Gift and Prison

Posted: Selasa, 20 Desember 2011 by Iqbal Fajar in
0

Saya hanya tersenyum ketika salah seorang rekan kerja meminta bantuan untuk berbicara dengan klien tadi siang. “Lo kan lebih jago ngomong daripada gw” begitu katanya. Dan hanya senyum yang muncul. Begitupun ketika rekan kerja yang lain meminta untuk membujuk salah satu rekan yang akan mengajukan pengunduran diri. Atau ketika atasan memuji kemampuan mendekati klien yang terkenal bawel. Kali lain klien kembali memuji kemampuan berbicara di depan forum, walau saya baru terhitung baru di pekerjaan ini. Saya hanya tersenyum. Ya, hanya itu yang saya butuhkan saat ini. Jika itu kejadiannya 1 atau 2 tahun yang lalu, hidung ini akan kembang kempis sembari perasaan melayang karena gembira. Tapi tidak sekarang. Cukup senyum yang menjadi balasan.

Mereka bilang ini keturunan dari Papa. Beliau memang piawai dalam urusan satu ini. Berbicara, berdialog, mengambil hati orang lain, berdiplomasi dan apapun itu namanya. Kelebihan yang turun juga pada adik kedua. Dengan berbekal kemampuan berkomunikasi itu, dia bisa menjadi Nong Banten, ajang serupa yang disebut Abang None di Jakarta. Kemampuan diplomasi juga yang salah satunya membawa dia sebagai HRD di Maskapai Nasional negara ini. Anugrah itu saya mulai sadari di acara arisan keluarga beberapa tahun yang lampau. Ketika itu ada seorang saudara yang mengatakan saya sudah tampak seperti Papa yang jago berbicara. Sejak itulah rasanya saya mulai serius dalam menggunakan kemampuan ini.

Dengan berbicara dan merangkai kata-kata, saya sudah mencapai banyak kesuksesan. Bakat itu mulai diasah ketika SMU. Berbekal kata-kata bahwa saya pernah mengikuti klub bulu tangkis di SMP, Ketua OSIS kala itu mengangkat sebagai Ketua Klub Bulutangkis di tahun pertama saya sekolah. Atau ketika saya berkenalan dan dekat dengan salah satu pemain basket di lapangan olahraga kampus. Si pemain basket itu ternyata kakak kelas di jurusan. Perkenalan yang mengantarkan pada keakaraban dan jaminan tidak disentuh oleh senior selama ospek kampus. Dan lagi-lagi kemampuan berbicara pula yang membuat saya berhasil mengkoordinir beberapa teman di angkatan untuk ikut serta dalam lomba karya ilmiah nasional. Lomba yang mengantarkan kami pada medali perak dan memulai gelombang serupa di masa mendatang. Bakat yang terus diasah itu tetap memberikan berkahnya ketika memasuki dunia professional. Sebut saja promosi di 6 bulan pertama kerja hasil dari ikut meeting merger awal dengan bos. Ketika ditanya apakah masih ada kesempatan disalah satu klien kami, saya dengan diplomatis menjawab bahwa tentu saja masih ada. Mereka puas dengan hasil pekerjaan kita. Dan itulah yang dijadikan oleh atasan sebagai pembenaran pengangkatan saya sebagai Account Executive bagi klien tersebut. Langkah baru untuk menjalani bidang yang membuat saya tersesat cukup lama, marketing.

Bakat berbicara itupun berkembang menjadi kemampuan presentasi dan menggaet hati klien. Di awal mula meniti karier sebagai marketing, saya bertemu dengan klien yang sudah senior dan seperti kebanyakan senior, mereka merasa anak baru lulus seperti saya ini tidak bisa apa-apa. Pendapat yang saya patahkan tepat di depan klien dan atasannya. Mereka yang awalnya meremehkan terpaksa menarik kata-kata dan meminta bantuan saya untuk persiapan presentasi di salah satu ajang internasional. Event yang mereka hadiri dengan presentasi dan materi anak baru kemarin sore yang mereka pandang sebelah mata. Kemampuan berbicara pun kembali memberikan manfaat bagi saya. Dengan berbekal insting marketing dan kemampuan berbicara, saya bisa tinggal di salah satu apartemen bergengsi di Ibukota selama setahun. Gratis. Bakat itu yang lagi-lagi membawa pada pencapaian yang sampai saat ini tetap saya ingat sebagai kenangan manis. Sukses membawa project yang bisa dikatakan menyelamatkan SBU kami walau hanya segelintir orang yang tahu peranan saya dalam project itu. Dan itulah saat ketika saya meninggalkan perusahaan yang sudah membawa hingga tahapan ini.

Ketika bekerja ditempat baru pun, saya akhirnya bergelut dengan dunia marketing dan sales. Walau harus diakui, pencapaian saya tidak bisa terlalu dibanggakan dalam pekerjaan ini, tapi saya berhasil menjadi salah satu wakil perusahaan yang pergi ke kantor pusat supplier di luar negeri. Itulah kali pertama saya menyentuh tanah di luar negeri tercinta ini. Bahkan hingga kini, saya masih merasakan beberapa keuntungan dari kemampuan berbicara ini. Kemampuan yang membuat beberapa orang disekitar terpana, kagum, takjub dan memuji.

Tapi semua tidak selalu terlihat seperti apa adanya. Bakat itu sebenarnya hal yang saat ini paling ingin saya hilangkan. They call it a gift, while I call it prison.

Why a prison? It called a prison because I couldn’t run from it even I try as hard as I could. Tidak semua hal baik datang dengan kemampuan berbicara itu. Itu saya sadari ketika kata-kata diplomasi dibalikkan tepat didepan muka dan dilakukan di depan banyak orang. Saya dipermalukan dan diteriaki oleh penonton dari salah satu kubu yang marah karena jadwal pertandingan tidak sesuai akibat adanya beberapa masalah teknis. Saya yang kehabisan kata-kata hanya bisa menunduk diam dan meminta maaf. Teriakan, kemarahan, ejekan dan umpatan dilontarkan dengan ganas malam itu. Sejak itu saya sadar ucapan orang tua “mulutmu adalah harimaumu” adalah nyata. Seharusnya saya sadar betapa berbahayanya bakat ini jika disalahgunakan, tetapi ego dan kebanggaan yang tinggi menolak itu semua. Saya yakin bahwa malam itu hanya karena ketidakmatangan saya dalam mempersiapkan acara serta ketidakmampuan saya berdiplomasi. Mulai saat itulah saya berusaha berdiplomasi dengan kata-kata. Diplomasi yang baik akan mengubah kenyataan yang buruk menjadi sedikit lebih baik atau bahkan merubah kesalahan menjadi kebenaran. Itulah prinsip yang saya pegang.

Maka mulailah diplomasi mengantarkan saya pada kesuksesan yang telah di sebutkan tadi. Terlepas dari itu, kebanggaan saya pada diri sendiri serta kekerasan hati yang tidak mau kalah dari orang lain membuat diplomasi menjadi senjata utama. Ketika berdebat dengan mantan, saya menggunakan diplomasi dan logika terbalik untuk menghindar dari kesalahan atau ketika kepergok selingkuh maka kemampuan membujuk dan meyakinkan, saya gunakan untuk menutupi jumlah selingkuhan lainnya. Bahkan ketika saya berusaha memutuskan mantan karena saya sudah bosan, lagi-lagi diskusi berhasil dimenangkan dengan sederet pembenaran atas kebohongan. Rentetan pemutarbalikkan fakta dengan diplomasi juga berkembang ketika bekerja. Pada beberapa kasus, saya menyalahkan pihak lain atas kelalaian dan ketidakmampuan. Saya berkeras bahwa semua kesalahan adalah karena mereka dan saya hanya berusaha membantu menyadarkan kesalahan itu.

Tapi bau busuk akan tetap tercium. Dan orang yang pertama kali menciumnya, jika dia sadar, ialah si penyebab busuk itu sendiri. Pada suatu titik saya sadar bahwa masalah bukan di mereka, tapi pribadi saya sendiri. Mantan tidak akan meminta begitu banyak jika saya tidak memberikan janji. Dia juga tidak akan marah sedemikian rupa jika tidak ada mimpi yang membuaikan. Klien tidak akan menjauh ketika produk sesuai dengan spesifikasi. Atasan tidak akan berpandangan buruk jika komitmen awal perjanjian berhasil dipenuhi. Ya, setelah beberapa kejadian berputarnya roda, saya sadar bahwa berbicara manis  bukanlah solusi untuk masalah atau kesalahan yang sudah diperbuat. Menghadapinya dengan berani dan bertanggung jawab adalah solusi satu-satunya.

Sayangnya semua terlambat. Saya sudah terbiasa dengan kemampuan ini. Bakat ini tidak bisa hilang. Kelebihan ini sudah menjadi penjara yang mengikat. Ketika bertemu dengan konflik, saya otomatis berbicara dengan diplomatis dan menghaluskan kenyataan. Saat ada kesalahan, saya tanpa disadari berusaha mengalihkan beban pada pihak lain. Bakat ini tanpa saya sadari sudah menjadi karakter. Darah daging dan kebutuhan. Bahkan dalam tulisan di blog atau pun kata-kata, saya tanpa sadar menuliskan sesuatu yang mungkin bukan kejadian sebenarnya, menyembunyikan kenyataan atau perasaan, berpendapat sesuai image yang baik dan sekali lagi berdiplomasi demi tampilan yang menawan.

