Jogja. Another Time, Another Moment

Posted: Senin, 17 Desember 2012 by Iqbal Fajar in
0


Kembali ke Jogja. Memikirkannya sudah membuat saya sangat bersemangat. Bukan hanya karena eksotisme daerah yang dikenal atas kekayaan budaya dan unggah ungguh Jawanya, tetapi juga proses mencapai Jogja yang membuat saya tidak sabar. Single touring. Hobi, passion, yang sudah mendarah selama beberapa tahun terakhir dengan sukses memberikan kepuasan batin bagi saya. Belokan, tanjakan, turunan menantang yang menuntut pengendalian motor tingkat tinggi, jalur lurus yang menggoda untuk menembus batas aman berkendara, lenggangnya jalanan yang melepaskan penat macet Jakarta, kesendirian dalam kebebasan berekspresi sesuka hati, dan pastinya, kebanggaan atas pencapaian ketika berhasil melalui tekanan, hambatan, kelelahan. Sensasi keberhasilan, kesuksesan, yang kemudian bertransformasi menjadi memori indah tidak tergantikan. Semua memberikan candu yang membuat saya terus menerus menempuh proses, yang menurut sebagian besar orang, bodoh untuk dilakukan.

Maka ketika rencana telah ditetapkan, persiapan diselesaikan dan sumberdaya telah dialokasikan, kegembiraan mempengaruhi saya. Degup jantung yang terus menerus berpacu, khayalan akan kenikmatan berkendara mengantikan malam-malam tidak jelas ini. Ya, saya memang membutuhkan touring ini. Seingat saya, terakhir kali saya melakukan single touring jarak jauh ialah 2 tahun lalu dengan tujuan dan rute yang sama. Kali ini saya berusaha meningkatkan tantangan dengan menguji jalur utara yang didominasi oleh jalanan lurus dan rangkaian bus, truk barang. First stop direncanakan di Semarang, bertemu dengan adik dan seseorang yang sangat special di kehidupan, menginap, kemudian melanjutkan keesokan harinya menuju Jogja untuk menghabiskan waktu 2 hari 2 malam dan pulang kembali melalui jalur selatan.

Tentu saja itu rencananya. Sayangnya, seperti kehidupan, perjalanan saya tidak pernah 100 persen sesuai harapan. Dan kali ini, hambatannya cukup membuat saya memikirkan kembali untuk pergi. Bermula dari beban pekerjaan yang meningkat hanya beberapa hari sebelum touring, persiapan dan sumberdaya yang tidak sesuai dengan batas minimum perjalanan hingga kenyataan bahwa saya harus mengganti rute awal dan mempercepat waktu perjalanan. Belum lagi godaan dari manajemen kantor yang memberikan cuti panjang diakhir tahun jika saya membatalkan cuti untuk menyelesaikan pekerjaan.

Inilah yang menarik dari sebuah passion, keteguhan hati, pengambilan keputusan. Kita tidak akan pernah bisa menahan, mengubah, bahkan pada tahap tertentu, mengatur passion itu. Saya mencintai jalanan, membutuhkannya seperti ikan memerlukan air. Berlebihankah ? Mungkin bagi sebagian orang, tapi tidak bagi saya. Jalanan adalah media ekspresi terbaik. Tidak ada yang menghalangi saya berteriak kencang ditengah derasnya kecepatan angin, atau memandang aneh saat saya betingkah kekanakan menyanyikan lagu dengan mimik lucu dan memalukan. Tatkala saya harus menangis karena kesendirian, atau ketika pikiran dan energi negatif sudah terlalu membebani, jalanan memberikan kelapangan dan dekapan kegembiraan. Ketika keputusasaan dan ketakutan menghalangi semua mimpi, jalanan memberikan ketenangan dan pelajaran tentang perjuangan dan kepercayaan akan keberhasilan. Jalanan juga yang memberikan saya proses pendewasaan dan kecerahan logika dalam mengambil keputusan.

Maka ketika banyak rencana, harapan, keinginan, kebutuhan dan kepercayaan diri mulai hancur diterpa semua kejadian yang datang dalam beberapa tahun, bulan terakhir, kesempatan untuk bercumbu dengan jalanan tidak akan saya lepaskan. Walau itu artinya, kelelahan akibat kurangnya waktu istirahat, kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, serta keharusan untuk mengerjakan sisa pekerjaan dalam waktu yang makin terbatas, saya tidak perduli. Saya butuh ini. Tidak untuk digantikan dengan uang, waktu istirahat, tawaran untuk meminta apa saja, bahkan kesempatan untuk melakukan perjalanan dengan pilihan waktu dan rute yang lebih beragam.

Perjalanan ini adalah mimpi saya.

Sejujurnya perjalanan kali ini agak berbeda. Ada perasaan dan pikiran yang membayangi jauh sebelum perjalanan dilakukan. Pengalaman kecelakaan 2 tahun lalu yang hampir merenggut nyawa membuat saya sedikit melankolis. Ketika itu saya masih seorang yang naif dan tidak berpikir panjang. Kecelakaan perjalanan, ditengah daerah yang saya tidak tahu, single touring tanpa izin orang tua dan tanpa diketahui banyak orang membuat saya banyak berpikir. Apa yang terjadi jika saat itu saya benar-benar meninggal ? Dengan identitas yang seadanya dan kepergian yang hanya diketahui dua orang saja, tentunya akan menyisakan banyak pertanyaan dan kekecewaan dari banyak orang. Bagaimana dengan mimpi dan perasaan yang belum tersampaikan ?

Entah kenapa, kematian mendadak menjadi pikiran utama belakangan ini. Saya banyak merenung dan melihat kebelakang. Semua pengalaman dan kehidupan yang sudah dijalani berkelebatan dalam malam-malam tanpa tidur. Saya masih punya banyak mimpi dan sayangnya belum banyak mimpi itu yang tercapai. Pun dengan amal ibadah, saya masih jauh dari sempurna. Sejujurnya, saya masih belum siap menghadap Ilahi saat ini. Tapi hidup bukan untuk diisi dengan ketakutan akan kematian saja bukan ? Yang Maha Kuasa memberikan kebebasan akal dan keajaiban kreativitas bagi hambanya agar kita bisa beribadah sekaligus bermimpi akan pencapaian yang lebih tinggi lagi. Lagipula, itulah gunanya kematian. Agar kita sadar bahwa waktu hanya sedikit di dunia ini dan bergegas untuk mencapai mimpi kita.

Kematian memang tidak bisa diduga tetapi bukan berarti kita tidak bisa meninggalkan legacy. Untuk itulah saya menyusun beberapa surat yang dititipkan pada beberapa pihak untuk beberapa orang. Pesan saya singkat. Jika ada apa-apa di perjalanan, maka pesan itu dapat diterima oleh yang bersangkutan. Ini juga yang menarik dari perjalanan kali ini. Berbeda dengan 2 tahun yang lalu, ada banyak orang yang menempati porsi khusus kali ini. Sahabat, orang yang disayang, dan orang tua adalah beberapa pihak yang saya anggap sangat berarti. Cukup sedikit memang, tetapi tetap jauh lebih baik daripada 2 tahun lalu. Saat itu, hampir tidak ada orang yang cukup penting untuk saya tinggalkan pesan.

Perjalanan ini juga menjadi berbeda dari 2 tahun lalu. Kala itu saya pergi menempuh jalanan untuk alasan melepaskan dari beban pekerjaan. Kali ini, pekerjaan adalah rutinitas menyenangkan. Karier saya bagus, pekerjaan menantang dan kuliah juga sudah selesai. To be simple, this is my greatest year as professional
Kali ini persoalan pribadi yang lebih mendominasi alasan terjadinya touring ini.

Ini tahun dimana saya gagal menikah, tahun dimana saya terpuruk sangat rendah di kehidupan pribadi. Tahun dimana saya akhirnya bertemu dengan seorang yang special nun jauh disana untuk kemudian hubungan kami kandas karena keputusan saya juga. Tahun dimana saya mencoba meniti kehidupan serius dengan seorang wanita dan sayangnya juga gagal atas nama perbedaan dan keadaan. Jelas ini bukan tahun terbaik saya.

Tapi saya yakin, terlepas dari semua masalahnya, tahun ini akan selalu jadi kenangan dan pendewasaan yang tidak pernah terlupakan. Dan touring singkat ini saya yakin akan menjadi penutup tahun yang berakhir menyenangkan. Perjalanan ini adalah proses, kesempatan berpikir, menemukan lagi kepercayaan diri yang hilang, merangkai dan menguatkannya untuk kemudian kembali melangkah. Kembali mengambil keputusan, mencoba kesempatan dan jika gagal lagi, saya selalu tahu bahwa akan ada jalanan lain, dengan rute lain, kilometer yang jauh lebih panjang, waktu yang lebih lama, untuk mengumpulkan serpihan jati diri yang hancur.

Dan kini, di café kecil di lantai dasar apartemen, saya tersenyum puas sembari menulis catatan ini. Satu minggu lebih setelah semua perjalanan itu, saya masih bernafas. Surat dan pesan yang dititipkan tidak perlu diterima oleh pihak tertuju. Saya kembali dengan selamat. Lengkap dengan semua yang dibawa sebelum perjalanan ini dilakukan. Setelah semua perjalanan yang melelahkan, menyulitkan, dan penuh rintangan itu, saya bisa tersenyum dan bangga. Karena kali ini, walau dengan kata tidak mungkin sekalipun yang selalu lekat di bibir ini, saya tetap berhasil mencapai keinginan.

Selama perjalanan saya banyak mendapatkan lagi kegembiraan dan passion yang sudah cukup lama hilang. Di jalanan jalur Selatan saya belajar lagi tentang arti sebuah impian. Bahwa mimpi bukanlah sebuah kata yang hanya harus ditulis dan dibaca. Dia harus dikejar dengan segenap tenaga dan mengejarnya adalah sebuah kenikmatan dalam perjuangan. Bahwa konsistensi dan persistensi adalah kunci sukses yang tidak akan pernah salah. Dan percaya akan mimpi berarti terus berjalan, berjuang, bangun ketika terjatuh, dan melupakan bahwa semua usaha itu adalah untuk mencapai mimpi tersebut. Lupakan semua lelah, sakit, kegagalan bahkan pencapaian. Mimpi adalah sesuatu yang harus dikejar dan diperjuangkan tanpa tahu apakah dia akan tercapai atau tidak. Karena pada akhirnya, saya hanya harus percaya pada mimpi itu. Tidak lebih.

