Jogja. Another Time, Another Moment
Posted: Senin, 17 Desember 2012 by Iqbal Fajar in
0
Kembali ke Jogja. Memikirkannya sudah membuat saya sangat bersemangat.
Bukan hanya karena eksotisme daerah yang dikenal atas kekayaan budaya dan
unggah ungguh Jawanya, tetapi juga proses mencapai Jogja yang membuat saya
tidak sabar. Single touring. Hobi, passion, yang sudah mendarah selama
beberapa tahun terakhir dengan sukses memberikan kepuasan batin bagi saya.
Belokan, tanjakan, turunan menantang yang menuntut pengendalian motor tingkat
tinggi, jalur lurus yang menggoda untuk menembus batas aman berkendara,
lenggangnya jalanan yang melepaskan penat macet Jakarta, kesendirian dalam
kebebasan berekspresi sesuka hati, dan pastinya, kebanggaan atas pencapaian
ketika berhasil melalui tekanan, hambatan, kelelahan. Sensasi keberhasilan,
kesuksesan, yang kemudian bertransformasi menjadi memori indah tidak
tergantikan. Semua memberikan candu yang membuat saya terus menerus menempuh
proses, yang menurut sebagian besar orang, bodoh untuk dilakukan.
Maka ketika rencana telah ditetapkan, persiapan diselesaikan dan
sumberdaya telah dialokasikan, kegembiraan mempengaruhi saya. Degup jantung
yang terus menerus berpacu, khayalan akan kenikmatan berkendara mengantikan
malam-malam tidak jelas ini. Ya, saya memang membutuhkan touring ini. Seingat saya, terakhir kali saya melakukan single touring jarak jauh ialah 2 tahun
lalu dengan tujuan dan rute yang sama. Kali ini saya berusaha meningkatkan
tantangan dengan menguji jalur utara yang didominasi oleh jalanan lurus dan
rangkaian bus, truk barang. First stop
direncanakan di Semarang, bertemu dengan adik dan seseorang yang sangat special di kehidupan, menginap, kemudian
melanjutkan keesokan harinya menuju Jogja untuk menghabiskan waktu 2 hari 2
malam dan pulang kembali melalui jalur selatan.
Tentu saja itu rencananya. Sayangnya, seperti kehidupan, perjalanan saya
tidak pernah 100 persen sesuai harapan. Dan kali ini, hambatannya cukup membuat
saya memikirkan kembali untuk pergi. Bermula dari beban pekerjaan yang
meningkat hanya beberapa hari sebelum touring,
persiapan dan sumberdaya yang tidak sesuai dengan batas minimum perjalanan
hingga kenyataan bahwa saya harus mengganti rute awal dan mempercepat waktu
perjalanan. Belum lagi godaan dari manajemen kantor yang memberikan cuti
panjang diakhir tahun jika saya membatalkan cuti untuk menyelesaikan pekerjaan.
Inilah yang menarik dari sebuah passion,
keteguhan hati, pengambilan keputusan. Kita tidak akan pernah bisa menahan,
mengubah, bahkan pada tahap tertentu, mengatur passion itu. Saya mencintai jalanan, membutuhkannya seperti ikan
memerlukan air. Berlebihankah ? Mungkin bagi sebagian orang, tapi tidak bagi
saya. Jalanan adalah media ekspresi terbaik. Tidak ada yang menghalangi saya
berteriak kencang ditengah derasnya kecepatan angin, atau memandang aneh saat
saya betingkah kekanakan menyanyikan lagu dengan mimik lucu dan memalukan.
Tatkala saya harus menangis karena kesendirian, atau ketika pikiran dan energi
negatif sudah terlalu membebani, jalanan memberikan kelapangan dan dekapan
kegembiraan. Ketika keputusasaan dan ketakutan menghalangi semua mimpi, jalanan
memberikan ketenangan dan pelajaran tentang perjuangan dan kepercayaan akan
keberhasilan. Jalanan juga yang memberikan saya proses pendewasaan dan
kecerahan logika dalam mengambil keputusan.
Maka ketika banyak rencana, harapan, keinginan, kebutuhan dan
kepercayaan diri mulai hancur diterpa semua kejadian yang datang dalam beberapa
tahun, bulan terakhir, kesempatan untuk bercumbu dengan jalanan tidak akan saya
lepaskan. Walau itu artinya, kelelahan akibat kurangnya waktu istirahat,
kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, serta keharusan untuk
mengerjakan sisa pekerjaan dalam waktu yang makin terbatas, saya tidak perduli.
Saya butuh ini. Tidak untuk digantikan dengan uang, waktu istirahat, tawaran
untuk meminta apa saja, bahkan kesempatan untuk melakukan perjalanan dengan
pilihan waktu dan rute yang lebih beragam.
Perjalanan ini adalah mimpi saya.