Dan inilah saya. Bahkan ditempat yang paling tidak banyak orang tahu ini, saya beberapa kali masih menuliskan sesuatu tidak sesuai kenyataan dan pikiran. Padahal tag blog ini jelas-jelas mengatakan “The Truth”. Saya kehilangan kemampuan berpendapat, berkekspresi, menuangkan pikiran dan berbicara dengan lantang tentang perasaan yang sebenarnya. Saya terlalu takut pada pandangan orang dan kenyataan. Itulah mengapa rasanya saya lebih mencintai puisi dibandingkan tulisan popular. Sederhana saja, saya bisa bebas berekspresi menggunakan imaji tanpa takut orang akan sadar maksud utamanya.

Dari sanalah bermula ketakutan pada diplomasi, pudarnya kebanggaan dan hilangnya kepercayaan. Saat ini saya bisa dikatakan menghindar untuk menjalani semua bentuk hubungan intens dengan manusia, khususnya persahabatan dan percintaan. Saya terlalu takut menyakiti dan mengecewakan mereka semua dengan kata-kata saya. Hubungan dengan beberapa wanita hancur karena kebodohan dan kekeraskepalaan saya. Wanita pertama saya hancurkan kepercayaannya, wanita kedua saya buat tidak percaya pada hubungan untuk sekian lama, wanita ketiga saya luluhlantakkan mimpinya, wanita keempat saya putarbalikkan fakta dan kebenarannya, wanita kelima saya permalukan di keluarganya, serta wanita yang dulu cinta pertama saya dan saat ini menjadi pasangan tampaknya juga akan mengalami hal yang sama. Saya tidak bisa percaya padanya, bahkan untuk beberapa hal mendasar seperti bekerja hingga larut malam. Padahal saya mencintainya sejak dulu dan setelah puluhan tahun kami bisa bersama dan inilah yang saya lakukan padanya..

Wanita keenam adalah yang mungkin paling saya sesali kehilangannya hingga saat ini. Dialah wanita yang saya pernah sebut sebagai pasangan hidup, wanita pertama yang membuka harapan dan hingga wanita yang saat ini saya tetap berharap kami bisa bersatu. Wanita yang telah mengajarkan saya pada keberanian mengakui kebenaran. Wanita yang tahu diri saya jauh lebih banyak dan jauh lebih dalam dari pribadi manapun yang pernah hadir dalam kehidupan ini. Wanita yang membuka pintu hati saya, mengukung kata-kata, membebaskan dari ketakutan akan bakat berbicara sekaligus menghancurkan semua kepercayaan pada hubungan dan kehidupan bersama dua manusia. Ya, dia yang membuka kunci penjara itu dan disaat bersamaan mengunci saya dalam penjara lainnya bernama kesendirian total.

Kini setelah semua masa itu, saya kira bisa keluar dari penjara bernama kemampuan diplomasi dan berbicara. Saya kini bekerja pada bidang konsultasi dimana kemampuan analisis dan bekerja professional menjadi satu-satunya cara untuk dihargai dan dipandang oleh orang lain. Pekerjaan yang saya idamkan dari dahulu. Tempat dimana saya lebih bergantung pada apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan. Perlahan, saya mulai kembali pada pribadi yang dulu hilang. Sosok manusia yang mengandalkan logika, kompetensi, tanggung jawab dan komitmen sebagai senjata utamanya, bukan lagi seorang marketing amatir yang percaya kata-kata dapat menyelesaikan permasalahan dunia. Kini, yang bisa saya lakukan hanyalah tersenyum pada pujian tentang bakat berbicara, berusaha lebih baik agar kesalahan tidak terjadi dengan bekerja dan menjadi pribadi yang lebih bisa diandalkan, menata diri untuk bisa mengendalikan kemampuan ini dan menerima kesalahan yang lalu sebagai pelajaran untuk pencapaian yang lebih baik. Tapi saya sadar dengan sepenuhnya, penjara itu tidak akan pernah berhenti mengurung dan mengikat selamanya. Karena saat ini keadaannya berbeda. Kunci penjara itu bukan milik saya, tapi ada padanya.        

Utopia

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Kalian tahu arti kata yang digunakan untuk judul tulisan ini? saya mengetahuinya ketika umur 9 tahun, dari sebuah komik bernama Dragon Quest. Kata itu mucul berkali-kali dalam komik-komik lainnya yang tetap saya baca sejak kecil hingga hari ini. Awalnya tidak bermakna apa-apa, hanya sebuah kata yang cukup membuat saya penasaran dan membuka kamus bahasa di perpustakaan sekolah. Kita akan kembali pada kata itu nanti. Perkenankan saya bercerita sedikit tentang hobi yang menurut beberapa orang sangat berguna.

Saya suka membaca, sedari dulu. Terutama komik jepang. Orang tua yang mengenalkan komik sebagai alat agar anaknya ini gemar membaca. Dan sukses besar. Komik pertama saya ialah Doraemon. Legend manga of all time by Fujiko F Fujio. Bercerita tentang seorang anak kelas 4 SD bernama Nobita dengan robot kucing masa depan bernama Doraemon yang dikirimkan oleh cucunya di masa depan, Sewashi, agar kakeknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Simple story, really fit with young child full of imagination like me. Doraemon dengan kantung ajaib dan sederet alat masa depan yang membuat anak kecil normal berharap meja belajarnya punya laci yang berisi mesin waktu. Sebut saja alat ajaib Doraemon. Pintu kemana saja, baling-baling bamboo, senter pembesar, pinsil otomatis untuk mengerjakan PR, bubuk penghilang, celana tarzan dan alat aneh dan mengagumkan lainnya.

Dari Doraemon, kecintaan saya terhadap komik pun bertambah. Menggila jika bisa dikatakan. Mama bahkan menyempatkan berburu komik ke pasar tanah abang dan senen untuk memuaskan kebutuhan membaca saya. Komik seperti Dragon Ball, Kungfu Boy, Hattori, Astro Boy, bahkan hingga komik cewek seperti Candy Candy menjadi keseharian saya. Tak puas dengan itu, saya pergi ke Toko Buku seperti Gramedia dan Gunung Agung sekedar untuk membaca komik. FYI, took buku tersebut ada di Mall yang untuk pergi kesana anak kelas 4 SD lainnya biasanya akan datang dengan orang tua. Tapi tidak dengan saya. Dengan berbekal uang 1000 rupiah hasil menahan jajan selama 5 hari sekolah. Uang yang hanya cukup untuk ongkos pulang balik. Saya menghabiskan satu hari minggu hanya demi membaca komik sambil berdiri. Satu hari artinya dimulai dari toko buka jam 10 pagi hingga tutup jam 7 malam. Bayangkan anak kecil dengan kaus dan celana pendek, naik angkot, berdiri dengan mata berbinar melihat kumpulan komik sembari menahan lapar dan haus hanya demi membaca serangkaian komik Dragon Ball. Yeaahh, I’m that freak . Setelah saya SMP dan SMU pun kebiasaan itu tidak berubah. Sekolah asrama yang saya jalani selama 6 tahun dengan peraturan ketat tidak menyurutkan kecintaan pada komik. Sering saya kabur dari asrama hanya untuk terbenam di surga komik. Bedanya kini bukan lagi Toko Buku tapi tempat penyewaan komik. Beberapa kali saya dihukum karena ketahuan kabur, tapi apa yang bisa menghentikan passion seseorang? Tidak ada rasanya.

Secinta-cintanya saya pada komik, ada beberapa komik yang saya tidak begitu suka. Komik amerika dan korea adalah jenis komik yang saya jauhi. Komik jepang adalah yang terbaik. Baru ketika SMU , saya tahu istilah untuk jenis komik itu. Manga (selanjutnya komik jepang akan disebut manga). Ada hal yang menarik tentang manga. Ternyata, manga pun ada berbagai jenis dan dari manga itu yang paling saya suka ialah manga dengan genre petualangan, heroic dan battle manga. Doraemon dan Dragon Ball adalah dua manga yang termasuk dalam genre tersebut. Ciri-ciri manga itu adalah jagoan, kegembiraan, perjuangan. Keistimewaan lainnya adalah hubungan personal antara beberapa pemerannya yang digambarkan sangat detil. Manga yang saya baca ketika SMU kebanyakan bercerita tentang bagaimana beberapa orang sahabat yang berjuang untuk menjadi terbaik dalam bidangnya. Bahkan beberapa dikemas dalam kerumitan dan kompleksitas cara alur cerita.