Jogja dan jalur Selatannya, sekali lagi saya mengucap terima kasih atas semua hikmat yang kau berikan.   

H-3

Posted: Senin, 03 Desember 2012 by Iqbal Fajar in
0

Three days and still counting it every second. Major preparation already finished. Just adapting with new setting. It turns great actually. Just hope there will be no sudden change.

Semangat

Posted: Minggu, 02 Desember 2012 by Iqbal Fajar in
0


Pernahkah anda merasa sangat bersemangat. Detak jantung seakan ingin berlari. Kaki yang terus menghentak, tangan yang terus menerus bergerak, melakukan apa saja untuk menyalurkan adrenalin yang terpompa kencang. Pikiran tidak bisa berhenti, berpikir sangat cepat, ide dan keinginan berlompatan meminta dipenuhi. Waktu terasa sangat singkat dan semua orang, lingkungan dan dunia bergerak terlalu lambat bagi anda. Semua rasanya tidak cukup dan yang anda inginkan hanyalah lebih banyak waktu, tubuh yang tak kenal lelah, enrgi yang terus tersedia, serta mata yang terus terbuka.

Saya sendiri tidak tahu istilah apa yang cocok untuk keadaan itu. Ada yang menyebutnya sebagai trance, overload adrenaline, fokus, passion, ADD, atau apalah itu. Saya benar-benar tidak tahu dan tidak mau tahu. Tapi yang penting adalah keadaan itu sangat menyenangkan. Berada dalam situasi itu membuat monotansi kehidupan, keharusan berhenti, bertoleransi atas keadaan orang lain, beristirahat karena alasan kelelahan atau sekedar menikmati ketenangan, menjadi tidak perlu diperdulikan lagi. Semua menjadi tidak penting. Yang penting ialah terus mengalirkan energy meluap itu pada sesuatu. Dan jika bisa mengatasinya, energy itu akan bertransformasi dalam karya, hasil pekerjaan, tulisan, pencapaian-pencapaian besar yang mungkin baru bisa diselesaikan setelah berapa waktu lamanya.

Sayangnya, keadaan itu tidak datang dengan jadwal yang pasti. Dia absurd, seperti juga namanya. Datang entah kapan, tak terjadwal lama tinggalnya, lalu menghilang begitu saja menyisakan kelelahan yang tidak terkira. Kadang dia datang ketika berbicara dengan seseorang, mendengarkan musik, dalam letupan ditengah rutinitas membosankan, atau dalam tidur lelap di malam buta. Dia hadir berupa ide, gagasan yang melompat, keluar tidak tertahankan. Kaki yang tidak mau berhenti, tangan yang terus menulis, lompatan bodoh ditengah keramaian, atau bahkan di masa keheningan.

Saya tidak tahu dan sungguh tidak mau tahu apa, bagaimana, seperti apa bentuknya, berapa lama dia hadir, kapan dia selesai, atau apa dampak yang dihasilkannya. Yang saya tahu ketika trance atau apapun namanya itu datang, saya harus menyalurkannya. Berhenti, berpikir dan berusaha memperlambatnya adalah cara yang salah untuk menyambutnya. Dia harus keluar, menikmati indahnya dunia dengan semua kecepatan dan ketidaksabarannya. Dia berhak untuk bebas, mencari bentuk diri yang tertahan entah untuk berapa lama. Saya adalah medianya, perantara yang memiliki tugas untuk memastikan dia puas.

Dan saat ini saya sedang menjamunya. Mungkin yang paling lama yang pernah dia datang. Hampir 1 minggu keadaan ini hadir. Sejujurnya, keadaan ini sering terjadi. Saya punya sedikit kecenderungan hiperaktif. Setidaknya itu kata dokter yang menguji saya. Itupun baru saya ketahui beberapa tahun yang lalu ketika dirawat di sebuah RS swasta internasional. Yah, setidaknya itu jadi jawaban kenapa selama ini saya selalu berbicara terlalu cepat. Guru psikologi di SMA pernah berkata, kecepatan berbicara saya dikarenakan pikiran saya yang bergerak lebih cepat dari pada kemampuan mulut menterjemahkannya dalam bentuk suara, kata, kalimat. Itu juga jawaban kenapa saya tidak mau berhenti dan selalu tidak sabar. Kelebihan energy kata orang tua.

Well, whatever. I don’t really care bout’ that. I enjoy and love it.

Yang menarik ialah jangka waktu keadaan itu hadir. Biasanya, dia hanya datang dalam hitungan jam. Atau paling lama hari. Tapi jarang sekali dia hadir selama ini. Terakhir kali dia datang dan selama ini ialah beberapa tahun yang lalu. Dan itu juga jadi jawaban mengapa saya merasakan hal yang sama. Simple. Saya akan melakukan kegiatan yang tidak jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Dan seperti sudah diduga, efeknya sudah hadir sejak jauh-jauh hari. Muncul dalam gairah yang membuncah, pergerakan yang tidak mau melambat, metabolism yang menuntut banyak energy, serta pastinya pikiran yang penuh oleh segala macam hal, mulai dari yang sepele hingga yang paling penting. Semua berpacu melupakan prioritas.

Saat ini saya hampir tidak bisa mengendalikan keadaan yang terjadi. Tidak ada lagi pertimbangan, analisis logika, ketakutan akan akibat, kekhawatiran atas dampak, semua rasanya tidak bisa terkontrol. Dan itu berbahaya. Sangat berbahaya. Apalagi dengan semua tanggung jawab yang masih ada di depan. Semua yang harus diselesaikan sebelum masa itu tiba.

Untuk itulah tindakan preventif harus dilakukan. Saya pun berusaha tidur lebih cepat, melambatkan diri, melelahkan tubuh, mengurangi asupan energy. Tapi tampaknya itu tidak juga berhasil. Buktinya dengan keadaan yang lemas seperti ini saya juga masih berkutat dengan rokok dan kopi menulis cerita yang entah untuk apa tujuannya. Saya juga mencoba menekannya keluar sesedikit mungkin dengan mendengarkan lagu santai, menonton komedi, berbaring di kasur yang nyaman. Semua demi menjaga agar semangat itu tidak kehabisan nafas ketika saatnya diperlukan.

Yup, this is marathon. Not a sprint. Masa itu masih beberapa waktu lagi hadir. Saya harus jeli menghemat energy positif ini hingga saat-saat terakhir itu tiba. Masa dimana hanya optimisme dan kepercayaan akan mimpi itu datang. Ketika semua keadaan menjadi tidak dapat diperhitungkan. Saat waktu berjalan terlalu lama dan semua kebosanan melanda. Ketika hitungan detik, bahkan kurang dari itu, dapat menyelamatkan dari kematian. Di masa itu, saya memerlukan semua energy dan semangat yang saat ini berloncatan minta keluar.

Maka ketika masa itu tiba. Semua rasa, semangat, optimisme, debaran jantung, adrenalin, totalitas fokus, tangan yang tidak mau berhenti, mulut yang akan terus berteriak dan mata yang akan selalu terjaga dapat menemukan muaranya, menghilang bersama jalanan, kecepatan, derasnya angin dan keindahan alam. Untuk kemudian menggantikan diri dengan kegembiraan pencapaian, yang melekat, tersimpan rapi, berbekas dalam memori. Kekal. Abadi.

And for now, my friend, lets ease your pace a lil bit. We will go there and your feast will be fulfilled. Till the day, please slow down and enjoy the time. Till the day that will come forth…

H-7

Posted: Jumat, 30 November 2012 by Iqbal Fajar in
0

Permission granted. Crafting detailed preparation on progress.

The boat must not sink

Posted: Selasa, 27 November 2012 by Iqbal Fajar in
0



“Fluctuat Nec Mergitur”

Kata-kata latin yang saya quote diatas berasal dari salah satu moto yang tertera pada pakaian prajurit Paris. Artinya secara literature dalam bahasa Inggris adalah “He who rises with the wave is not swallow by it”. Kalimat tersebut menunjukkan kesungguhan para pelaut Paris dalam mempertahankan kapal mereka dan terus maju apapun yang terjadi. Seburuk apapun cuaca, sebesar apapun arus yang terjadi bahkan separah apapun kapal rusak, kapal tersebut tidak akan tenggelam. Kapal tersebut tidak boleh tenggelam. Kapal dan isinya harus terus berlayar. Terus bangkit, mengambang, mengalir bersama ombak.

Kata-kata itu saya dapatkan dari manga Bartender yang diposting salah satu halamannya pada artikel sebelum ini. Secara singkat, chapter dari manga tersebut menceritakan tentang seorang white collar worker (pekerja kantoran) yang mengeluh karena kelelahan dan melakukan kesalahan fatal. Atasannya yang digambarkan sebagai seorang dengan gaya slengean memberikan nasihat singkat sambil meninggalkan karyawan itu di bar untuk merenung. Kata-kata yang diucapkannya sebelum pergi adalah “he who rises with the wave is not swallow by it”.

Entah bagaimana, kalimat itu begitu menginspirasi buat saya, khususnya ketika dihadapkan dengan kehidupan yang kita jalani. Pekerjaan, keluarga, pencapaian, mimpi, dan cinta. Seberat apapun rintangan di depan, sehancur apapun keadaan yang menimpa, menyerah kalah dan tenggelam dalam keputusasaan tetap bukan pilihan. Bahkan jika itu adalah pilihan terakhir yang tersisa.

Hemingway, dalam satu novel fenomenalnya, The Old Man and The Sea, menulis satu pernyataan yang sangat terkenal. A man can be destroyed but not defeated. Seorang pria (manusia) bisa dihancurkan tapi tidak bisa dikalahkan. Hancur adalah efek dari keadaan yang terkadang diluar kendali tetapi kalah adalah sebuah keputusan. Keinginan dan penyerahan terhadap keadaan yang dianggap tidak mampu ditangani. Kata yang menyiratkan kepasrahan dan ketidakberdayaan. Sebuah pernyataan pengecut yang takut terhadap dampak dan kesulitan yang akan datang. Menyerah dan kalah berarti menutup seluruh kemungkinan yang ada, menghentikan semua usaha dan menghindar dari sakit yang lebih besar lagi demi sebuah kenyamanan.

