar. Stephan adalah buktinya. Dia adalah salah seorang sahabat yang saya kenal melalui jalur pekerjaan. Perusahaan yang dimiliki keluarganya bisa berhasil walau menganut unsur kekeluargaan. Dari diskusi kami, saya mendapatkan jawabannya. Keputusan keluarga dan keputusan bisnis harus dibedakan. Tidak ada toleransi untuk itu. Keluarga boleh bergabung tapi hanya jika kompetensinya sesuai dengan yang disyaratkan perusahaan. Transparansi dan asas keadilan harus menjadi nilai dasar. Stephan walaupun bekerja dengan atasan yang merupakan ibunya sendiri, tetap dimarahi dan ditegur jika melakukan kesalahan. Bahkan jauh lebih keras. Saya yang ketika itu menjadi salah satu supplier mereka menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Perusahaan lainnya yang menjadi angin segar bagi sistem kekeluargaan ialah perusahaan tempat saya bekerja saat ini. Sebagian besar konsultannya ialah keluarga dari owner. Tapi mereka tidak diperlakukan berbeda. Bahkan ada salah satu adik owner yang dikeluarkan karena tidak bisa memenuhi standar kami. Setelah menelisik lebih jauh, ternyata budaya professionalitas sudah mengakar di keluarga mereka. Suatu ketika, salah seorang adik bungsu owner melakukan kesalahan. Teguran pun terucap. Yang mengagumkan, ketika si anak bungsu ini dimarahi, orang tuanya bukan membela dia tapi malah membenarkan tindakan kakak tertua itu bahkan memberikan ceramah tambahan baginya. Pendidikan dan ajaran orang tua menjadi landasan mereka bisa mencapai tahapan tersebut. Ini adalah salah satu pembelajaran besar lainnya bagi saya. Profesionalitas bukan muncul dari antah berantah. Ia harus diasah dan dilaksanakan secara simultan dan konsisten. Keluarga adalah salah satu medianya. Bukan berarti rasa sayang dan kehangatan itu akan hilang dengan kekakuan dan formalitas tapi intinya ialah perlakuan adil yang setara dan dijalankan dengan tegas. Ketika kesalahan dilakukan, maka pihak yang bersalah harus diingatkan dan diperlakukan sesuai kesalahannya. Begitupun jika keberhasilan diraih. Ada penghargaan dan kebanggaan yang dijunjung tinggi. Jika di masa mendatang saya diberikan anugrah untuk memiliki keluarga, maka nilai-nilai adil, setara dan tegas akan selalu dijadikan dasar dalam memperlakukan istri dan anak-anak. Dan walaupun kini bisnis yang saya rintis dengan mimpi dan harapan itu kini sudah mencapai masa kebangkrutannya, saya tidak menyesal. Karena terlepas dari itu semua, ada pelajaran besar tentang kehidupan yang bisa didapatkan.