Secara tidak langsung, manga telah mempengaruhi cara berfikir dan kepribadian. Dari Doraemon, saya belajar tentang Nobita yang lemah dan tidak bisa apa-apa, malas sekaligus bodoh. Tapi Nobita pada beberapa kesempatan bisa menjadi yang terbaik karena kepolosan dan kemurnian perasaannya. Nobita juga beberapa kali diceritakan sebagai anak yang tidak pantang menyerah walau sudah tertekan dan pada akhirnya sukses dan berhasil. Disanalah saya belajar tentang keteguhan hati sekaligus kepolosan memandang kehidupan. Ketika SMP saya membaca Detective Conan yang bisa memecahkan permasalahan dengan ketelitian. Disanalah saya mengenal pentingnya attention to detail and multiple point of view. Alur cerita Detective Conan yang rumit juga mempengaruhi saya pada cara berfikir terhadap permasalahn yang kadang mudah tapi dipersulit demi membuatnya menarik. Manga juga yang mengajarkan pada saya arti persahabatan dan pasangan yang bisa mengerti keadaan orang terdekatnya hanya dengan beberapa kata atau perbuatan. Manga yang saya baca di SMU dan kuliah memberikan pelajaran lebih banyak, bahwa semua harus didapatkan dengan perjuangan dan kerja keras. Shoot dan Slam Dunk adalah beberapa manga yang mempengaruhi saya. There’s no such thing called free lunch. I believe on that since young.
Kesamaan semua manga tersebut ialah semuanya akan berakhir dengan happy ending. Jagoan yang berjuang dari dasar, berusaha keras, kecewa beberapa kali dan akhirnya menang. Tidak lupa heroine (pemeran wanita) yang menjadi pasangan sang jagoan. Alur cerita ini ribuan kali menghampiri. Pada akhirnya, semua sama. Utopia. Dunia yang sempurna. Dan itulah cara saya memandang dunia dan segenap permasalahannya. Bahwa sekarang ada kekecewaan, kekalahan, kegagalan, kejahatan, ketidaksesuaian, tidak masalah karena pada akhirnya akan ada utopia bagi jagoan bersama sahabat dan orang tercintanya.

Dan itulah yang selalu saya amini hingga kini. Ketika diremehkan oleh teman-teman karena fisik yang lemah, saya berusaha menjadi yang terbaik dengan berlatih lari lebih banyak dari yang lainnya. Ketika nilai Bahasa Inggris jeblok, saya belajar mati-matian dan menyelesaikannya dengan menjadi salah satu peraih nilai tertinggi di UAN. Saat partner kerja meremehkan kompetensi, saya berjuang untuk menjadi salah satu konsultan dan marketing terbaik. Inilah utopia saya. Dunia manga yang penuh dengan perjuangan, kekecewaan, kekalahan dan pada akhirnya muncul dengan kemenangan. Saya secara sadar menjalani kehidupan bahwa akan ada kegembiraan diakhir perjuangan, tinggal sejauh mana ketekunan, kerja keras dan kesabaran akan bertahan.
Kini setelah sekian puluh tahun berjalan, saya masih terbenam dalam utopia manga tersebut. Bisa dikatakan, manga memberikan saya pelajaran lebih banyak dari apapun di dunia ini karena pada akhirnya, apa yang saya kerjakan, lakukan dan dapatkan adalah hasil pembentukan karakter dari ribuan manga dengan utopianya.

Nyanyian Subuh

Posted: Jumat, 16 Desember 2011 by Iqbal Fajar in
0

Rokok itu tersesap
Teman kami subuh itu
Ya, masih terjaga kami disini
Teman kita yang tersenyum sunyi
Hanya nada biola acak yang bernyanyi

Ini subuh entah keberapa kami terjaga
Si insomnia belum puas bercanda
Tak apa, kami tetap ada kawan
Karena sejatinya kita memang sahabat

Ah, sudah berkumandang sang tanda
Sudah tiba waktu tampaknya
Tapi kami masih ingin bercumbu !
Belum puas kami merengkuhmu

Fajar, jangan kau terbit dulu
Masih rindu kami pada Jakarta malam itu

Between What You Think and What You Do

Posted: by Iqbal Fajar in
1

And here I am folks, drunk with two bottle San Miguel nearby. Ini malam entah keberapa saya di meja yang sama. Dengan perasaan yang juga tidak jauh berbeda. Galau, kalau kata mereka. Penyebabnya juga masih sama, mantan yang masih saja menghantui pikiran. Ya, dia yang pernah bersama saya beberapa waktu belakangan. Dia yang menduakan, dia yang menolak untuk terbuka, dia yang dengan kata-kata “hunnie” nya, dia yang menolak untuk menjalani hubungan yang lebih serius demi perbaikan diri. Ya, dia yang beberapa waktu lalu saya sebut pasangan hidup dan ternyata membuang itu semua entah demi pikiran apa. Kami sama-sama keras hati dan egois. Kami yang tidak mau berusaha lebih jauh untuk mempertahankan apa yang kami percayai bisa dapatkan. Kami yang terlalu berpegang pada pendirian bodoh bernama harga diri.

Sayangnya kami, kita, kini sudah tidak ada lagi. Hanya ada saya dan dia. Saya dengan gila kerja dan bahagia, serta dia dengan kehidupannya yang menurutnya bisa lebih baik tanpa saya. Tapi saya dan dia memang sama. Aktor ulung dengan kemampuan menggunakan topeng bahagia. Saya dan dia yang bisa terlihat menjalani hidup dengan baik-baik saja. Dan kita memang expert dalam bidangnya. Tapi topeng tetap lah topeng. Tiada yang benar disana. Saya dan dia tetap berharap akan adanya keajaiban yang menyatukan kami menjadi kita kembali.

Itulah saya dan dia, dua manusia yang berharap menjadi kami, kita. Tapi itulah yang saya dan dia lakukan. Sebatas berharap. Ketika dia datang menawarkan proposal kita, saya dengan topeng baik-baik saja menolaknya. Begitupun dia yang merasa hanya cukup dengan sms dan YM belaka. Jika benar dia mencinta dan butuh, mengapa hanya datang dengan sms dan YM? Kenapa dia diam ketika saya datang tepat dimukanya dengan proposal untuk melangkah ke tingkat selanjutnya? Kenapa jika dia khilaf saat itu, hanya sms dan YM yang diajukannya? Mana perjuangannya untuk mendapatkan saya? Hanya sepenting itukah kita bagi dia? Sebatas sms dan YM lalu berharap semua terjadi dengan begitu saja seakan tidak ada apa-apa? Lalu kenapa dia tetap datang menawarkan perasaan dan harapan untuk kembali bersatunya kita?

Pun begitu dengan saya. Ketika dia menolak ajakan terakhir itu, saya memilih untuk melupakannya dan membuang jauh-jauh tentang dia. Bahkan berjanji untuk melupakannya selama sisa hidup. Lebih dari itu, saya berusaha melangkah maju dengan berkomitmen dengan orang lain. Dan lihatlah saya sekarang? Kembali berusaha percaya dan meninggalkan semua sumpah serapah yang dulu terucap. Berharap dia kembali di malam dan mimpi. Bolak balik mengaktivasi account FB demi melihat bagaimana kabarnya. Berharap dia melakukan hal lebih dari sekedar sms dan YM. Seburuk inikah pendirian untuk tetap menjauhkan dia dari kehidupan saya? Apakah saya memang sudah tidak bisa membuka hati lagi selain untuk dirinya?

Dan pada akhirnya semua pertanyaan itu tidak akan pernah bisa terjawab. Karena itulah sebatas yang saya dan dia lakukan. Berharap dan sms. Itulah memang harga saya dan dia di masing-masing pihak. Dia bagi saya hanya seseorang yang penting untuk diingat dan diharapkan, dan saya baginya hanya cukup dihadapi dengan sms dan YM. Dan inilah yang saya akan kerap kali lakukan. Bermimpi dan teringat padanya, pada tahapan tertentu maka berakhir dengan menulis tulisan bodoh sembari mabuk. Sementara dia akan tetap dengan sms dan YM nya yang kerap kali berkata tidak akan menghubungi lagi dan mungkin akan tetap mengingat saya sebagai kekasih sejatinya yang kelak, entah kapan, akan bersatu lagi dengannya. Mungkin akan benar adanya, mungkin juga tidak. Tidak ada yang tahu perasaan manusia. Saya mungkin akan bisa menjadi terbuka dan melangkah maju, dia mungkin akan menemukan pria lain yang menjadi pengganti posisi kekasih sejati dihatinya. Atau saya akan tetap dengan tidak bisa membuka hati dan menjalani hidup bodoh mempercepat kematian atau dia yang tetap berharap pada bersatunya kita walau entah kapan terjadi itu semua.

Satu hal yang pasti, saya dan dia akan tetap seperti ini selama kita adalah sebuah pikiran dan harapan. Result come from what you do, not what you think. As simple as it is…

Farewell

Posted: Selasa, 27 September 2011 by Iqbal Fajar in
0

This blog is temporarily shut down. Thanks to make me remember that what ever doesn't kill you simply make you stranger.

Habis Manis Sepah Dibuang

Posted: Rabu, 21 September 2011 by Iqbal Fajar in
0

“Habis manis, sepah dibuang,” betapa pandainya para sepuh kita membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai sudah tidak berguna lagi disisihkan begitu saja. Kadang kita marah, kalau diperlakukan seperti sepah. Padahal, kita juga akan membuang sepah itu jika sudah tidak ada lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa korbannya saja. Kita tidak suka jadi korban, itu saja. Bukankah kita juga tidak ingin menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar adalah yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika kita sudah menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus menikmati rasa manis yang sudah tidak kita miliki lagi. Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih?