Tetap berjuang dan melangkah maju walaupun segudang masalah menghadang tidak hanya dianut oleh Hemingway. Begitu banyak manusia yang memilih menantang kesulitan dan memandangnya sebagai tantangan yang harus ditaklukkan, bukan alasan untuk kabur dan menyesal kemudian. Donny Dhirgantoro, penulis buku 5 cm bahkan menggambarkannya dalam bentuk yang lebih ekstrim. This world is for those who want to fight. Dunia ini hanya milik dia yang berani terus berjuang. Bahkan kata pantang menyerah  sudah mendarah daging sejak nenek moyang kita. Merdeka atau mati ! Siapa yang tidak kenal kalimat itu ?

Satu hal yang perlu kita ketahui. Kalah dan menyerah tidak sama dengan gagal atau jatuh. It will never be the same. Kesalahan dan kegagalan adalah faktor eksternal yang datang sebagai cobaan. Tidak ada masalah dengan seberapa besar atau seberapa mustahil masalah yang hadir. Yang harus dilakukan adalah tetap bermimpi, terus bekerja keras, melangkah lebih jauh, melompat lebih tinggi, dan bangun kembali sesering apapun terjatuh.  Ujian tentang seberapa besar tekad dan impian yang menjadi bahan bakar. Our greatest glory is not in never failing, but in rising up every time we fail - Confucius. Bukan berapa kali terjatuh yang menjadi tolak ukur seseorang kalah atau menyerah tetapi pada kemampuan dia bangkit dari kegagalan tersebut. Peribahasa Jepang mengatakan, jatuh 6 kali bangun 7 kali. Jack Canfield dalam bukunya, The Success Principle, mengatakan satu kalimat yang sangat indah. Success is numbers game. Pada akhirnya, jika kita terus menerus berjuang dan tetap percaya, sukses hanyalah deretan angka yang menunggu pencapaiannya.

Kalah adalah pilihan. Bagi saya, kalah bukanlah pilihan. Kata itu adalah larangan, tabu, istilah yang tidak boleh ada dalam kamus kehidupan. The boat will not sink, the boat must not sink. He doesn’t sink. No matter what happen, he tries his best to stay afloat

ps.
I know it’s a cheap and common sense for some of you. But I always believe even we already know doesn’t mean we don’t need it anymore :)  



Countdown

Posted: Senin, 26 November 2012 by Iqbal Fajar in
0


Its settled. 11 days to go. Prepare everything. It will be a long journey. Hope everything turns ok. 

And the countdown begins…

Letters, Words, and Sentences

Posted: Sabtu, 24 November 2012 by Iqbal Fajar in
0


Its always surprise me how letter, word, sentence, could shift mood, enlight the day, and brighten your life. Entah itu muncul dalam bentuk kalimat yang tertuliskan, gambar yang berbicara, lirik lagu dengan melodi atau kata-kata dalam percakapan tidak terduga. Entah sudah berapa kali saya diselamatkan dengan kata-kata motivasi atau untaian kalimat indah dari hati. Setiap huruf yang terlontar seakan memberikan suntikan impian dan mimpi yang terus tumbuh, berkembang. Mungkin untuk itulah akal pikiran dan perasaan diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Agar kita bisa menciptakan inspirasi dan membagikannya pada orang lain.
“We are the champion my friend… and we’ll keep on fighting till the end” – Queen, We Are The Champion

Kata juga sukses menjadi pelipur lara ketika masalah terus menerus datang,
“Someone was hurt before you, wronged before you, hungry before you, frightened before you, beaten before you, humiliated before you, raped before you… yet, someone survived… You can do anything you choose to do.” – Maya Angelou

Atau memberikan tanda bahagia sehingga orang lain bisa ikut merayakannya.
“Today, our dream come true” - Obama, Pidato Pelantikan Presiden

Dan yang paling banyak ditemukan ialah curahan hati yang tidak bisa ditahan. Dia bisa berupa Semangat yang membuncah
“Merdeka atau mati !” Anonymous

Optimisme tidak tertahankan
“Rise and rise again. Till the lamb become a lion” - Russel Crowe, Robin Hood

Atau sebaliknya, perasaan yang muram dan sedih
Sometimes I hate that chaos surrounds me. When all the answers that I seek are around me. Am I drowning, am I fading away. Or am I living up to all your dreams that made me this way – Drowning, Crazy Town

Keindahan alam
“Hamparan langit maha sempurna. Bertahta bintang-bintang diangkasa. Namun satu bintang yang berpijar. Teruntai turun menyapa aku. Ada tutur kata terucap. Ada damai yang kurasakan..” - Padi, Mahadewi

Atau protes pada keadaan
Everything you say to me. Takes me one step closer to the edge. And I'm about to break. I need a little room to breathe cause I'm one step closer to the edge. I'm about to break– Point of Authority, Linkin Park

Akan tetapi, kata dan kalimat memang paling cocok sebagai ungkapan cinta. Rasa manusia yang tidak dapat tergantikan
“However far away I will always love you. However words I say I will always love you. Whenever games I play I will always love you. I will always love you.” - Love Songs, The Cure
I have died everyday waiting for you. Darlin' don't be afraid. I have loved you for a thousand years. I'll love you for a thousand more– A Thousand Years, Christina Perry 

Hal yang menarik dari kata, khususnya yang tertulis, adalah anda bisa membagikannya pada orang lain. Kata dalam percakapan seringkali hanya memberikan efek ketika diucapkan saja. It will not long last. Tetapi jika kata-kata tersebut dituliskan, keindahannya dapat berefek besar. Dia akan abadi. Tidak hanya sebatas momen penting itu saja.
“Remembering you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.” - Steve Jobs, Stanford University, Wisuda Kelulusan.

Tidak hanya itu, kata yang tertulis adalah bentuk paling jelas dan mudah menyampaikan isi hati anda. Penggunaannya pun bisa beragam. Anda bisa memunculkannya dalam bentuk sajak berima,
Gelapku memutih. Putih-Mu mengkelam. Belum hitam. Hanya hampir- Abu, Al Musyawwiq

Atau dalam kalimat panjang penuh penjelasan
There are certain things in life where you know it's a mistake but you don't really know it's a mistake because the only way to know that it really is a mistake is to make that mistake and go, "Yup, that was a mistake". So really, the bigger mistake would be to not make the mistake because then you'll go about your whole life not knowing whether it was a mistake or not” - Lily, How I Met Your Mother

Bahkan pada kata singkat penuh inspirasi.
“Never, never, never, never give up.” – Winston Churchill
Saya bahkan beberapa kali menemukan kata-kata inspiratif dalam gambar yang disajikan dengan tulisan. Komik contohnya.
Saya sendiri lebih suka mengungkapkan sesuatu dalam tulisan panjang yang kadang bertele-tele tidak jelas ujungnya. But who will be oppose that ? Tidak ada larangan dalam menulis ketika anda ingin mengekspresikan perasaan.

Tapi walaupun semua kata, tulisan dan pernyataan tersebut memberikan keindahan tidak ada yang mengalahkan suara dari seorang manusia yang sangat berarti, seseorang yang menjadi bagian dari kehidupan. Getaran pita suara dengan segala keunikan, khas, dan timbrenya tidak akan bisa digantikan dengan puisi terindah atau alunan melodi paling menyenangkan sekalipun. Rasa yang dihadirkan dalam ketulusan suara adalah bentuk terindah dari semua huruf, kata, kalimat.

Dan fakta itu yang hadir dengan sangat jelas pada saya siang itu. Suara seorang wanita berhasil membuat saya melupakan masalah, pikiran, beban dan energy negatif yang selama ini bertahan dan dengan sukses merenggut jam tidur. Ya, kalimat dan tawa tercipta dengan menakjubkan siang itu. Sebuah perasaan yang tidak pernah saya temukan dalam tulisan, kalimat atau buku motivasi. Bagi saya, suara itulah obat yang paling efektif. Suara itulah mimpi dan harapan yang akan terus hidup.

Walaupun saat ini, hanya suara itulah yang bisa saya dapatkan. Cukupkah ? Tidak pastinya. Semua akan menjadi sempurna jika dia hadir dalam bentuk nyata, menemani keseharian, menebarkan kebahagiaan. Tapi mengingat semua kenyataan yang ada, saya cukup berpuas diri dengan suara itu. Setidaknya mimpi dan perasaan itu tersalurkan walau dalam bentuk sesamar-samarnya.

“Halo. Gimana kabarnya ?”
A conversation over the phone between two person, 13.24 PM, sebuah kantor di Jakarta   

Thought, Curiosity and Question

Posted: Jumat, 23 November 2012 by Iqbal Fajar in
0


Malam ini adalah malam entah keberapa saya tidak bisa tidur. Dianugrahi dengan kemampuan berpikir yang kadang terlalu logis dan konseptual, membuat kepala saya selalu dipenuhi banyak hal. Mulai dari bahan tulisan buat blog dan draft buku, ide desain yang menarik, target pekerjaan yang masih jauh masa deadlinenya, atau sekedar gagasan-gagasan memperbaiki dunia yang kadang terlalu mengada-ada. Itu saja sudah cukup menyita perhatian saya. Belum lagi kenyataan bahwa hubungan dengan seorang wanita yang kandas baru-baru ini. It just make my brain exploded by thought. Terlalu banyak yang berputar di kepala saya dan pada beberapa kasus, menjadi berbalik menyerang. Ya, seperti saat ini. Tidak bisa tidur.

Sebenarnya saya bisa saja menghilangkan pikiran-pikiran itu. Tapi di hati paling dalam, saya juga menyadari bahwa berpikir adalah anugrah paling besar yang pernah Allah berikan pada manusia. Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada. Frasa itu seakan menjadi jargon yang selalu saya pegang sehingga seberapa menyusahkan, menyakitkan, merepotkan kebiasaan berpikir yang dimiliki ini, syukur dan terima kasih selalu dipanjatkan padaNya.