Pendidikan S2 dan Tesis
This is one of the most ugliest frog I ever had. Target yang dulu terucap untuk menyelesaikan pendidikan master tepat 2 tahun entah sudah hilang kemana. Saya masih ingat ketika pertama kali di kumpulkan oleh Direktur Kemahasiswaan kami. Beliau mengatakan mahasiswa di institusi ini tidak ada yang gagal dalam menjalani perkuliahan (kecuali yang memang memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah). Kegagalan mencapai master degree disebabkan karena mahasiswa tersebut tidak bisa menyelesaikan tugas akhirnya hingga tenggat waktu yang diberikan. Saat itu, saya tidak percaya. Saya sangat yakin pada kemampuan analis dan menulis. Saya bahkan menyelesaikan kuliah dengan tugas akhir yang bisa dibilang revolusioner untuk jurusan kami. Tugas akhir di institusi ini terkenal cukup mudah. Tapi kini pernyataan Direktur Kemahasiswaan itu mulai menghantui saya. Pengerjaan tesis sudah sangat terlambat dari batas waktu yang normal. Per bulan ini saya sudah terlambat 6 bulan dari waktu kuliah normal dan 3 bulan lagi, jika tetap tidak bisa menyelesaikannya saya secara resmi akan di DO. Ada hal-hal yang setidaknya menjadi alasan. Pertama ialah kenikmatan bekerja yang membuat saya melupakan tugas dasar belajar ini. Tantangan dan hal baru yang terus saya temui selama bekerja membuat tugas akhir yang terasa sangat berat ini saya jauhkan dari pikiran. Saya kuat tidak tidur semalaman, bahkan bermalam-malam untuk mengkonsep laporan atau mengerjakan bahan presentasi tapi jika pekerjaan sedang senggang, saya memilih untuk melupakan tesis. Alasan kedua ialah saya sendiri terlalu malas untuk memulai kembali. Gairah belajar dalam institusi pendidikan sudah lama hilang. Pendekatan teoritis dan tidak aplikatif membuat saya lelah. Pekerjaan sebagai konsultan memungkinkan saya mengkonsep sekaligus mengaplikasikan ide dan inovasi hingga tahapan eksekusi. Dengan tesis yang saya tahu tidak akan digunakan oleh perusahaan keluarga yang jadi objek penelitian, membuat pekerjaan melelahkan itu tampak tidak ada artinya. Frustasi kini sudah menyelimuti dan saya pun bukan tidak berusaha untuk menghilangkan malas tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah meminta Ghea untuk membantu mengerjakan tesis itu. Tapi apa daya, dia juga memiliki kesibukan di project yang tidak bisa ditinggalkan. Kini tesis tetap menggantung. Inilah salah satu katak terburuk yang pernah ada. Saya tidak bisa tenang. Berkali-kali perasaan cemas dan takut menghantui. Bahkan sudah pada tingkatan yang membuat saya mimpi buruk belakangan ini. Kini, di tahun yang baru ini saya bertekad harus menyelesaikan tugas akhir. The first rule of frog eating : eat the ugliest frog first. Itulah yang akan saya lakukan. Hidup dan ketenangan saya tidak akan pernah datang ketika one of the most ugly frog ini tidak saya makan. Beberapa rencana telah dibuat, salah satunya mengacu pada buku Eat That Frog. The second rule of frog eating : If you have to eat live frog at all, it doesn’t pay to sit and look as it for very long. Jika anda mau makan katak hidup, maka makanlah secara langsung karena tidak ada gunanya adu melotot dengan katak tersebut. Katak itu menyeramkan dan cara memakannya ialah dengan memakannya sekaligus dan dalam waktu yang cepat. Itulah yang akan saya lakukan. Mengerjakan tesis dalam waktu yang sesingkat-singkatnya karena semakin saya menunda mengerjakannya maka semakin menyeramkan lah dia.

Hubungan Percintaan