Meski bukan daerah penghasil gula, namun di rumah masa kecil saya terdapat rumpun-rumpun pohon tebu. Kami menggunakan parang untuk memotong batangnya, lalu mengupas kulitnya. Kemudian memotong batang tebu itu menjadi seukuran jari-jari telunjuk. Setelah itu? Kami mengungahnya. Rasa manis memenuhi mulut kami. Lalu tiba saatnya dimana kunyahan itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Di mulut kami sekarang hanya tertinggal ampas. Kami meludahkan ampas itu ke tanah. Benda tak berdaya diatas tanah itulah yang kita sebut sebagai sepah. Habis manis, sepah dibuang. Memangnya harus diapakan lagi sepah itu jika tidak dibuang? Kita sering menggambarkan hidup yang sudah tidak berguna sebagai sepah. Kita sadar jika sudah tidak berguna, tetapi masih ngotot untuk tidak dibuang. Itu mengindikasikan bahwa ini adalah saatnya untuk mengubah paradigma tentang hidup. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memperbaiki paradigma hidup itu; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Jadilah pemanis kehidupan.

Disekitar kita begitu banyak orang yang suka minum kopi. Tetapi, saya hampir tidak pernah mengenal orang yang minum kopi tanpa gula. Bahkan sekalipun kita menyebutnya ‘kopi pahit’, ternyata ya menggunakan gula juga. Mengapa gula selalu ada dalam setiap cangkir kopi yang disajikan? Karena gula membuat rasa pahit pada kopi terasa menjadi manis. Anda yang mengetahui rasa asli kopi tentu tahu jika sebenarnya kopi itu mirip arang. Karbon yang tersisa dari benda hangus. Makanya rasanya tidak benar-benar enak. Tetapi, ketika kedalam seduhan kopi pahit itu kita bubuhkan gula; tiba-tiba saja kita menikmatinya. Bahkan menjadikannya sebagai minuman favorit. Bayangkan jika kita bisa membuat rasa pahit kehidupan menjadi terasa manis. Tentunya kita tidak akan lagi harus disiksa oleh rasa pahit itu. Bahkan boleh jadi, kita menjadi penikmat rasa pahit itu. Kita bisa menari dalam deraan tantangan dan rintangan. Kita masih bisa tersenyum ditengah terpaan angin cobaan. Dan kita masih bisa bersyukur meski tengah berada dalam pahit getirnya cobaan hidup. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mampu memaniskan kehidupan.

2. Jadilah pribadi yang manis, maka pasti selalu dikerubuti.

Ditempat tidur saya tiba-tiba saja banyak sekali semut. Setelah diperiksa, ternyata ada sisa-sisa gula dari kue kering yang kami makan bersama anak-anak. Ternyata benar; ada gula, ada semut. Para semut tidak lagi memperdulikan lokasi dan situasi. Dimana ada gula, kesitulah mereka berbondong beriringan. Ini tidak hanya benar bagi para semut. Coba saja perhatikan orang-orang yang bisa memberi manfaat bagi lingkungannya. Para dermawan, selalu dikerubungi oleh para pengikut setianya. Para alim ulama dan orang-orang berilmu, selalu menjadi rujukan para pencari pencerahan. Siapapun yang bisa memberi manfaat kepada orang lain, bisa dipastikan selalu dibutuhkan oleh mereka. Kita? Sesekali orang lain itu mbok ya membutuhkan kita gitu loh. Tapi mengapa yang terjadi malah sebaliknya ya? Mereka malah mengira seolah kita ini tidak ada. Sekalipun kita sudah menyodor-nyodorkan wajah kita. Tetap saja masih tidak mereka lihat. Sudah beriklan, bahkan. Tapi juga tidak ditanggapi. Barangkali, karena kita belum bisa menjadi pribadi yang manis bagi mereka. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk mengerubuti segala sesuatu yang terasa manis.

3. Tetaplah manis, maka sepahmu tidak pernah dibuang.

Mari berhenti untuk marah atau kecewa jika orang lain membuang kita karena mereka menilai kita sudah menjadi sepah. Mereka tidak salah. Kitalah yang harus berpikir bagaimana caranya supaya tidak menjadi sepah. Sebab jika kita masih tetap memiliki rasa manis itu, mereka tidak akan membuang kita, percayalah. Saya mengenal seorang eksekutif senior yang mumpuni. Setelah memasuki masa pensiun dari jabatanya yang tinggi, saya pikir beliau akan menjadi seperti ‘tebu-tebu’ yang lainnya. Ternyata saya keliru. Perusahaan kemudian memperpanjang masa kerjanya dengan system kontrak. Lalu beliau berpindah ke perusahaan lain. Lalu beliau ditarik lagi oleh perusahaan lainnya. Bagi saya, beliau inilah salah satu living legend mereka yang tidak pernah membiarkan dirinya ‘kehilangan rasa manis’. Meski usianya sudah jauh melampaui masa pensiun, beliau tetap manis. Rasa manis yang masih tetap lestari didalam dirinya itulah yang menjadikan beliau tetap menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar. Jadi jika kita tidak ingin menjadi sepah yang dibuang, maka kita harus memastikan bahwa kita tetap menjadi pribadi yang manis.

4. Nikmatilah rasa manis secukupnya, tidak berlebihan.

Sekarang, cobalah ambil sesendok gula terbaik yang Anda miliki. Lalu suapkan sesendok gula itu kedalam mulut Anda, dan kunyahlah. Apakah Anda masih menikmati rasa manisnya? Pada dasarnya, semua orang menyukai rasa manis. Namun, tak seorang pun bisa melahapnya terlalu banyak. Kita semua mendambakan manisnya kehidupan. Dan kita sering terlalu serakah untuk merengkuhnya sendirian. Bahkan gula pun mengajari kita bahwa terlalu banyak rasa manis membuat kepala kita pusing, bahkan kita bisa mengalami sindrom toleransi insulin. Sungguh keliru jika kita mengira hidup yang manis itu adalah yang semuanya serba indah. Tidak. Justru hidup yang terlalu indah cenderung menjadikan kita pribadi yang serakah. Semacam sindrom toleransi insulin kehidupan. Tidak peduli betapa banyak insulin yang diproduksi dalam tubuh Anda, gula akan tetap menumpuk dalam darah Anda. Tahukah Anda apa yang terjadi ketika dalam darah kita terdapat lebih banyak gula dari yang seharusnya? Hmmmh, Anda tentu paham yang saya maksudkan. Bahkan rasa manis kehidupan yang terlalu banyak pun bisa membahayakan kehidupan diri Anda sendiri. Maka nikmatilah rasa manisnya kehidupan, namun tidak perlu berlebihan.

5. Semanis apapun kita, tidak bisa lepas dari fitrah.

Sepah di kebun tebu kami jumlahnya tidak terlalu melimpah. Namun jika dibiarkan tetap saja menjadi sampah. Kami punya banyak pilihan untuk memperlakukannya. Jika kami membuangnya ke kolong kandang domba, maka sepah itu akan menambah nutrisi pada pupuk kandang yang kami dapatkan. Jika kami membuangnya ke kolam ikan, maka dia akan menjadi tempat tumbuhnya plankton dan jentik-jentik makanan penggemuk ikan. Jadi, apanya yang terbuang dari seonggok sepah? Tidak ada. Sepah benar-benar menyadari bahwa dia tidak bisa melawan fitrah. Semua orang yang pernah muda akan menjadi tua. Semua yang gagah perkasa akan menjadi tak berdaya. Semua yang kuat menjadi lemah. Itulah fitrah. Tetapi mari sekali lagi kita lihat sang sepah. Bahkan setelah masuk tempat sampah, dia tetap saja menjadi anugerah. Jika kita ikut mengimani konsepsi hidup setelah mati, maka kita lebih beruntung lagi. Karena dengan keyakinan itu kita kita bisa berharap memetik buah manis tabungan kebaikan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Kita boleh berharap itu, karena iman kita mengajarkan bahwa setiap amal baik yang pernah kita lakukan atas nama Tuhan, akan membuahkan imbalan yang sepadan. Beruntunglah kita yang percaya, karena setidak-tidaknya kita memiliki harapan; bahwa fitrah kita adalah untuk mempersiapkan tempat pulang alam keabadian.

Tidak perlu lagi untuk merasa kecewa karena telah dihempaskan oleh lingkungan yang Anda harapkan memberikan penerimaan. Mungkin mereka benar telah menghempaskan kita karena kita belum bisa memberi rasa manis yang mereka butuhkan. Mungkin juga mereka keliru karena tidak bisa menghargai rasa manis yang kita miliki. Tetapi, bukan itu yang perlu menjadi fokus perhatian kita sekarang. Cukuplah untuk selalu memikirkan, bagaimana caranya agar kita bisa memberikan lebih banyak lagi rasa manis? Karena dengan rasa manis yang kita tebarkan, kita tidak perlu meneriaki para semut untuk mengerubuti. Insya Allah, cepat atau lambat; mereka akan datang sendiri.

Source : Kaskus Young On Top Community. Posted by wonxmbelinx

Night Falls

Posted: Kamis, 08 September 2011 by Iqbal Fajar in
0

Apa kabarmu sayang?
Langit sudah gelap hari ini
Dan tampakmu tetap hilang

Mereka sudah berdua dua sekarang
Sementara aku masih bercinta dengan sunyi
Menyanyi tentang repih malam

Hitam sudah tiba
Harusnya kau ada disini ikut tersenyum
Bersenandung mimpi bahagia

Tapi memang tempatmu disana
Dibawah rindang tawa gemerlap kota
Nikmati cahaya bahagia dengan entah siapa

Mungkin itulah hikmat bagimu
Karena gelap dan sendu bukan mimpimu
Hanya riang dan bebas pilihan utama
Bukan aku yang sesat pada rumitnya kata

Silahkan bergembira sayang
Karena itu hak dan inginmu
Walau wajib serta tugas inti telah terlupa
Aku akan tetap duduk diam mengamati seraya berkata

"Kapan kita di biduk yang sama"

- Posted using BlogPress from my iPhone

When everything planned just become a plan

Posted: Senin, 22 Agustus 2011 by Iqbal Fajar in
0

Pagi itu saya terlambat bangun, draft tesis yang harus selesai akhir minggu ini membuat jadwal tidur tidak menentu. Seperti biasa, BB adalah hal pertama yang dilihat. Ada 2 buah notifikasi email dan 1 notifikasi BBM. Email tidak penting pikir saya, tapi nama yang tertera dalam notifikasi BBM membuat saya penasaran. Yusa Wibawa. Ada apa hingga sahabat baik itu BBM pagi-pagi?