Kembali pada kebiasaan berpikir. Semua orang berpikir, semua orang melakukannya. Lalu apa bedanya ? Bedanya, saya tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu jika saya belum mendapatkan jawaban atau penjelasan logis dari pemikiran tersebut. Tidak hanya itu, saya juga terbiasa melihat segala sesuatu dari banyak aspek dan banyak aspek yang saya maksud adalah semua aspek. Bahkan dari sisi yang orang lain tidak pernah terpikirkan. Selain itu, karena terbiasa berpikir strategis, saya selalu mencari data atau pengalaman yang sudah ada, menganalisisnya, membuat hipotesa, mencari kesimpulan dan penjelasan kemudian memikirkan alternative-alternatif tindakan dan dampaknya hingga puluhan langkah kedepan.

Begini contohnya. Jika anda melihat sebuah kotak rokok, apa yang akan anda pikirkan ? Kebanyakan dari anda, akan melihat dari bentuk kotak yang menarik, bagaimana rasa rokok itu, kenapa harus merokok, berapa harganya, sudah berapa bungkus yang habis. Itu saja sudah jarang orang yang berpikir serumit itu. Sebagian yang lain mungkin berpikir lebih jauh, tentang bagaimana desain yang lebih bagus, bagaimana rokok dibuat, bagaimana pemasaran yang lebih efektif atau kandungan yang ada di dalam rokok tersebut. Tapi sekali lagi, tidak banyak yang berpikir sejauh itu. Well after all its just a pack of cigarettes. Who care ?

Tapi sayangnya, saya pada beberapa kasus berpikir lebih jauh dari itu. Bagi saya, kotak rokok memberikan banyak inspirasi dan keingintahuan. Saya akan memulai berpikir tentang sejarah rokok, penjualannya di masa lalu, cerita-cerita menakjubkan bagaimana rokok mengubah sebuah etnis menjadi raja dan orang terkaya, dan mereka tetap menjadi bersahaja. Lalu saya mulai bertanya tentang bagaimana rokok dibuat, bagaimana racikan yang pas, proses pembuatan yang efektif, lini produksi yang mendukung kecepatan sekaligus kualitas sempurna, layout gudang, pengaturan logistic, pemastian stock dari pabrik hingga ke pengecer. Berlanjut ke pemasarannya. Bagaimana mereka menciptakan ketergantungan, membuat iklan rokok tanpa ada rokok, mencipakan brand dan positioning, mempengaruhi pemerintah untuk mempertahankan pasal rokok, menyusup di rapat dewan tanpa ketahuan, dan bagaimana sikap bersahaja itu mungkin adalah sebuah konspirasi agar bisnisnya tetap langgeng. Lalu mulai melihat dari kemasan rokoknya. Mengapa harus kotak ? kenapa tidak bulat ? Atau segi enam? Kenapa harus ada 16 atau 12 batang ? Berapa biaya pembuatan kotak itu ? Bagaimana jika bahannya diganti ? Bagaimana jika desainnya berubah ? Bagaimana mengkomunikasikan perubahan pada pelanggan dan internal perusahaan ? Apa dampaknya ? Dan saya masih bisa menyebutkan banyak lagi pertanyaan dan pikiran yang muncul dikepala. Tapi bukan itu inti tulisan ini.

Bottom point is, kadang saya terlalu banyak berpikir dan menganalisa. Dan saya selalu berusaha mencari jawaban atas pikiran-pikiran tersebut. Untungnya kita hidup di era dimana informasi adalah barang murah, bahkan gratis. Cukup buka Google dan hampir semua jawaban itu saya dapatkan. Itulah mengapa membaca buku adalah kegemaran yang tidak bisa dipisahkan. Saya terlalu ingin tahu dan haus akan informasi. Apa saja dibaca, apa saja ditanyakan. Dan sekali lagi, saya bersyukur karena dikaruniai pikiran dan ketertarikan pada banyak hal.

But like someone said, curiosity kill the cat. Begitupun dengan saya. Karena terlalu banyak informasi, saya menjadi kelebihan informasi. Kesulitan mencerna mana yang penting dan mana yang tidak penting. Saya tidak bisa fokus dan konsisten dalam segala hal. Semua serba mendadak, semua kadang tidak terencana. Dan akhirnya saya sendiri kebingungan mencari benang merah dari jutaan informasi tersebut.

Benang merah itu juga yang berkontribusi besar dalam malam-malam tanpa tidur saya. Berusaha membuat kerangka, menyusun hipotesa, menguji hipotesa tersebut dengan alternative-alternatif, mencari kesalahan dan kemungkinan lain yang bisa cocok hingga mendapatkan jawaban yang menurut saya, saat itu, cukup logis.

Semua itu menjadi tidak terlalu bermasalah ketika berhubungan dengan sesuatu yang nyata, ada datanya dan bisa di uji coba. Yang membuat saya selalu pusing ialah ketika berhadapan dengan masalah atau kasus yang berhubungan dengan manusia. Terbiasa dengan hipotesa dan pikiran sendiri membuat saya terkadang memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang lain. Saya juga stress karena data yang ada untuk membuat hipotesa kemudian menguji dan mengambil kesimpulan terlalu sedikit. Bagaimana saya bisa mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan tersebut jika orang yang saya ingin tanyakan tidak berpikir sejauh saya ? Atau dia sendiri tidak bisa saya mintai pendapat dan jawabannya karena beberapa hal ?

Ketika itu terjadi, mulailah curiosity dan pikiran menghancurkan kehidupan saya. Mulai dari berpikir mengapa ini terjadi, mengapa tidak seperti ini, apa alasan dari tindakan, ada makna lain kah dari tindakan tersebut serta pertanyaan-pertanyaan lain yang tampak nya sepele tapi tetap saya pikirkan. Dengan data yang sedikit itu, saya mulai melakukan kesalahan kedua. Membuat hipotesa, asumsi-asumsi, pemikiran yang tidak masuk akal, penjelasan yang dikira-kira dan akhirnya berujung pada pengambilan keputusan yang salah dan tidak benar.

That’s just my flaw. Sisi negatif dari anugrah yang saya miliki. Pada akhirnya, terkadang saya tidak mau banyak berpikir soal manusia. Dan cara ini juga tidak begitu saja menyelesaikan masalah. Karena berusaha mengingkari nature sendiri, saya terkadang menyimpan sesuatu untuk diri sendiri. Masalah dengan orang lain tidak terselesaikan, perasaan curiga muncul tidak pernah hilang, pesimistis terus berkembang hingga berujung pada ketidakpercayaan dengan mahluk bernama manusia.

And its start to worsen me even more. Percaya pada manusia adalah salah satu anugrah yang bukan saja tidak bisa dihilangkan tetapi juga dibutuhkan. Tekanan karena tidak bisa mempercayai orang berdampak pada sifat buruk lainnya. Memakai topeng. Saya pun mulai terbiasa menyesuaikan diri untuk berdamai dengan perasaan, kemarahan, ingin tahu, keinginan karena jika saya ingin mendapatkan jawaban-jawaban atas curiosity tersebut, orang lain pasti menganggap aneh, terganggu bahkan tersakiti. Akhirnya, karena terlalu banyak memakai topeng, saya mulai kehilangan jati diri sendiri dan itulah puncak dari seluruh efek negatif pikiran tersebut.

Untungnya, beberapa tahun belakangan saya menemukan solusi sementara untuk pemikiran liar ini. Ada dua pendekatan yang digunakan dan memudahkan menjelaskan tentang bagaimana saya mengatasinya. Pertama, saya membagi sumber masalah pikiran menjadi dua, yaitu pikiran tentang pekerjaan dan pikiran tentang kehidupan pribadi saya. Seiring dengan waktu dan kematangan saya sebagai manusia, tanggung jawab dan passion terhadap pekerjaan menjadi hal baru yang akhirnya menjadi prinsip yang akan selalu melekat. Job is a job and it should not be interrupted by personal life. Ada kepentingan dan kepercayaan dari orang lain yang tidak seharusnya dikhianati hanya karena saya punya masalah pribadi. And yes, it works for me. At least I have a great professional life !

Ide, gagasan, inovasi, pikiran tidak jelas yang muncul dari sisi pekerjaan atau personal improvement berhasil saya atasi dengan lebih banyak membaca, bertanya dan menulis. Jika malam-malam saya terlalu membosankan maka tinggal turun kebawah, membuka buku yang belum dibaca atau mulai menulis di blog professional saya. It turns great. Saat ini saya punya blog yang secara teratur di update dan sedang menyusun buku pertama tentang bidang yang menjadi kompetensi saya. Jika itu pun membosankan, saya tinggal mencari akses internet terdekat, membuka forum luar negeri untuk ikut diskusi atau sekedar mengamati perkembangan yang sedang terjadi di luar sana. Like I said, everything that have proper data and support analysis is easy to handle.

But here come the nightmare. Metode fokus pada pekerjaan membuat saya sangat nyaman. Lagipula sejak awal saya memang tidak begitu perduli dengan hubungan antara manusia. Kepercayaan adalah barang mahal yang hanya saya berikan pada orang tertentu. Dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari dari satu tangan saja. Saya bahagia, sebagai seorang professional tapi tidak sebagai seorang manusia social.  

Bagaimana pun, kebutuhan bersosialisasi dan menyalurkan pikiran tidak bisa sekedar dipuaskan dengan menulis di blog pribadi ini atau membuat cerita refleksi diri di forum tanpa membuka identitas. Kini keadaan tidak semudah itu lagi. Saat ini, saya hidup di lingkungan dengan lingkup social yang kecil. Manusia yang ditemui hanya sedikit, sebagian besar malah klien dari pekerjaan. Lainnya hanyalah outsider yang tidak terlalu penting dalam hidup. Apalagi saya tinggal di apartemen dengan tingkat social yang cukup rendah (or maybe its just me that reject the social life ? :) ).