This is the ultimate ugly frog of all time. Katak yang sedari dulu dan akan selalu menjadi katak terburuk dalam hidup saya. Saya payah dalam mencintai seseorang. Bukan karena kurangnya perhatian atau kasih sayang. Saya sangat buruk dalam mengatur hati dan berharap terlalu banyak pada pasangan. Sifat dasar yang suka hidup sendiri membuat saya menggantungkan semua harapan dan keluh kesah pada pasangan. Tapi itu masa lalu. Kini saya sudah bisa lebih mandiri dan mengatur hati. Saya berhasil memakan katak jenis itu. Sayangnya katak lain muncul. Ketidakpercayaan pada pasangan. Ya, karena seringnya dikecewakan dan mengecewakan pasangan sebelum ini, saya kehilangan kepercayaan untuk menggantungkan kehidupan dan harapan pada pihak lain. Its simple logic. Jika berbagi perasaan dan kepercayaan pada orang lain adalah suatu konstanta yang tidak pasti nilainya maka lebih baik buang saja dalam formula yang ada. Itulah yang saya lakukan kini. Setelah gagal dalam mencintai wanita yang saya anggap sebagai pasangan terbaik, saya mencoba memulai kembali kehidupan dengan wanita lainnya. Tapi ternyata luka dan kekecewaan saya pada hubungan sebelumnya belum selesai sempurna. Walau saya saat itu sangat yakin bahwa melangkah maju adalah pilihan satu-satunya. Akhirnya setelah 3 bulan bersama, kami memutuskan berpisah. Selain alasan karena ketidakpercayaan pada hubungan personal, harapan akan kembalinya mantan ialah alasan lain yang mendasari keputusan tersebut. Saya terlalu mencintai dia. Wanita itu telah masuk ke kehidupan saya jauh lebih dalam daripada pribadi manapun. Dia telah membuka hati saya untuk menceritakan rahasia-rahasia paling dalam yang pernah disimpan dan dia bisa menerima itu semua. Saya sudah terlalu jauh melakukan kesalahan pada tahun-tahun belakangan. I’m just that broken. Jauh dalam hati, saya menyimpan kekhawatiran dan ketakutan pada apa yang saya perbuat dahulu. Sangat takut hingga menyimpannya dari pasangan adalah cara yang paling benar menurut saya. Tapi apa yang saya lakukan itu tidak benar. Pasangan adalah pribadi yang seharusnya paling tahu dan menerima apa adanya. Tempat selain Maha Kuasa untuk menumpahkan segala pikiran, rasa takut, kekhawatiran dan masalah. Itulah definisi yang paling benar. Saya, entah sejak kapan, selalu terbiasa melakukan segala sesuatunya secara benar dan sempurna. Begitupun dengan hubungan pribadi. Saya tidak mau dan tidak nyaman dengan rahasia yang harus dipendam ketika berhubungan dengan pasangan. Itulah yang membuat saya merasa tidak ada jalan lain selain kembali pada mantan, selain karena saya memang mencintai dia dengan sepenuh hati. Bahkan pada malam-malam sebelumnya ketika ketidaknyamanan itu memuncak, saya memohon pada Maha Membolak-balikkan Hati untuk menentukan siapa pasangan yang dapat terbaik bagi saya. Tahapan itu saya lakukan karena saya tidak berniat berlama-lama dengan hubungan yang hanya sekedar pacaran atau sejenisnya. Saya sudah mapan dan siap secara mental untuk meniti bahtera penikahan maka Istikharah adalah adalah alat yang tepat untuk memutuskan pilihan. Saat itu, saya tidak mendapatkan jawaban. Tidak ada dari keduanya yang membuat saya menetapkan hati. Tetapi kecenderungan pada mantan dan ketidaknyamanan dengan ketertutupan dengan pasangan membuat saya mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kami. Tidak lama, saya pun coba mendekat pada mantan yang telah memberikan janjinya untuk tetap menunggu saya. Komunikasi kami tidak lancar karena sifat keras kepala kami. Hingga tidak lama dari proses pendekatan kembali tersebut, mantan secara tidak langsung menyatakan dia tidak bisa bersama saya pada saat ini. Inilah klimaksnya. Titik kulminasi dimana seluruh katak yang saya telah sebutkan di awal tulisan ini menunjukkan bentuknya. Saya terdiam. Hanya alunan music di headphone yang ada ketika sms tentang keputusan mantan saya baca. Bohong jika saya tidak kecewa. Ada kemarahan yang luar biasa muncul. Konstanta tidak pasti bernama kepercayaan pada pasangan kembali muncul dan kini saya sangat menyesal mengapa saya tidak membuang konstanta tidak stabil itu sejak lama. Janji-janji dan harapan lainnya yang diucapkan mantan setelah itu sudah tidak saya perdulikan lagi. Entah berapa puluh kali saya mendengar dan mengamini harapannya. Bukan, saya tidak marah pada ikut andilnya harapan darinya terhadap