“Sob, calon mertua gw yang cowo meninggal subuh ini. Gw mohon doanya ya.”

What?! Calon mertua Yusa berarti Bapaknya Ita, yang juga satu angkatan di Magister. Segera call back dan konfirmasi kebenarannya. Ayah Ita meninggal sebelum sahur, dikursi depan sambil tertidur menunggu sahur. Sebelum meninggal beliau bahkan sempat memanaskan nasi dan membangunkan keluarga untuk kemudian kembali ke bangku depan favoritnya dan menghadap Sang Khalik dengan tenang. Ajal yang khusnul khotimah menurut saya.

Tapi bukan hanya itu yang membuat saya terdiam pagi itu. Yusa dan Ita akan menikah tepat satu bulan lagi. Rencana pernikahan yang seharusnya pesta dan sukacita itu sekejap tidak akan jelas kabarnya. Jelas tidak mungkin tetap pada rencana resepsi pernikahan kurang dari 1 bulan sejak kematian ayahanda. Rencana melayat pun disusun dengan Herman, salah satu teman di kelas magister. Kami akan berangkat jam 8 dari Jakarta menuju rumah duka. Baju ganti pun sudah disiapkan. Sepanjang perjalanan dari apartemen ke kantor saya terus berfikir bahwa kematian memang tidak akan pernah datang dengan menyenangkan. Kita tidak pernah siap dan tidak akan pernah siap untuk menghadapinya atau menerimanya.

Ditengah perjalanan, notifikasi baru muncul di BBM, Herman :

“Yusa akad nikah pagi ini” Belum selesai dengan berita itu, BBM lain masuk. Yusa :

“Sob, mohon doanya ya. Gw akad nikah pagi ini depan jenazah almarhum. Sekarang atau 3 tahun lagi”

Dan sekejap saya merinding. Mobil langsung dipinggirkan dan mengambil nafas sejenak. Benarkah ini? Kurang cukupkah berita kematian ayah Ita dan sekarang akad nikah akan dipercepat, di depan jenazah pula. Mimpi apa saya semalam dengan berita ini? Seakan akan semua berputar 180 derajat. Tanpa berpikir lagi saya menelpon kantor, minta izin untuk masuk siang hari ini. Selesai dengan perizinan, mobil langsung putar arah ke Depok. Yusa akan akad jam 9 pagi. Saya hanya punya waktu kurang dari 1,5 jam untuk sampai kesana. Di perjalanan saya hanya bisa diam, tidak ada yang bisa saya pikirkan. Semua kejadian membuat akal pikiran dan logika ini tidak bisa berjalan. Mengemudi pun hanya insting yang telah terbiasa. Sisanya pikiran saya mengembara tentang bagaimana perasaan Yusa dan Ita untuk menikah di depan jenazah almarhum. Saat itu lah saya menelpon calon pasangan hidup. Hanya dia yang bisa saya bagi untuk cerita. Semua percepatan kejadian ini cukup berat buat saya.

Jam 9 kurang saya sampai di rumah duka. Masih sepi. Hanya beberapa orang dan tetangga yang sudah datang. Sedikit gugup, saya masuk ke rumah, ada jenazah yang terbaring disana. Tidak ada wajah yang familiar diantara pelayat yang datang. Ketika sedikit melongok ke dalam ada Ita yang sudah dalam keadaan sangat lemas. Matanya sembab dan mukanya tidak karuan. Baru saya akan maju menghampirinya, Yusa muncul dari ruangan sebelah. Dia langsung menghambur dan memeluk erat. Ada isakan tangis disana. Mungkin itulah batasnya. Setabah apapun dia, cobaan ini mungkin adalah yang terberat selama hidunya. Lama kami berpelukan, Ita pun menghampiri dengan mata sembab. Saya pun akhirnya tidak tahan. Isakan tangis kami akhirnya terdengar lirih..

Almarhum akan dimakamkan ba'da ashar, setelah anak kedua dari Banjar Negara, Jawa Tengah tiba. Akad nikah Ita dan Yusa akan diundur menjadi jam 11 siang. Selesai dengan mengaji dan berdoa bagi almarhum, saya menunggu di luar. Yusa kembali sibuk dengan persiapan pemandian jenazah sementara Ita naik keatas untuk mandi. Setengah jam kemudian beberapa teman dari Magister tiba disusul oleh rekan kerja almarhum dan keluarga yang notabene dari satu kantor pemerintahan. Rumah duka pun ramai. Yusa yang sibuk beberapa kali menyapa lewat anggukan kepala dan isyarat kecil. Saya hanya bisa memberinya semangat lewat balasan isyarat. Akhirnya setelah sedikit santai kami bisa mengobrol.

Menikah di depan jenazah adalah permintaan keluarga Ita. Adat menurut mereka. Jika ada anggota keluarga yang meninggal sebelum pernikahan maka akad dilaksanakan di depan jenazah sebelum dikuburkan atau ditunda hingga 3 tahun lagi. Itulah salah satu alasan akad dipercepat selain untuk mengantar almarhum dengan tenang yang 4 jam sebelum ajalnya masih sibuk memeriksa label undangan pernikahan anak tercinta dengan pria terbaik pilihannya. Walau memang hanya kisaran waktu tapi keadaan yang membuat berbeda. Melakukan akad nikah disamping jenazah orang tua adalah skenario terburuk. Sungguh tidak bisa dibayangkan rasanya. Apalagi ini terjadi pada dua orang yang saya sangat hargai. Ita dengan sikap riang, polos, manja dan cerianya yang selalu membuat keadaan jadi gembira karena keluguannya dan Yusa dengan toleransi, kesabaran, dan sedikit bakat mesum yang membuat mereka seakan klop. Hubungan mereka berdua pun saya tahu tidak mulus. Banyak permasalahan dan pertengkaran tapi mereka berhasil melewatinya. Dan kini disaat bahagia bersatunya dua insan tersebut, mereka harus membaginya dengan kesedihan akan kehilangan anggota keluarga paling berharga. Melakukan janji suci di depan manusia dan Allah sembari menatap badan kaku terbujur yang hanya bisa disesali kepergiannya.

Jam menunjukkan pukul 11.30. Persiapan akad nikah sudah selesai. Yusa sudah berganti baju dengan baju pernikahan warna pastel sederhana. Mukanya dirias agak terlalu tebal. Wajahnya tenang dan damai. Ada tatapan yang jarang saya temukan di wajah Yusa. Mode serius yang sungguh langka terlihat diwajahh sahabat itu. Tak lama, Ita keluar dengan baju dan warna yang serupa. Dia menggunakan kerudung yang juga dirias sederhana. Wajahnya sudah tenang kini. Aura nya tiba-tiba berbeda, bukan Ita yang kami kenal sering bercanda, begitupun Yusa yang biasanya kocak dengan joke mesumnya. Kini mereka berdua tampak tenang dan siap. Akad nikah pun dimulai di ruangan tamu yang hanya 3x3 meter itu. Sekitar 10 orang keluarga terdekat dan saksi sudah ditempatnya. Sisanya hanya bisa melihat dari jendela. Pintu ditutup atas permintaan Ita. Beruntung saya dapat tempat cukup bagus untuk bisa menyaksikan peristiwa penting itu.

Tidak ada isak tangis saat akad dilaksanakan. Tepat setelah adzan Dzuhur, akad dimulai. Ita memberikan izin dan mandatnya kepada kakak pertama sebagai wali menggantikan almarhum ayahnya. Selanjutnya Yusa dan kakak tertua Ita berjabat tangan, ijab qobul pun diucapkan. Lantang, tenang dan lancar. Alhamdulillah Yusa dan Ita resmi sebagai suami istri. Dan saat akad dinyatakan sah, saya tidak tahan lagi. Isak tangis segera terdengar lirih, tidak hanya saya tapi hampir seluruh ruangan itu tersedan. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak akan pernah saya lupakan. Saat dimana bahagia bercampur dengan kesedihan. Saat dimana semua rencana hanyalah tinggal rencana dan yang Maha Agung memutuskan apa yang harus terjadi.

Siang itu saya pulang setelah memeluk sekali lagi pengantin baru itu, dia sudah berganti pakaian dengan koko hitam yang sudah lecek.

“Selamat ya sob. Lo udah punya istri sekarang yang bisa nemenin kehidupan lo. Mohon doa semoga gw juga bisa cepat mendapatkan pendamping” ucap saya diantara pelukan erat kami siang itu. Doa yang kini hanya rencana dan rencana. Karena saat ini, sekali lagi saya disadarkan bahwa Sang Pencipta adalah sebenar-benarnya Perencana.