Awalnya itu semua bukan masalah. Menjadi beban ketika saya mulai memutuskan membuka hati pada seorang wanita. Sebelum bertemu wanita ini, saya masih berjuang untuk melupakan kenyataan bahwa rencana terbesar dalam hidup harus kandas bersama mantan sebelumnya. Belum lagi sakit hati karena kepercayaan yang langka saya berikan ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi saya tidak bisa selamanya tidak percaya pada manusia kan ? It’s a nature that make us a human, not a robot.

Maka ketika ada kesempatan yang ditawarkan untuk kembali percaya serta kemungkinan untuk memiliki keluarga, saya mengambilnya. And swear to God, I love that woman till now. Dia dengan segala kekurangannya, adalah bagian hidup saya. Setidaknya hingga kenyataan, ketakutan, dan juga keadaan memisahkan kami berdua. Ya, terlepas dari semua kriteria yang saya cari dari seorang pasangan hidup ada beberapa kenyataan bahwa kami memang terlalu berbeda. Terlalu banyak pertanyaan dan ketidakyakinan yang menyertai hubungan kami. Ada energy negatif yang entah bagaimana selalu muncul sekuat apapun kami berusaha menyingkirkannya.

Pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai muncul tidak tertahankan. Logika pun mulai bermain, asumsi pun mulai dibangun dengan data yang tidak valid. Alternatif bodoh pun mulai bermunculan. Menariknya ialah berbeda dengan mengatasi pikiran-pikiran di sisi professional yang lebih mengutamakan logika, saya lebih banyak menggunakan hati dan kepercayaan dalam mengatasi ledakan pikiran dari sisi personal life.

Saya bukan orang yang mudah percaya pada seseorang tetapi ketika memutuskan percaya maka kepercayaan adalah totalitas. Itu cara paling ampuh untuk mengatasi pikiran dan logika bodoh saya tentang manusia. Saya hanya harus mempercayainya. Bahkan ketika semua data, variable, asumsi dan kesimpulan mengarah pada jawaban yang bertolak belakang. Saya hanya harus mempercayainya. Pada akhirnya, ada beberapa kejadian di dunia yang tidak bisa dijawab dengan otan yang terbatas ini. Tuhan, takdir, dan cinta. Mereka memang dibuat untuk dipercaya, bukan untuk dicari alasan mengapa atau penjelasannya. Setidaknya itulah yang saya yakini.

Maka ketika semua pikiran liar itu muncul, data memberikan bukti sempurna, logika memberikan hipotesisnya, bahwa hubungan kami memang sulit untuk berhasil, saya hanya perlu percaya pada mimpi bahwa wanita itu adalah tulang rusuk yang disiapkan Tuhan jauh sebelum terciptanya dunia.  

Ohh,, dear God. I wish life is just as simple as like that. Bertahan dari pikiran dan kebiasaan berpikir logis sudah sulit dilakukan. Kini saya harus melakukannya sembari meyakinkan wanita yang juga punya masalah yang sama. Dia pernah gagal dalam hubungan dan kegagalan tersebut merusak kepercayaannya pada cinta. Dia tidak yakin pada saya, tidak percaya pada kemungkinan kami bersama selamanya, ketakutan akan pendapat orang lain, tidak nyaman akan rasa insecure nya, tidak puas akan jawaban yang diberikan dan itu semua membuat dia terus menerus bertanya, bertanya dan bertanya. Pertanyaan yang akhirnya meluap dalam sebuah pernyataan yang menjadi titik kulminasi hubungan kami.

Kembali sedikit ke hubungan saya dengan beberapa wanita sebelumnya. Pengalaman mengajarkan bahwa keyakinan bisa mengalahkan semua keraguan. Itu mengapa pada hubungan sebelum ini saya mempercayai wanita yang faktanya jelas tidak bisa terbuka pada saya dan tetap melamarnya. Dalam semua ketidakpastian akan seperti apa dia setelah menikah, saya tetap mempercayainya. Karena saya hanya harus mempercayainya dan terus melangkah. Dan percaya atau tidak, sebagian besar wanita yang pernah mempunyai hubungan khusus dengan saya adalah wanita dengan tipikal sama. Unstable emotion, rotten by their self problem and offcourse, dealing with fact that I’m just not enough for her.

Tapi wanita ini berbeda. Dia haus kebenaran dan keyakinan padahal itu hanya bisa ditemukan dari kesadaran untuk mempercayai pasangan. Dan dia menyatakannya dengan kata-kata, pertanyaan pertanyaan yang terus menerus berulang, walaupun saya sudah berusaha menjawab dan memberikan keyakinan. Saya juga bertanya, ragu, insecure, takut, butuh dikuatkan dan disupport. Tetapi saya cukup sadar bahwa keraguan dan ketidakyakinan tersebut berasal dari diri saya sendiri, bukan dari keadaan atau kekurangan pasangannya. Itulah mengapa saya memendam semua, meyakinkan diri sendiri dan terus menerus percaya pada cinta.

Tetapi sekuat apapun saya, pada akhirnya energy negatif yang terus menerus datang itu meruntuhkan keyakinan yang sudah dijaga. Saya yang menyerah. Itu salah saya. Bagaimanapun saya adalah pria yang seharusnya menjaga dan terus meyakinkan dia. Saya lah yang tetap bertahan dan menjawab keraguan dia dengan tindakan. Memberikan apa yang diidamkannya karena hanya itu permintaan dia. Saya gagal. Berakhirnya hubungan ini adalah tanggung jawab saya. Tidak perlu dibahas lagi atau dicari alasan.

Kini, yang bisa saya lakukan adalah menata hati lagi, mencari metode yang bisa menghilangkan pikiran-pikiran negatif, pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab, hipotesis yang tidak akan pernah terbukti serta kesimpulan yang akan selalu jadi misteri. Beberapa solusi yang dilakukan untuk berhenti berpikir dan berasumsi adalah bekerja, membaca, dan paling efektif yaitu menulis dan terus menulis. Sayangnya hingga kini metode yang tepat itu masih belum ditemukan. Buktinya saya masih saja terbangun hingga pagi bahkan ketika badan sudah memaksa istirahat. Terbenam dalam puluhan gelas kopi dan ratusan batang rokok. Terbangun telat dan menjalani rutinitas kantor dengan badan yang melemah untuk mengulang lagi peperangan dengan pikiran dan terjaga hingga pagi menjelang.

Metode itu tampaknya memang tidak akan ditemukan karena semuanya hanya obat sementara yang menekan symptom bukan menyembuhkan akar masalahnya. Karena bahkan setelah semua yang terjadi, saya tetap percaya. In the end, love is just as simple as that…  

Sorry

Posted: Jumat, 16 November 2012 by Iqbal Fajar in
0


In the end, I am still hurting you…
Really sorry for that hon. Maybe its right that I should never open my heart to anyone, ever…

Wedding Day

Posted: Rabu, 14 November 2012 by Iqbal Fajar in
0


Saya akan memulai tulisan ini dengan bercerita tentang sebuah festival. Parade kegembiraan yang hadir baru beberapa jam yang lalu. Ini menjadi menarik bagi saya karena aktivitas yang diikuti ini sebenarnya bukanlah salah satu kegiatan favorit saya. Bahkan cenderung dihindari. Kalaupun hadir, saya biasanya memasang topeng bahagia, bersalaman, menikmati sajian yang ada, untuk kembali menyingkir di tengah keramaian bersama hentakan nada di push up earphone. Melokalisir bising yang datang dan menikmati ritmis yang selalu menemani dalam kesendirian. Tulisan ini adalah dedikasi sekaligus perenungan akan makna sebuah ritual kegembiraan yang semua pasangan harapkan dan nikmati. Resepsi Pernikahan.

Siapa yang tidak suka pada acara ini ? Apalagi ketika di acara tersebut anda dapat berkumpul kembali dengan teman dan saudara, bercengrama, bersosialisasi, melupakan beban pekerjaan untuk tertawa, bergembira. Belum lagi hidangan makanan yang bermacam-macam sebagai tanda hormat si empunya acara akan kehadiaran anda. Oh, jangan lupakan juga hiburannya, musik, karoke gratis atau bahkan tarian pembuka yang mengutamakan adat dari kedua belah keluarga. Acara pernikahan selalu menyenangkan. Tapi tidak bagi saya.

Aneh ya ? Tapi itulah yang terjadi. Entah sejak kapan ini bermula, tetapi saya memang tidak begitu menikmati acara dengan banyak orang berkumpul, tertawa, mengobrol, bersenang-senang, menanyakan kabar masing-masing, bertukar contact, hingga melanjutkan kegembiraan di tempat lain. Acara pernikahan selalu menjadi kegiatan yang sebisa mungkin dihindari. Mungkin karena saya memang tidak terlalu suka keramaian, tetapi kalau mau jujur, alasan utamanya ialah karena saya memang tidak pernah menyukai menghabiskan waktu untuk bersosialisasi.

Pengalaman buruk di masa lalu dan tingkat kepercayaan pada manusia yang memang sangat rendah membuat saya sedikit anti social. Do not mistaken. I’m not that kind of person that shy, not confident and afraid of human. Salah satu profesi yang saya geluti ialah marketing dan kepribadian saya cukup menyenangkan. Hanya saja, waktu luang nampaknya akan lebih berharga jika dihabiskan untuk beristirahat dan menyalurkan hobi daripada sekedar bersosialisasi, bercanda dengan teman, mengingat masa lalu atau makan gratis.

I mean, what so fun about that ? Jika ingin bersosialisasi, maka lakukan di sesi tertentu. Bertemu di kafe yang nyaman pastinya lebih nikmat dari berdiri, ngobrol sambil setengah berteriak karena bising. Mencari nomor telp teman lama ? Anda punya Facebook kan ? Saya rasa Facebook untuk urusan ini lebih unggul. Tanyakan saja no telp via wall atau lewat chat dan inbox jika ingin lebih aman. Jika ingin menikmati musik dan hiburan, anda kan bisa mencarinya di acara atau tempat yang memang khusus menyediakan itu. Tanpa perlu bertenggang rasa dengan selera musik orang lain yang sebagian besar bernada melayu. Food ? Come on, you could afford a way better at your favorite restaurant. Lagipula, makanan di resepsi terbatas dan harus berdesakan mengantri pula. Bagi saya, hadir di pernikahan sebenarnya hanyalah sebuah penghormatan atas kedua belah mempelai. Tidak lebih dari itu.  