keputusan saya dalam mengakhiri hubungan dengan pasangan. Itu sikap sadar saya untuk tidak mengecewakan wanita terhormat itu. Dia berhak atas pria yang lebih baik dari saya, lebih stabil dari saya dan pastinya pria yang bisa membuka hati bagi keramahan dan kasih sayangnya. Saya murni kecewa pada mantan dengan janji kosongnya dan lebih marah lagi pada diri ini yang masih menghamba pada kenyataan yang sebenarnya sudah saya prediksi kejadiannya. Tapi ditengah kemarahan dan kekecewaan itu, saya menemukan momentum untuk memakan katak paling buruk dalam hidup saya itu. Ya, saya melupakannya, memutus semua hubungan dengannya, bahkan untuk sebuah pertemuan terakhir dan paling penting ialah melupakan harapan untuk hidup bersamanya. Dia tidak berhak ada dalam pikiran ataupun rencana masa depan saya. Bahkan untuk sekedar teman. Dia berhak untuk semua itu. Inilah arti dari Istikharah yang tidak ada jawabannya tersebut. Kedua wanita itu bukan jodoh saya dan Maha Mengetahui telah menunjukkan dalam bentuk sejelas-jelasnya. Kini setelah semua amarah dan kekecewaan mereda dan hilang dengan sendirinya, saya mengambil keputusan untuk melupakan sejenak masalah hubungan percintaan. Saya tidak mau ada wanita lainnya yang harus kecewa pada ketertutupan dan ketidakpercayaan seperti pasangan sebelumnya. Juga tidak ada lagi wanita yang jika pada akhirnya mampu membuka hati ini hanya untuk mengatakan bahwa dia tidak siap menjalani kehidupan rumah tangga seperti mantan. Saat ini masih banyak tanggung jawab dan tugas yang bisa membuat saya nyaman dengan kesendirian. Entah sampai kapan. Satu hal yang saya pelajari dari pengalaman dalam hubungan percintaan. Saya selalu berusaha melupakan pasangan atau mantan dengan berjanji untuk tidak membuka hati karena kekecewaan yang terlalu dalam dan cara itu tidak pernah berhasil. Saya harus melepaskan semuanya. Marah, kecewa, benci dan ketidakpercayaan dan menerimanya sebagai suatu pembelajaran. Saya harus kembali pada nilai-nilai yang sudah lama saya lupakan, mempercayai kembali hubungan antara dua manusia yang saling mencintai. Hubungan yang berarti keterbukaan, kasih sayang, dan kejujuran. Itulah katak terburuk saya saat ini. Kembali percaya pada hubungan percintaan. Katak yang akan selalu saya kejar dan berusaha makan apapun konsekuensinya. Saya akan percaya dan harus bisa percaya bahwa terlepas dari tidak menentunya konstanta bernama hubungan percintaan dalam formula kehidupan, itulah konstanta terpenting untuk menjalani hari-hari terbaik dan tersempurna di masa depan. Saya percaya, dan saya akan memakan katak itu. Mungkin bukan sekarang tapi suatu saat saya akan berhasil.

Dan itulah kontemplasi tahun 2011. Banyak hal yang terjadi. Kesuksesan, kegagalan, kekecewaan, kegembiraan, dan semua pada akhirnya memberikan hikmat yang akan menjadi lampu penunjuk pada langkah selanjutnya. Satu hal yang menjadi kebanggaan ialah bahwa saya tidak pernah membiarkan kehidupan dalam kondisi stagnansi dan kenyamanan. Selalu ada jalan terjal dan tangga panjang yang harus didaki. Selalu ada permasalahan dan keadaan tidak nyaman yang saya dengan sadar pilih walau pada saat yang sama ada jalan yang lebih mudah. Alasannya sederhana saja. Itulah cara Tuhan mendidik ciptaannya, melalui cobaan, ujian, dan kesulitan. Saya teringat perkataan owner sekaligus panutan di perusahaan kami. Dia mengutip kata-kata yang dikenalkan lebih luas oleh Joker di film Dark Knight. Kata-kata yang juga tertera di dinding kamar. Dia menasehati saya, yang saat itu sedang patah arang karena kurang perform di klien. “Tidak masalah kamu gagal hari ini. Pegang nadi tangan kamu, sekarang. Masih ada gerakan disana? Berarti kamu masih hidup. Dan yakinlah satu hal, what ever doesn’t kill you, simply make you stronger”. Malam ini saya pegang lagi nadi tangan, masih ada nada kehidupan disana. Ya, saya  telah menjadi lebih kuat.

Onward,

Iqbal Fajar