Smart Guy, Stupid Person and Idiot One

Posted: Kamis, 04 Agustus 2011 by Iqbal Fajar in
0

This is a quote from one of manga I read during my working hour (Ok, I know that's wrong but please read the quote first and blame me later:))


"When smart guy realizes he cant win, he start to think of ways to lose well. A stupid person is too attached to the idea of winning and wont ever consider losing. But an idiot doesnt thing about winning or losing to begin with."

To be honest, I'm always become a smart guy. In every aspect of my life. Work, study, friendship, relationship and love to be mention. Once I see a chance of "losing" in every aspect mentioned before, I start to figure out how I could turn it from losing to winning or at least to make the glorious losing. Hell yeah I am that pathetic.

Today, after read that line of manga, I began to think that maybe I'm too much attached with idea of smart guy. Just based on quick calculations plus unstable emotion, I'm began to wander how things dont work for me. On the most recent cases is my love life. Yes, hunnie, I start to thing about winning the ego trophy of you because I see a chance of losing you as my spouse. So, instead of fixing our relationship, I choose to lose well by winning the battle of anger.

I suck with work, and study. I screw them. But I wont give up with you. I may still smart guy for real, but as they said, love is blind and this blindness turn me into an idiot. I'll fight our love even I cant see any chance of winning or losing because you are too precious to be calculated or to be logical. When I flashback, I used to have this blind when I chase you. Not to win or to lose. Just to see those kind smile of yours, those energetic move, and attractive personality. Because from the start, to be honest, I'm just see you as a part of life that I need to chase in every breathe.

I love u..

A note about 25

Posted: Jumat, 01 Juli 2011 by Iqbal Fajar in
0

It's 1 July, 2011 now. Lil bit late for reflection session about one hell damn year I've done before. Yup, saya ultah beberapa hari lalu, tepatnya 14 Juni. 25 tahun. Umur yang cukup untuk seorang manusia. Banyak yang terjadi selama 1 tahun ini. Dan tulisan ini akan mengungkapkan sedikit banyak cerita itu. Bukan untuk apa-apa. Hanya sekedar refleksi tahunan yang biasa dijalani.

Dari mana dimulainya ya?

Banyak peristiwa menarik selama setahun kemarin. Salah satu yang mengubah hidup saya ialah keputusan resign dari konsultan BUMN di Gatot Soebroto itu. Banyak yang menyesalkan dan bertanya kenapa harus meninggalkan keadaan yang “nyaman” disana. Orang tua terutama. Tidak banyak rasanya pihak yang tahu alasan saya pindah. Well, it not important though. The fact is I moved because I failed. Gagal? Entah kenapa tiba-tiba saya merasa itu benar. Pada kenyataannya saya memang resign ketika sudah membawa project cukup besar bagi perusahaan itu, tapi performa pribadi sebagai manusia gagal disana. Banyak kebodohan dan kemalasan yang terlanjur mengakar. Satu-satunya kesuksesan yang saya yakini ialah bahwa saya berani keluar dari keadaan gagal yang nyaman itu. At least, keputusan itu memberikan saya ketenangan batin.

Kejadian lainnya yang pantas untuk diingat ialah ketika putus dengan mantan pacar. Seorang dara manis di Bandung. Saat itu, keterpurukan saya sungguh keterlaluan tampaknya. Mengasihani diri sendiri, sedih bukan kepalang, pura-pura benci padahal kangen hingga menulis beberapa surat khusus buatnya. Yah, saya mencintai wanita itu dengan kesederhanaan dan sifat cerianya. Sesuatu yang berharga buat pemuda kompleks ini. Setelah 3 bulan berjuang untuk melupakan dan menerima kenyataan putusnya hubungan, untuk pertama kalinya saya bisa berteman dengan mantan pasangan. Dia sendiri saat ini sudah bersama dengan orang lain dan saya bahagia untuknya.

Peristiwa lainnya ialah keputusan untuk bekerja di perusahaan tempat salah satu teman orang tua menjadi ownernya. Keputusan yang besar karena saya tahu siapa calon bos saya dan bagaimana perangainya. Wanita karier, angkuh, tegas, sangat tidak keibuan, tapi sekaligus sangat profesional dan detail. Dua hal terakhir yang sangat kurang dari pribadi saya. Tujuan sejak awal sangat jelas. Saya akan membuang apa yang sudah dipupuk 2 tahun belakangan. Harga diri, jabatan, pengalaman, egoisme, sikap malas dan ketidakpedulian. Dan saat ini saya masih menjalani proses itu, Tidak mudah, sangat susah bahkan. Persentase dipuji dengan kesalahan sangat sedikit. Hampir tidak ada. Bahkan baru kemarin saya dimaki habis-habisan karena miss dengan pekerjaan. Tidak fokus katanya. Huff,, inilah pilihan. Bekerja di swasta dibawah wanita itu sudah saya sadari sejak awal akan seperti ini konsekuensinya. Kuatkah saya? Let the time answer :)

Tahun ini juga untuk pertama kalinya setelah sekian lama, keluarga kami berlebaran di rumah. Kakek dari mama dan nenek dari papa meninggal tahun lalu. Alasan tersebut membuat keluarga kami yang notabene perantau memutuskan berlebaran di rumah, meninggalkan kebiasaan mudik tahunan. Suasanya yang menyenangkan. Makan bersama, bercanda dan mengobrol tanpa kenal waktu adalah hal yang cukup sulit ditemui karena kelaurga kami terpisah-pisah mengejar mimpinya masing-masing. Pada akhirnya juga, saya dan adik perempuan yang sudah sekian tahun perang dingin kembali berbaikan. Keegoisan yang selalu dipegang teguh cair juga. Lebaran tahun itu memang bermakna banyak bagi keluarga kami.

Peristiwa yang paling banyak berpengaruh selama satu tahun ini ialah pertemuan saya dengan calon pendamping hidup (Amiinnn semoga jadi pendamping yang sebenarnya). Wanita yang secara jelas saya cantumkan dalam post sebelum ini. Terlalu panjang jika harus diceritakan. Intinya ialah saya bertemu dengan dia via jejaring sosial yang tidak terlalu terkenal. Setelah pertemuan, kami menjadi dekat tapi saat itu masing-masing dari kami memiliki komitmen dengan orang lain. A lot of things have been done between our relationship. So many happens. Keputusan untuk melepaskan pasangan saya demi serius mencintainya, backstreet hubungan, mengendap malam malam untuk bertemu, melakukan banyak hal bersama, berantem karena keegoisan dan ketakutan pada perubahan, kekecewaan yang berulang kali terjadi diantara berdua, pertengkaran dia dengan pasangannya, penolakan dan penerimaan serta entah berapa banyak lagi kekecewaan dan kesediahan yang silih berganti. Benar-benar menguras pikiran dan fisik. Alhamdulillah, setelah semua tahapan itu, kami bisa bersama dalam hubungan yang sebenarnya. Walau masih belum sempurna, setidaknya kami sudah berkomitmen untuk melanjutkan ini hingga ke tahap yang lebih serius. Komitmen itulah titik balik semua kejadian satu tahun ini. Untuk pertama kalinya saya menyadari beratnya kata-kata dan komitmen untuk hidup bersama. Selama ini, hubungan yang saya jalani sebagian besar bersifat main-main. Kali ini berbeda. Wanita itu berhasil membuat saya menyadari mencintai seseorang bukan bertoleransi terhadap kesalahan dan kekurangannya. Cinta jauh lebih besar dari itu. Dan saya bahagia, wanita itulah yang menjadi tujuan hidup saat ini.

Dan itulah beberapa kejadian yang terjadi satu tahun belakangan. Yang menarik adalah hari ulang tahun itu sendiri dan 15 hari setelah ulang tahun itu. Pada hari ulang tahun itu, saya benar-benar merasa menjadi manusia seutuhnya. Manusia dalam konteks sosial yang hidup dengan didukung oleh manusia lainnya. Di hari ulang tahun itu saya ditemani oleh sahabat terbaik dan wanita terbaik. Ghea, datang pada malam itu dan menemani hingga pergantian hari. Senang rasanya ada orang yang bisa diandalkan ketika dibutuhkan. Pria yang selalu siap menemani berjalan menikmati keramaian dan keheningan tanpa pamrih, Alasan kedua ialah wanita itu, dia yang memberikan perhatian dan kasih sayang. Bukan hadiah atau ketiadaan waktu menemani yang membuat saya menyesal hari itu, tapi kenapa saya tidak bisa memberikan kasih sayang yang cukup buatnya. Masih sering marah, cemburu, manja dan tidak bisa diandalkan. Terlepas dari itu semua, wanita itu memberikan semua jerih payahnya untuk membahagiakan saya dan itulah salah satu alasan bahagia hari itu.

Seperti disebutkan sebelumnya, yang menarik adalah hari-hari setelah ultah. Seharusnya saya memulai kehidupan di umur 25 dengan perbuatan dan sikap yang baru. Sayangnya saya gagal. Masih tetap dengan sikap malas dan tidak bertanggung jawab. Sikap yang akhirnya membuat murka atasan. Sikap yang membuat saya bertanya-tanya arah kehidupan. Masih dengan kecemburuan, egois dan mengeluh sehingga wanita itu pun lelah menghadapi saya. Kita bertengkar dan mendiamkan satu sama lain hingga 3 hari. Kejadian yang membuat saya terkapar di table salah satu diskotik Kemang. Jackpot dan tipsy hingga tahap paling parah, bahkan untuk jalan pun harus dibopong. Yang kemudian berlanjut dengan berantakannya seminar proposal S2. Hufftt,, to remember such a week is make me guilty. How come I throw my life and stage I've been holding only for a bunch of whiskey.