Tapi unsur paling tidak saya sukai dalam pernikahan ialah ketika mulai mengobrol topik yang selalu hadir dalam pernikahan dan ditanyakan bagi pria single seperti saya. Kok datang sendiri ? Pasangannya mana ? dan puncaknya ialah Kapan nyusul nih ? Blah blah blah. Jika ditanya seperti ini saya hanya akan menjawab dengan candaan, humor garing dan senyum palsu. I hate those question and because wedding day is perfect moment to ask that, I became more resist to those sacred ritual.

Maka ketika ada undangan pernikahan dari salah satu teman di SMA, saya sedikit malas untuk hadir. Apalagi dengan tumpukan report yang harus diselesaikan. Itu saja sudah menghancurkan weekend saya, ditambah dengan undangan ini. And not to be mention about a hell week came to me. Its been a rough time for me. Bermula dari kandasnya hubungan dengan pasangan, break up syndrome yang menyesakkan serta upaya untuk memulai lagi dari awal yang dibalas dengan penolakan. Semua itu menjadi menyakitkan ialah karena saya sangat mencintai wanita ini dan berniat untuk melangkah serius bersamanya. But lets save the story for later.

Back to topic, saya pun memutuskan untuk datang sambil bersiap membawa laptop agar bisa langsung ke kantor sesudah acara. Rencananya sama seperti resepsi lainnya. Datang, salaman, makan demi menghormati sohibul hajat, ngobrol sedikit dengan kenalan, lalu pulang. Tapi kali ini tampaknya saya memang ditakdirkan untuk hadir disana lebih lama. Karena setelah resepsi ini, saya disadarkan bahwa pernikahan memang bukan hanya sekedar resepsi atau ijab Kabul. Itu semua lebih dari itu.

Acara resepsi ini terbilang unik. Teman saya adalah seorang betawi asli, tinggal di lingkungan yang kental budaya betawi, di daerah yang mayoritasnya betawi dan pastinya masih memegang kuat tradisi mereka. Maka berbeda dengan kebanyakan resepsi, acara ini diadakan di rumahnya. Alasannya simple. Agar bisa santai dan tidak terburu waktu. And he make it in a such crazy way. ! hari penuh acara. Dari pagi hingga jam 10 malam ! Jangan lupakan juga 2000 undangan yang disebar. Itu baru yang formal. Yang informal jauh lebih banyak lagi. Menurut teman saya yang menjadi EO nya, seluruh kampung diundang, termasuk yang kerabat dari penjuru Jakarta. Jadilah acara yang biasanya hanya 3 jam tersebut berlangsung seharian dengan tamu yang tidak berhenti berdatangan.

Actually, its kind of crowd. Booth makanan seringkali kosong, sampah bertebaran, belum lagi dekorasi yang sudah copot sana sini. Itu semua diperparah dengan acara hiburan yang, sorry to say, terlalu berlebihan. Panggung dan karoke yang memekakkan telinga. Saya sempat berfikir, kok bisa ya teman yang terkenal akan modisnya ini mau melaksanakan acara seperti ini.

Tapi disinilah hal menarik muncul. Sang istri teman saya ini. Lahir dari keluarga berada, dia tidak malu untuk mengikuti semua proses melelahkan dan pada beberapa point, memalukan, dari prosesi pernikahan ini. Berdiri terus menerus sembari senyum, sebahagia apapun dia adalah hal yang melelahkan ketika harus dilakukan puluhan jam. Belum lagi harus menemui tamu yang entah siapa namanya dari tamu-tamu orang tua dan mertua.

Terlepas dari semua kerumitan itu dia tetap turut larut dalam kegembiraan yang indah hari itu. Tidak hanya sang istri tetapi juga teman saya. Mereka berdua sangat menikmati saat-saat kebersamaannya. Ada kecocokan yang memang jelas terlihat. Ada kebanggaan, penyerahan, dibalut ketulusan dalam senyum dan perbuatannya. Mereka berdua sangat nyaman satu sama lainnya, bahkan mereka terlihat tidak begitu peduli pada semua keramaian yang ada. Tatapan mata, sentuhan mesra, kegembiraan yang tidak terbelenggu akan minder dan pandangan orang lain, itu semua muncul dengan lepas, bebas, jelas. Ketika saya bertanya padanya apakah lelah dan ribet akan semua rangkaian acara, dia menjawab singkat. “Gak usah dipikirin. Nikah itu yang penting ijab qobulnya. Resepsi itu hak orang tua. Gw dan istri nikmatin aja, cuek aja. Yang penting bareng-bareng berdua” jawabnya riang.

Dan momen itulah yang menyadarkan saya akan arti sebuah pernikahan. Ini bukan tentang resepsi. Bukan tentang catering yang kosong, atau kostum yang berganti ganti. Bukan pula tentang keinginan keluarga, atau akan seperti apa nantinya dunia setelah acara. Tidak. Pernikahan adalah tentang dua insan manusia yang berpasangan. Ini tentang bagaimana mereka menikmati rumitnya permintaan dan harapan keluarga dalam bingkai kepercayaan, kesetiaan, penyerahan. Tentang bagaimana mereka menikmati, berbangga hati, mendukung satu sama lain, tertawa bersama, menangis bersama.

Saat-saat itulah yang saya inginkan selama ini. Didambakan dalam setiap lamunan. Dikhayalkan pada tiap kejadian. Diinginkan hingga ke dasar sumsum tulang. Saya ingin bahagia bersama pasangan. As simple as it is.

Dan melihat kembali apa yang sudah terjadi selama masa-masa pencarian pasangan hidup, saya memang harus mengakui bahwa jalan yang diambil sudah terlalu menyimpang. Demi kebahagiaan yang sudah membuncah itu, saya berkompromi dengan prinsip-prinsip yang dipegang. Dimulai dari mencintai wanita yang jelas-jelas saya tidak nyaman, kemudian melakukan kesalahan bodoh dengan selingkuh yang tidak jelas tujuannya, menyerah pada kenyataan bahwa orang tua tidak mengizinkan, bertemu dengan seseorang yang saya anggap pasangan hidup walau jelas-jelas kami sungguh bertolak belakang hingga mencintai wanita yang berbeda agama hanya demi pelarian dan kenyamanan.

Sayangnya, pelajaran tidak pernah masuk secara permanen ke otak bebal ini. Seperti yang diceritakan diawal, saya kembali jatuh cinta dan menyerahkan kepercayaan pada wanita yang, entah saya harus bagaimana mendefinisikannya. Hubungan kami rumit. Sungguh rumit. Saya tahu dia mencintai dan rela berkorban bagi kehidupan bersama. Saya juga mencintainya, hingga saat ini saya tidak menyesali bahwa saya jatuh cinta dan memilih menyerahkan kepercayaan pada dirinya. Dia memang insecure, selalu mempertanyakan segala hal, mempermasalahkan semua yang tidak sesuai, selalu melihat dari satu sisi, tidak mau menduga maksud dibalik tindakan, serta menyerang dengan kata-kata ketika emosi tidak terkendalikan.
Ya, dia memang tidak sempurna tetapi dia adalah segalanya bagi saya. Dia lah yang mencerahkan kegelapan di hati, melindungi dari pikiran negatif yang berkubang pesimis, bekerja lebih keras daripada kata-katanya. Dia, terlepas dari semua kekurangannya adalah cahaya yang selalu bersinar terang. Dia yang hingga kini membuat saya tercekat pada kenyataan bahwa kami harus berpisah. 

Entah memang saya yang terlalu bodoh, lemah, egois, penakut. Hubungan kami tidak berhasil. Saya menyerah pada kemarahan, pada ketakutan akan pandangan dan pendapat, keraguan atas kekecewaan orang tua, serta kelemahan pada kata dan makna percaya. Ini salah saya dan memang akan tetap menjadi beban penyesalan seumur hidup.

Tapi karena kelemahan dan semua kekurangan itulah saya membutuhkan semua perasaan dan kepercayaan yang dimiliki oleh teman saya dan istrinya. Kegembiraan akan penerimaan pasangan, ceria pada cobaan, kenikmatan akan kesulitan, kekuatan dalam penyerahan, kepercayaan akan cinta yang selalu bertahan.

Itulah sayangnya yang sulit didapatkan dalam hubungan singkat kami. Pada akhirnya, dia dan saya adalah dua insan yang sudah terluka berkali kali dan gagal dalam perjalanan mencari cinta. Fakta itulah yang akhirnya menyebabkan kami menyerah dan pasrah pada keadaan. Kami terlalu takut untuk berjuang karena sudah pernah kalah. Kami trauma pada perasaan yang hancur akibat terlalu percaya dan menemukan kenyataan tidak seindah bayangan.

Seharusnya kami lebih percaya pada pasangan, mencintai lebih jauh, berjuang lebih keras, saling menguatkan dalam cobaan, bangun dan terus mendaki gunungan ketidakpercayaan orang lain. Itulah yang seharusnya dilakukan pasangan. Jika kami mampu melaluinya, niscaya kebahagiaan sejati dan selamanya pastilah menjadi hadiah terindah yang akan selalu menghiasi kehidupan kami.