Dan kini, setelah bulan Juni berakhir saya baru bisa memilirkan semua secara lebih jelas dan sadar. Betapa kehidupan mempermainkan kita. Wanita tercinta pernah bicara saya terlalu mendramatisir kehidupan dan akhirnya tidak melakukan apa-apa. In some part I feel she's right. Hidup bagi saya terkadang terlalu melodramatis. Bahkan kejadian simple pun akan terlihat bagai adegan sinetron kacangan. Salahkah? Iya jika saya tidak melakukan apa-apa dan meratapi nasib. Itulah kenapa saya bergerak dan menulis tulisan ini. Untuk membuktikan bahwa 1 tahun mendatang di 14 Juni, saya akan jadi manusia yang lebih baik. Tidak tergantung dengan orang lain, telah menyelesaikan studi S2, memiliki perusahaan sendiri, atau paling rendah mapan dari segi karakter. Tidak manja, tidak malas, tidak mudah mengeluh, dan selalu berusaha sebelum menyerah. Paling penting dibandingkan itu semua saya harus sudah bisa menjadi suami, paling rendah tunangan wanita itu. Lengkap dengan semua kesiapannya. Bukan hanya harta tapi kematangan sikap dan kebanggaannya pada calon pengdamping hidupnya kelak.

Dan inilah tujuan saya di 1 tahun mendatang. Semoga semua tercapai dengan kerja keras dan pelajaran hidup. Amien

Harapan

Posted: Jumat, 03 Juni 2011 by Iqbal Fajar in
0

Thanks for forwarding the link. You may read another post made by me. This content is no longer needed to be shared. The feeling it self already vanished, and I'm glad about that :)

Author


End of Story

Posted: Kamis, 26 Mei 2011 by Iqbal Fajar in
0

This is the end of our story

Simple sentence means a lot. Setidaknya itu buat saya. Rasanya 5 bulan berjalan terlalu cepat. Semua flashback tentang bagaimana kami bertemu, jalan malam pertama kali (yang dilanjut malam-malam berikutnya :)), mengendap-endap di jok belakang agar tidak ketahuan seseorang, ke kampus siang hari, makan malam dengan keluarga, penolakan dan pertemuan kembali, ribut via chat, serta serangkaian cerita lainnya.

Entah apa yang akan terjadi nanti. Saya sudah tidak mau memikirkannya lagi. Terlalu banyak pikiran, prasangka, harapan, miss communication, kesalahpahaman, ketidaksabaran, cemburu, dan hal negatif lainnya yang sudah terjadi. Terlalu banyak ketidakjelasan, setidaknya buat saya. Dan semua itu ada akhirnya tidak membuahkan apa-apa. Tetap tidak ada dia di samping, tetap sendiri Sabtu dan Minggu, tetap mengendap-endap ketika bertemu dan tetap harus sakit hati.

A lot happens between us and what happened is a real and means a lot. Unfortunatelly, I'm simply a man who see what it can be seen by my own eyes. Hubungan itu memang ada. Sayang itu sudah jelas. Pengorbanan dan kesabaran juga bisa dikatakan tidak sedikit. Hal tersebut sayangnya belum cukup buat mengakomodir keegoisan saya. I just wanna simple things. Her heart and love is for me, and for me only. Simply things, really hard to do for her.

Dan inilah akhirnya. Setelah 5 bulan itu, yang saya dapatkan ialah dia yang menjauh. Saya yang minta. Setidaknya itulah interpretasi menurutnya. Well, whatever. Will not commenting on that anyway. Perlukah membahas sesuatu yang sudah di atur dan diinginkan sebelumnya? Menggunakan orang lain sebagai pembenaran? Intinya sama saja. Dia tetap berhubungan dengannya, cinta dan sayang yang terbagi, saya tetap harus menjalani hidup sendiri dan kami tetap tidak bersama. Kecewa? Sudahlah, tulisan ini bukan untuk menyesali apapun yang sudah terjadi. What have done let it be done. End of story.

ps.

Too bad, after all we've done I cant make a single happy article about us.

Cycle, another round

Posted: Jumat, 20 Mei 2011 by Iqbal Fajar in
0

Another cycle. Just dont know what kind of result wait in the end. Will it be a salute and happiness or blasphemy and darkness.

One thing for sure. This is the end. Cant stand any round cycle more than I had before. If it good, then work hard and commitment wait. And if the bad come, then I'll choose the dark path once again. Looks like it suit me...

Huftt,,

Posted: Rabu, 04 Mei 2011 by Iqbal Fajar in
0

Kata-kata atau hembusan nafas tepatnya. Hal yang 2 minggu belakangan ini sering saya lakukan. Ketika mengetahui saya ditolak untuk ketiga kalinya, ketika selesai memberitahu orang tua tentang pembatalan rencana menikah, ketika tidak ada lagi panggilan lanjutan wawancara kerja, ketika mobil mogok tiba-tiba, ketika hujan menghancurkan konser, ketika diberondong kemarahan atasan dan klien, serta ketika ceramah orang tua tentang IPK yang dibawah rata-rata. Saya hanya menghela nafas.

Lelah, jujur sangat lelah terhadap semua masalah. Ini bukan minggu terburuk memang. Tapi entah mengapa banyak hal yang membuat saya seakan akan menyerah pada keadaan. Benci rasanya dengar kata-kata itu. Dia selalu mengucapkannya dan kata-kata itu dilaksanakan dengan cara yang paling sempurna olehnya. Dan saat ini saya pun tanpa disadari menjalaninya.

Banyak orang berkata bahwa saat ini saya seperti tidak punya tujuan. Awalnya memang tidak setuju dengan semua pendapat itu. Tapi heyy, when I look my self in mirror and suddenlly feel the same. Kemana saya yang dulu selalu sigap mengejar mimpi? Mana detailing terhadap pekerjaan? Hilang kemana kenikmatan bekerja? Pergi kemana kebiasaan menikmati kehidupan? Semua rasanya memang sudah tidak ada lagi. Dan tiba-tiba saya merasa dunia sangat kosong dan membosankan

Bangun pagi diisi dengan merokok, masak seadanya, berangkat ke kantor sambil merokok, mendengarkan JakFM dengan lagu yang itu-itu saja, sampai di kantor buka kaskus.us, mangastream.com, thunderbird, 4shared.com dan serangkaian web tidak penting lainnya. Rutinitas yang itu-itu saja. Baru sekitar jam 10 mulai menelpon klien yang itu-itu saja dan jawaban yang itu-itu saja. Kerjaan masih banyak, tapi entah kenapa malas rasanya. Biarlah disisakan untuk nanti sore. Makan siang, sholat Dzuhur, sholat Ashar dan akhirnya bel pulang. Menelusuri jalanan Sunter-Kalibata yang macet sambil mendengarkan JakFM dengan lagu yang itu-itu saja. Sampai di apartemen dengan kasur berantakan, lantai lengket belum dipel, cucian piring menumpuk dan pada akhirnya memilih berbaring melupakan makan malam untuk besok pagi terbangun dengan perasaan kosong yang sama.

That's my fuckin boring life ! I hate that ! For sake of God, I FUCKIN HATE THAT !

Tapi entah mengapa virus “menyerah pada keadaan” masih saja bercokol. Sejujurnya mungkin karena mimpi, kemauan, passion, semangat itu sudah hilang. Apa tujuan hidup saat ini? Mau apa 5 tahun kedepan? Jika ada orang yang tanya pada saya saat ini maka akan dengan jelas saya katakan :

TIDAK TAHU DAN TIDAK MAU TAHU !

Huftt,,

Ini lah yang memang seharusnya dilakukan, setidaknya sekarang. Saya belum siap untuk semuanya. Entah kapan akan siap. Hanya menjalani semua seperti biasa, seperti seharusnya dijalani. Setidaknya ini masih lebih baik dari menjalani hal-hal bodoh dengan semangat membara. Setidaknya saya berjalan di jalan yang benar, walau masih tanpa arah. Setidaknya ini cukup untuk sekarang.Dan untuk kesekian kalinya saya menghembuskan nafas. Hufftt....

Tentang Dia (2)

Posted: Senin, 25 April 2011 by Iqbal Fajar in
0

Semua kosong teman
Tidak berbekas rasa
Tanpa nada manja
Bahkan sekedar temu adalah dusta

Itulah caranya bersikap
Tentang kekerasan hati
Keegoisan kata
Kebutuhan pada kebebasan
Kenyamanan keadaan

Dan dia tidak berbohong
Hanya memunafikkan kenyataan
Karena tidak bisa tetapkan kesetiaan kilahnya
Adalah penolakan definisi kekecewaannya

Tapi itu katanya !
Kalimat dia yang bermain dengan cinta
Tahu apa dia ?
Hanya hatinya yang selalu mendusta

Dan memang itu riwayatnya
Cari sandalan untuk kecewa
Berikan harapan untuk injak hingga tandas
Sebutkan semua hanya untuk kembali
Yang ternyata hanya sementara

Itulah alaminya
Sikap permanennya
Bahasa lahirnya
Maka semua tingkah dustanya adalah kejujuran

Kini hanya tinggal tunggu saatnya kawan,
Hingga dia berlutut di korban selanjutnya
Mangsa hingga habis harga diri

Dan sang pria kembali menerima
Karena itulah fungsi utama si lelaki
Tong sampah yang setia

Ini bukan sajak keikhlasan
Hanya umpatan yang seharusnya termuntah

Catat ini kawan,
Ikhlas bukan haknya
Karena dia hanya pembohong biasa
Tidak kurang, tidak lebih

Sayang, sebuah definisi.

Posted: Senin, 18 April 2011 by Iqbal Fajar in
0

And here I go. Another headache morning. Pagi yang diawali dengan kepala pusing dan kecewa. Yup, pada akhirnya saya harus merelakan hubungan dengan dia hancur untuk kedua kalinya. Kata merelakan mungkin sedikit tidak pas. Saya memutuskan untuk berakhir. Dia memilih, untuk kedua kalinya, pada lelaki lain.

Apa definisi sayang menurut anda? Cinta ? Pengorbanan ? Kesetiaan ? Perjuangan ? Banyak orang mendefinisikan cinta dalam bentuk-bentuk itu. Saya sendiri mencintai dia dengan atribut tersebut. Sayangnya, ternyata definisi itu tidak berguna kali ini. Ternyata ada yang lebih penting dari semua itu. Ikhlas. Saya terbukti tidak bisa mencintai di tahapan itu.

Lets go back to where it started. Melati, sebut saja itu namanya. Wanita manis dengan senyum yang menawan. Saat kami pertama bertemu, saya melihatnya sama seperti wanita lainnya yang pernah mampir dalam kehidupan. Wanita yang seharusnya dekat tidak lebih dari 3 bulan dan hilang karena kebosanan. Nyatanya itu salah. Melati punya banyak hal yang membuat saya jatuh cinta, dalam arti sebenar-benarnya. Bukan manisnya senyum, ramahnya sikap, mapannya kehidupan, kedewaasaan pribadi. Dia lebih dari itu semua. Melati bisa menerima saya apa-adanya, membuat kehidupan muram menjadi lebih bercahaya, dan kesiapan untuk berkomitmen. She's perfect for me and everything is gonna be complete only if she's not belong to anybody.

Ya, pada akhirnya wanita pilihan saya adalah wanita yang sudah menjalin hubungan kekasih dengan orang lain. Kenyataan pahit itu baru disadari setalah semua rasa sayang itu terlalu dalam baginya. Pasti kalian berfikir, bagaimana mungkin saya bisa jatuh cinta pada orang yang sudah ada orang lain di hatinya ? Jawabannya adalah karena Melati tidak yakin pada pasangannya. Pria yang sudah 4 tahun menjalani kehidupan bersama, Pria yang memberikan kenyamanan ala ratu padanya, pria yang selalu ada buat dia ketika Melati pulang kerja, jalan-jalan, bersama teman, bahkan sudah memiliki usaha bersama. Menurut Melati, pria itu bukanlah pasangan hidupnya. Dia hanya menjalankan rutinitas.

Maka saya percaya. Mulailah hubungan kami dengan perselingkuhan di belakang pria itu. 3 bulan kami lalui seakan tidak terasa. Rasa sayang itu pun mencapai puncaknya. Saya mengajukan proposal menikah ke orang tua dengan Melati sebagai calonnya. Bodoh? Tentu tidak karena saya menemukan pasangan hidup di diri Melati. Lagipula Melati pun merasakan hal yang sama. Lebih dari itu, saya juga mengajukan hal yang sama ke orang tuanya. Positif feed back. Dan hubungan kami tetap berlanjut.

Banyak orang bilang, segala sesuatu yang dimulai dengan tidak baik maka akan berakhir tidak baik juga. Ketika komitmen sudah diucapkan, ada kebutuhan terhadap timbal balik. Melati harus memutuskan kekasihnya dan memilih secara sempurna siapa pasangan hidupnya. Sayangnya, pada tahapan ini dia tidak bisa melakukannya. Melati terlalu terikat pada pria itu. Berbagai alibi dilontarkan. Pria itu yang sudah terlalu dekat dengan keluarga, tidak ingin menyakiti, belum saatnya, masih ada janji yang harus dituntaskan. Ketika itulah saya meminta ketegasan akan hubungan dan keputusan untuk memilih.

Ternyata saya hanyalah seorang pilihan kedua. Dia lebih memilih untuk menyerah pada kenyataan. Pria itu sudah menjadi bagian hidupnya, penjemputan tiap sore, kedekatan dengan keluarga, intimasi di keseharian hidup dan penerimaan terhadap semua keegoisan serta rasa takut terhadap kehilangan pegangan. Dan Melati pun menyerah, pada saya yang dia sebut pria pasangan hidupnya, pria yang memberikannnya kenyamanan, pria yang ingin ada disampingnya selama sisa hidup.

Saya marah. Kecewa pada kata-kata yang hanya retorika. Saya sudah berkorban bagi dia, untuk menyerahkan kepercayaan, komitmen, pengorbanan, cinta, dan semua atribut kasih sayang lainnya. Dan dia hanya berlindung dibalik kata-kata menyerah pada keadaan. Kami pun berpisah. Tidak ada hubungan sama sekali, seakan tidak pernah ada pertemuan dan rasa sayang diantara kami berdua.

Hal bodoh yang terjadi ialah kami terlalu takut kehilangan. Hanya butuh satu minggu untuk kembali bersama dan melupakan sakitnya penolakan dan ketidaksesuaian harapan. Hubungan baru dilandasi dengan prinsip, semua tidak perlu dipikirkan. Jalani saja seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa. Kali ini, Melati bisa melakukannya dengan benar. Saya, walaupun berhasil di dua minggu pertama harus kembali sadar bahwa ini bukan cinta. Hanya kebohongan yang dilandasi ketakutan dan rasa nyaman. Berkali-kali rasa sakit dan pengharapan ditekan, tuntutan terhadap keseriusan dan rasa sayang sempurna di abaikan hingga membohongi diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.

Seperti kalian tahu, semua tidak pernah baik-baik saja.

Dan malam itu, saya memutuskan untuk meminta sekali lagi keputusan darinya. Dan jawaban yang sama keluar dari mulut Melati. Dia memilih pria itu, karena menyerah pada keadaan. Saat itu saya sadar, Melati bukan tidak sayang pada saya, dia hanya jauh lebih sayang pada pria itu. Walau definisi sayang sendiri perlu dipertanyakan. Tidak ada kata sayang untuk dua orang. Tidak ada cinta yang terbagi untuk dua hati.

Pada akhirnya, saya sadar pria itu lebih baik untuk Melati. Jangan tanyakan kenapa, saya hanya bisa membuat asumsi karena menurut Melati, rasa sayangnya pada saya jauh lebih besar walau pada kenyataannya mungkin lain.

Kembali pada awal cerita ini. Kita asumsikan sayang adalah pengorbanan, kesetiaan, dan pengorbanan. Sudah jelas untuk definisi ini Melati jauh menyayangi pria itu daripada saya. Itulah mindset yang selama ini tertanam di kepala. Karena itulah saya memutuskan untuk tidak bisa bersama dengannya lagi. Tapi bagaimana jika sayang adalah keikhlasan, bukan atribut seperti pengorbanan. Bukan sesuatu yang lebih mengarah pada keegoisan dan keuntungan diri sendiri? Bagaimana jika ikhlas adalah menjalani kehidupan dan melepaskan sesorang yang kita sayangi untuk bersama dengan orang yang menurutnya lebih baik?

Maka jika mengacu pada definisi itu, saya hanyalah orang bodoh yang bermain-main dengan sayang. Saya tidak bisa mengikhlaskan Melati untuk pria itu, tidak bisa mengikhlaskan hati saya untuk mencintai wanita yang mungkin benar-benar mencintai saya tapi tertekan dengan semua hubungannya. Dan itulah mengapa saya tidak akan pernah bisa mendapatkan Melati. Karena saya tidak bisa mencapai tingkatan ikhlas dalam mencintai seseorang. Pada tahapan ini, Melati mungkin bisa menyayangi saya jauh lebih baik karena dia mengikhlaskan hubungan 4 tahunnya terancam dengan adanya saya, melati lebih bisa mengikhlaskan hatinya hancur karena saya yang tidak bisa menerima semua kenyataan dan menunggu sedikit lebih lama.

Jika benar sayang adalah keikhlasan, maka saya belum bisa menyayangi dia dengan sepenuhnya karena hingga kapanpun mengikhlaskan Melati bagi pria lain adalah hal yang mustahil.

Tentang Dia

Posted: Jumat, 25 Maret 2011 by Iqbal Fajar in
0

Maka kenapa aku disini Tuhan ?!
Sudah hilangkah akal?
Lenyapkah nurani?
Sisa hanya keji

dan apabila kata hanya bisa bernyanyi manis
ketika janji hanya bual
dan musnahlah semua harap

Ini coba mu kah Tuhan?!
Atau murka ?
Jangan bilang ini nikmat
karena hanya dia yang bisa rasakannya

Tanya saja padanya
tentang nikmatnya berkaki dua
pijak bumi tanpa pincang, terjatuh dan terjerembab

kasih lihat dia
bahwa neraka itu nyata
berharap pada cinta tapi hasilnya dusta

cerita kan padanya
bahwa hidup berkalung bohong adalah sejatinya kematian

biar sadar dia
apa guna raga tercipta

walau,
saya hanya tetap korban yang menghamba