Dan inilah yang memang harus terjadi. Saya hanya memimpikan dan berharap itu semua terjadi. Pada kenyataannya, kami berdua menyerah kalah pada ketakutan. Dan entah apakah akan ada lagi kesempatan yang hadir untuk bahagia seperti teman saya dan istrinya. Saya tidak tahu. Yang saya tahu sekarang hanyalah kami berdua kembali bergumul dengan sakitnya kegagalan percintaan. Kembali memulai proses melelahkan untuk mencari arti dari cinta dan kepercayaan. Dan khusus bagi saya, resepsi pernikahan serta semua tetek bengek yang terkait dengannya akan tetap menjadi ritual yang dihindari. Entah sampai kapan… 

Kisah Si Percaya

Posted: Kamis, 08 November 2012 by Iqbal Fajar in
0


Percaya,
Katakan pada mereka
Tentang sulitnya engkau hadir
Meracap mencari pelabuhan
Darmaga dimana bersandar
Terkapar
Menyerah

Dan setelah hilang engkau dalam waktu
Akhirnya menepi dalam lubuk seorang wanita
Yang memeluk, mengecup, menghangatkan

Tapi ketika percaya menyandar padanya
Terus bertanya sang wanita
Tentang cinta, rindu, keteguhan
Terus bertanya, meminta yakin ia

Tidak bisa !, kata si percaya
Jangan minta padaku bahasa yakinmu
Itu inisiatifmu, langkah nyatamu

Tidak, jawab wanita
Kau memang tidak cinta
Lupa rasa rindu, hanya terlarut dalam rangkaian byte mu
Bercinta dengan nyaman masa mudamu
Percaya pun diam
Goyah pondasinya
Berlogika ia

Inikah tempatku?
HIdup bersama curiga
Bercumbu dalam ragu
Mencinta pada penolakan

Tersentak percaya pada kenyataan
Bahwa darmaganya rapuh
Berkarat tak bertulang
Hanya kejujuran yang terus tertahan

Ini takdir kita kawan, sahutnya

Berdiri kemudian ia
Mengusap airmata darah
Mengigit erat fakta
Memeluk percaya

In bukan akhir perjalanan bagi aku, kamu, kita
Mari terjatuh, terluka, kecewa lagi
Karena akan muncul darmaga sejati kita

Disana,
Pada masa yang akan tiba 

Rengekan Penyesalan

Posted: by Iqbal Fajar in
0


Ceritakan padaku tentang cinta dan pengorbanan
Apakah dia sepadan atau berlawanan
Karena buta sudah malam ini aku
Pada arti cinta dan pengorbanan
Khilaf aku pada makna penerimaan
Serta terbuai dalam gelapnnya keinginan

Kisahkan padaku teman tentang nikmatnya kalian
Yang berjalan beriringan penuh penyerahan
Berpasrah pada tujuan yang tidak ternyatakan
Berbicara tentang kesenangan tidak terperi yang membuncah
Pada keturunan, tawa, nikmat, pelukan, ciuman, tanpa pertanyaan
Hanya kepasrahan atas nama cinta

Terangkan aku akan makna kebersamaan
Yang juga ku anggap benar, pun pahami
Karena sesungguhnya aku telah tertipu
Pada logika yang tetap menuntut penjelasan
Walau sudah jelas bahwa logis bukanlah jawaban
Tidak, tidak akan pernah sebab akibat memberikan makna yang diinginkan
Karena memang salah aku berpijak
Pengecut aku bertindak
Takut aku berhadapan kebenaran
Mengincar kebahagiaan dengan kemalasan akan tanggung jawab
Atau keberanian mengambil sikap
Juga pada keteguhan akan keputusan

Maka biarkan aku menangis lagi malam ini
Pada layar berwarna yang menjadi pelarian
Pada tatapan nanar tak bertuan
Pada pembenaran atas kekalahan
Pada menyerah akan keadaan

Ya, terima semua kesendirian
Karena inilah takdir seorang pengecut
Karena inilah imbalan atas pelepasan tanggung jawab
Karena inilah hukuman atas sebuah pengkhianatan

Bumi tetap berputar dan aku akan tetap disini, sendiri. 

The Riddle of Life

Posted: Jumat, 05 Oktober 2012 by Iqbal Fajar in
0


Here's a riddle for you
Find the Answer
There's a reason for the world
You and I...

The Riddle by Five for Fighting

Pernahkah anda bertanya atas alasan apa anda dilahirkan di dunia ? Well, there will be a lot of answer for that. Sebagian besar dengan dasar agama. Sebagai khalifah dan mengabdi pada yang Maha Kuasa, sebagai penebus dosa, untuk menanggung dosa dari kehidupan sebelumnya atau untuk persiapan mencapai nirwana. Tergantung pada seperti apa kepercayaan anda. Orang lain mungkin mengaitkannya dengan pekerjaan, cinta dan passion, kehidupan yang lebih baik, kebutuhan untuk pengakuan, keadaan yang sedang terjadi, motivasi dari pakar, jawaban bijak dari sang guru atau lebih sederhana lagi, sekedar bertahan hidup.

Potongan Lagu The Riddle dari Five for Fighting inilah yang menginspirasi saya untuk berfikir lebih banyak, bertanya lebih dalam, berdiskusi lebih intens dengan nurani tentang alasan mengapa saya diciptakan.

Kehidupan saya jalani dengan mengalir, penuh dengan ambisi, letupan semangat, pun keterpurukan akan kesalahan juga mengisi kehidupan. Saya terus berjalan, mencari, bertanya, terjatuh, bangun lagi, berjalan lagi, mereview lagi dan terus mengulang rutinitas tersebut. Banyak buku dan petuah bijak yang disambangi untuk menambah pengetahuan tentang kehidupan.

Tetapi jawaban akan teka-teki itu tetap belum ditemukan. In the end, I feel empty… Saya berani untuk mengambil pilihan, menjalani dengan keterbatasan, bangkit ketika masalah datang, belajar lebih banyak tetapi jawaban teka-teki tersebut masih tetap misteri yang belum bisa dipecahkan.

Saya sering berusaha menjawab pertanyaan tentang teka-teki tersebut. Jawabannya sangat beragam. Mulai dari untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mengabdi pada masyarakat, menorehkan tinta di dunia, menurunkan warisan pengetahuan bagi generasi selanjutnya, mencintai seorang wanita dengan sempurna, membahagiakan orang tua dan jawaban lainnya. Itulah alasan mengapa saya bisa tetap bertahan hingga kini. Alasan yang juga menyebabkan saya terbangun bermalam-malam dan termenung sendirian.

Tetapi pada titik tertentu jawaban itu juga tidak memuaskan saya. Ada banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Jawaban-jawaban tersebut tidak bisa memberikan hikmat yang sebenarnya. Ketika semua sudah tercapai, saya tahu bahwa bukan itu alasan saya ada di dunia. TIdak sesederhana itu alasan mengapa saya diciptakan. Dan saya kembali ke siklus bertanya dan diskusi dengan nurani. Terjebak dalam malam-malam perenungan yang tidak ada habisnya.

Untuk apa saya dilahirkan ? Untuk apa saya menempuh pendidikan ? Untuk apa saya bekerja ? Untuk apa saya mencintai seseorang ? Untuk apa saya bertahan dari kegagalan ? Untuk apa saya terus memotivasi diri ? Untuk apa saya beribadah ? Untuk apa saya berhubungan dengan manusia ?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu yang selalu muncul di pikiran dan menghantui sepanjang waktu. Ini nature saya. Pola pikir yang tidak akan pernah hilang. Bertanya-bertanya dan bertanya.

Inilah bodohnya saya. Saya terus bertanya padahal sudah tahu jawaban inti dari ini semua. Saya yang tidak berani mengakui jawaban yang terus muncul ketika jawaban lain terus berguguran. Saya mencari jawaban alternative yang masuk akal dan mungkin untuk dilakukan. Saya mencari jawaban lain karena saya takut pada jawaban sebenarnya.

Saya diciptakan untuk mengabdi dan menjalankan perintahNya.

Itulah jawaban atas teka-teki kehidupan. Tidak lebih dari itu. Saya bekerja agar bisa beribadah padaNya, mengabdi pada masyarakat agar mendapat pahalaNya, menciptakan sesuatu sebagai warisan untuk menyebarkan ajaranNya, mencintai wanita atas namaNya dan menjalani kehidupan dengan harapan bisa masuk surgaNya. Semudah itu, sesederhana itu…

Jujur saja, saya bukan seorang penganut agama yang taat. Banyak ajaran sang Maha Kuasa yang dilanggar. Begitupun perintah dan sabdanya yang saya nafikan. Padahal latar belakang agamis sangat kental di lingkungan dan pendidikan tetapi sekali lagi, itu bukan jaminan. Semakin lama, saya semakin jauh dari kehidupan religius dan terus terbenam dalam kenikmatan dunia. Melupakan kodrat awal sebagai mahluk Tuhan yang akan kembali padanya setiap saat.

Dan alasan mengapa saya masih tetap bebal tidak berfikir dan bergerak dengan jawaban itu karena iman yang melemah dan malas yang tetap mengakar. Maka teka-teki kehidupan itu akan tetap jadi misteri bagi saya. Hingga keyakinan akan jawaban tersebut memenuhi semua pikiran dan logis ini.

Semoga saja, sebelum Izrail menarik nafas terakhir atas perintahNya, saya bisa memiliki keyakinan terhadap jawaban teka-teki tersebut. Semoga…

Dalam Diam

Posted: Senin, 01 Oktober 2012 by Iqbal Fajar in
0

Dan sekali lagi kita tercenung

Kosong menatap gelap
Walau pikuk kasihani
Kita tetap tegar dalam diam

Ini memang masanya
Ketika badai sudah bosan melanda
Dan hanya kita yang teriaki massa
Marah andai bisa pada mereka
Tapi kelam adalah bahasa terlontar

Maka memang sekali lagi kita berjalan linglung
Karena ini adab dan tradisi
Bahwa sendiri pada ujung malam adalah mimpi tentang
Cinta
Sayang
Perhatian 

Hanya pada diam akhirnya kita bersajak

Kicauan Cinta

Posted: Jumat, 28 September 2012 by Iqbal Fajar in
0


Malam ini cinta kembali berkicau
Menyerukan keindahannya tanpa tertahan
Bersabda tentang penerimaan, ketulusan
Bukan pada hasrat memburu pada penyatuan

Aku terpukau lagi malam ini
Pada kata, suara dan gambar
Yang berikan hikmat lebih bermakna
Lampaui  pertemuan dua manusia
Lewati kenikmatan persentuhan dan kehadiran

Ya, jangan samakan dia dengan wanita lainnnya
Yang selalu bersama bercanda dan tinggalkan di pagi buta
Yang mengaku berjuang dan berkorban
Lalu menjauh atas nama ketidaksiapan dan perbedaaan

Tidak, bukan itu bentuk kasihnya
Hanya lewat data dia hadir menjelma
Tapi tak hentikan kemurnian perasaannya
Yang selalu menerima dan melihat dalam bentuk sejati
Tanpa penolakan atau permintaan. Hanya ketulusan

Maka aku percaya, sekali lagi
Pada percikan kepercayaan
Akan rasa yang terus menerus dibuang dan dinafikan
Tentang sayang yang dulu dihamburkan entah pada siapa

Jangan ajarkan lagi aku tentang cinta
Karena definisi ku berbeda dengan anda
Bukan pada penyatuan lagi aku berpandang
Tetapi pada ketulusan dan kasih sayang aku menghadap

Dan malam ini dia kembali berbisik tentang cinta
Bahagia dia dalam rentetan cerita
Yang dihindari oleh mereka
Yang ditolak oleh mereka
Yang dikeluhkan oleh mereka

Anda tidak mungkin mengerti tentang cinta aku dan dia
Karena bagiku dan dia, cinta adalah cinta
Semudah itu. Tanpa alasan. Tiada retorika.

Maka malam ini, tanpa bersama kami tetap melebur.
Satu dalam cinta

Duka Malam Ini

Posted: Kamis, 13 September 2012 by Iqbal Fajar in
0



 Kenapa kita berduka malam ini ?
Apakah ada luka membekas yang menyapa ?
Atau hanya khawatir kita pada trauma ?

Bingung pula kita kenapa rasa mulai muncul
Padahal yakin sudah pada tidak adanya harapan
Dan janji sudah diucapkan bahwa ini memang hanya sebuah impian
Bukan percikan, bukan tujuan atau mimpi tentang kebersamaan
Ya, hanya sebuah keinginan yang dilimpahkan tanpa arahan

Karena sudah berkeinginan kita dan dia untuk memisahkan cinta dan kenyataan
Bahwa memang kami adalah dua insan yang bersatu karena kebutuhan, bukan atas nama kebenaran

Tapi mengapa malam ini kita terdiam,
Dan seharian kita terbayang pada dia nun jauh disana
Yang dengan keceriaan dan kegembiraan
Dipenuhi oleh perhatian dan penerimaan
Hingga menghapus kehilangan dan kesepian
Mencerahkan melalui semangat, gairah, kesempatan
Berikan energi yang sudah lama dilupakan

Sudah jelas bahwa kita mencintainya
Tapi memang takdir berbisik. Bukan saat ini, tidak di waktu ini katanya
Bahwa ada dinding tinggi yang tidak seharusnya dihancurkan
Setidaknya bukan oleh cinta, kebutuhan, atau kesepian

 Maka tersenyumlah lagi kawan
Ini malam yang tidak seharusnya kita berduka
Karena bangga kita pada pencapaian dan dedikasi ketulusan
Yang tetap yakin pada proses adalah tujuan, bukan akhir atau pemberhentian

Tak perlu risau kita pada mereka yang tiada
Karena kita selalu ada disini
Bersumpah setia pada hasrat akan penciptaan
Sembari yakin ini hanya jalan lain menuju kesempurnaan

Malam ini kita berduka tapi kita tetap hidup untuk merasakan lagi
Ya, kita tetap mencinta hingga waktu membawa takdir kehadapan
Dan senyum sekali lagi mengembang di muramnya malam

Music and How They Affect Me

Posted: Rabu, 29 Agustus 2012 by Iqbal Fajar in
0


It’s silly how musik can affect me this much. Yup, walau kelihatanya aneh, musik bisa mempengaruhi bagaimana cara saya melihat kehidupan atau lebih tepat, berdamai dengannya. Ini sudah terjadi berkali-kali. Ketika pekerjaan bertumpuk, jalanan ramai dengan kemacetan, suasana hening yang menyebalkan, konsentrasi dibutuhkan dalam bekerja, atau yang paling sering, ketika pikiran tidak mau berhenti mempermasalahkan hal-hal sepele.

Entah dengan bagaimana, sihir melodi musik bisa memberikan ketenangan sekaligus kegilaan pada emosi labil saya. Bermotor yang semula tegang dapat berubah menjadi ketenangan dalam kecepatan, kebuntuan ide bertransformasi menjadi rangkaian kata dan inspirasi atau suasana hati gundah yang berbalik ceria. Musik entah bagaimana caranya, mewujudkan itu semua.

Silly, right ? Kecanduan saya pada musik sudah ada sejak dahulu kala. Sejak pertama kali Walkman, produk revolusioner dari Sony Co. diluncurkan. Ketika kaset menjadi media utama musik dimainkan dan radio sangat popular dengan request dan titip salamnya. Saya bukan pecinta live musik, setidaknya saat itu di masa SMA. Kehidupan asrama memberikan keterbatasan. Saat itu, dengan Walkman pinjaman dan radio yang disembunyikan kehidupan SMA yang membosankan menjadi lebih berwarna. Malam-malam yang dihabiskan dengan menelpon rahasia ke stasiun radio demi request lagu kesayangan, menemani waktu belajar yang kadang selalu over time. Atau ketika album  Westlife dan Blink 182 yang terus menerus berngiang di kuping.

Tapi, masa SMA sesungguhnya bukan saat dimana musik mengubah cara saya berinteraksi dengan dunia. Kuliah adalah titik baliknya. Kebebasan yang tiba-tiba hadir membuat passion terhadap melodi sekaligus teriakan lantang rocker memberikan saya ruang baru untuk menikmati dunia. Earphone tidak pernah lepas dari kuping. Kanan untuk earphone, kiri untuk mendengar. Autisme dan tidak sopan menjadi trademark yang kerap dibubuhkan oleh orang disekitar. Wajar saja, siapa yang suka mengobrol dengan orang yang kerap kali mengangguk pelan menikmati reff Linkin Park ketika diajak bicara. Beberapa teman bahkan mengatakan bahwa indra saya hanya bisa bekerja satu bagian dan bagian lainnya tidak aktif karena saya kerap kali tidak menjawab saat dipanggil.

Musik saat itu menjadi teman sekaligus sumber kegembiraan dan tawa. Jarang sekali masalah atau pikiran negative menghampiri (even thought that maybe affected by my youth spring too). Tidak jarang saya ditegur teman kamar dan kost karena kebiasaan berteriak menyanyikan lagu atau ketika asyik bergumam ketika kumpul dengan sahabat. That time, my world is all about me and Walkman, others are just tenant :) 

Keadaan berubah tatkala ada cinta menghampiri. Konsekuensi dalam hubungan membuat saya rela melepaskan musik sebagai bagian kehidupan. Tidak ada lagi earphone yang menempel, teriakan ala rocker atau gumaman lagu sendu. Mereka berganti dengan wanita yang hampir seluruh waktu menemani saya. Dan saya bahagia melepaskan bagian itu demi memberikan perhatian yang terbaik bagi wanita tersebut.

Keadaan mulai berubah ketika cinta meninggalkan saya. Di akhir kehidupan kuliah yang menyenangkan itu, saya harus bertahan dengan kehilangan wanita yang sudah menjadi bagian dalam keseharian. Ketika itulah musik kembali menyelamatkan. Saat skripsi tertunda oleh sulitnya metodologi, ketika teman terbagi dan ketika jalanan mulai menjadi tempat pelarian. Yup, sang musik menemukan partnernya. Dalam derasnya angin malam dan dinginnya udara Puncak, saya mengejar ketenangan melalui kecepatan dan hentakan musik. Mereka seakan tenaga dan semangat yang tidak pernah berhenti menghidupi saya. Pun begitu ketika perjalanan jarak jauh mulai saya lakukan dimasa kerja. Single touring dan perjalanan malam yang pernah saya ceritakan di artikel lainnya. Mulai dari nyasar malam di Jakarta, Bandung yang rutin dijalani, Lampung yang hanya dipersiapkan 3 hari, hingga Jogja yang memberikan saya mimpi untuk terus menjelajahi jalanan.

Tidak hanya dengan jalanan musik berteman, tetapi juga ketika fokus pada pekerjaan menjadi kebutuhan. Rekan kerja pernah berkata, terlepas dari perilaku kekanakan saya, saat-saat ketika diam di depan laptop, fokus pada layar dan pekerjaan adalah sedikit waktu saya terlihat sebagai orang dewasa dan professional sesungguhnya. Hingga kini pendapat itu tetap berlaku. Ketika hingar bingar ruang kerja berjalan, saya tetap asyik dengan kesunyian lantunan nada.

Musik juga hadir dalam bentuk lainnya. Tidak hanya terbatas pada earphone, headphone atau dentuman bass speaker. Ia juga hadir dalam bentuk live musik di restoran, café, event, bahkan club. Live musik pertama saya ada di Java Jazz bersama mantan. Event yang awalnya hampir di cancel itu kini menjadi rutinitas tahunan. Bentuk lainnya juga hadir dalam bentuk kencangnya hentakan musik club bersama dengan alcohol. Untungnya alcohol sudah lama tidak menjadi bagian dari pengalaman musik saya. Kini, saya sudah sangat terpuaskan hanya dengan duduk meminum cola sambil berlompat mengikuti hentakan DJ atau live band di beberapa club tertentu. Sering saya dianggap aneh karena pergi ke club hanya sekedar mendengar musik tanpa alcohol atau seperti yang pria lain lakukan, mencari pasangan.

Plihan lagu pun mulai menemukan bentuknya. Pop Jazz, akustik, RnB, alternative, dan british music adalah pilihan utama. Tidak saja karena nadanya yang tidak biasa, nada yang cepat atau pilihan kata-kata yang tidak murahan, tapi karena genre tersebut adalah bentuk saya sebenarnya. Rumit, kompleks, detail tapi disisi lain berusaha tetap memandang dunia sebagai tempat bermain dan menikmatinya hingga nafas terakhir.

Dan seperti itulah makna musik bagi saya. Dia sebagai bius penenang dalam kekacauan, lonjakan semangat ketika masa suram, percikan ide dalam kebuntuan dan tentu saja, teman dikala kesendirian datang. Dia bukan cinta yang saya kejar seumur hidup, hanya rangkaian nada yang tidak pernah berkhianat ketika dibutuhkan. Hadir dalam kehidupan tanpa menuntut komitmen berkelanjutan. Ya, musik adalah salah satu bagian hidup yang tak terpisahkan J