Sejujurnya perjalanan kali ini agak berbeda. Ada perasaan dan pikiran
yang membayangi jauh sebelum perjalanan dilakukan. Pengalaman kecelakaan 2
tahun lalu yang hampir merenggut nyawa membuat saya sedikit melankolis. Ketika
itu saya masih seorang yang naif dan tidak berpikir panjang. Kecelakaan
perjalanan, ditengah daerah yang saya tidak tahu, single touring tanpa izin orang tua dan tanpa diketahui banyak
orang membuat saya banyak berpikir. Apa yang terjadi jika saat itu saya
benar-benar meninggal ? Dengan identitas yang seadanya dan kepergian yang hanya
diketahui dua orang saja, tentunya akan menyisakan banyak pertanyaan dan
kekecewaan dari banyak orang. Bagaimana dengan mimpi dan perasaan yang belum
tersampaikan ?
Entah kenapa, kematian mendadak menjadi pikiran utama belakangan
ini. Saya banyak merenung dan melihat kebelakang. Semua pengalaman dan
kehidupan yang sudah dijalani berkelebatan dalam malam-malam tanpa tidur. Saya
masih punya banyak mimpi dan sayangnya belum banyak mimpi itu yang tercapai.
Pun dengan amal ibadah, saya masih jauh dari sempurna. Sejujurnya, saya masih
belum siap menghadap Ilahi saat ini. Tapi hidup bukan untuk diisi dengan
ketakutan akan kematian saja bukan ? Yang Maha Kuasa memberikan kebebasan akal
dan keajaiban kreativitas bagi hambanya agar kita bisa beribadah sekaligus
bermimpi akan pencapaian yang lebih tinggi lagi. Lagipula, itulah gunanya
kematian. Agar kita sadar bahwa waktu hanya sedikit di dunia ini dan bergegas
untuk mencapai mimpi kita.
Kematian memang tidak bisa diduga tetapi bukan berarti kita tidak bisa
meninggalkan legacy. Untuk itulah
saya menyusun beberapa surat yang dititipkan pada beberapa pihak untuk beberapa
orang. Pesan saya singkat. Jika ada apa-apa di perjalanan, maka pesan itu dapat
diterima oleh yang bersangkutan. Ini juga yang menarik dari perjalanan kali
ini. Berbeda dengan 2 tahun yang lalu, ada banyak orang yang menempati porsi
khusus kali ini. Sahabat, orang yang disayang, dan orang tua adalah beberapa
pihak yang saya anggap sangat berarti. Cukup sedikit memang, tetapi tetap jauh
lebih baik daripada 2 tahun lalu. Saat itu, hampir tidak ada orang yang cukup
penting untuk saya tinggalkan pesan.
Perjalanan ini juga menjadi berbeda dari 2 tahun lalu. Kala itu saya
pergi menempuh jalanan untuk alasan melepaskan dari beban pekerjaan. Kali ini,
pekerjaan adalah rutinitas menyenangkan. Karier saya bagus, pekerjaan menantang
dan kuliah juga sudah selesai. To be
simple, this is my greatest year as professional.
Kali ini persoalan
pribadi yang lebih mendominasi alasan terjadinya touring ini.
Ini tahun dimana saya gagal menikah, tahun dimana saya terpuruk sangat
rendah di kehidupan pribadi. Tahun dimana saya akhirnya bertemu dengan seorang
yang special nun jauh disana untuk kemudian hubungan kami kandas karena
keputusan saya juga. Tahun dimana saya mencoba meniti kehidupan serius dengan
seorang wanita dan sayangnya juga gagal atas nama perbedaan dan keadaan. Jelas
ini bukan tahun terbaik saya.
Tapi saya yakin, terlepas dari semua masalahnya, tahun ini akan selalu
jadi kenangan dan pendewasaan yang tidak pernah terlupakan. Dan touring singkat ini saya yakin akan
menjadi penutup tahun yang berakhir menyenangkan. Perjalanan ini adalah proses,
kesempatan berpikir, menemukan lagi kepercayaan diri yang hilang, merangkai dan
menguatkannya untuk kemudian kembali melangkah. Kembali mengambil keputusan,
mencoba kesempatan dan jika gagal lagi, saya selalu tahu bahwa akan ada jalanan
lain, dengan rute lain, kilometer yang jauh lebih panjang, waktu yang lebih
lama, untuk mengumpulkan serpihan jati diri yang hancur.
Dan kini, di café kecil di lantai dasar apartemen, saya tersenyum puas
sembari menulis catatan ini. Satu minggu lebih setelah semua perjalanan itu,
saya masih bernafas. Surat dan pesan yang dititipkan tidak perlu diterima oleh
pihak tertuju. Saya kembali dengan selamat. Lengkap dengan semua yang dibawa
sebelum perjalanan ini dilakukan. Setelah semua perjalanan yang melelahkan,
menyulitkan, dan penuh rintangan itu, saya bisa tersenyum dan bangga. Karena
kali ini, walau dengan kata tidak mungkin sekalipun yang selalu lekat di bibir
ini, saya tetap berhasil mencapai keinginan.
Selama perjalanan saya banyak mendapatkan lagi kegembiraan dan passion
yang sudah cukup lama hilang. Di jalanan jalur Selatan saya belajar lagi
tentang arti sebuah impian. Bahwa mimpi bukanlah sebuah kata yang hanya harus
ditulis dan dibaca. Dia harus dikejar dengan segenap tenaga dan mengejarnya
adalah sebuah kenikmatan dalam perjuangan. Bahwa konsistensi dan persistensi
adalah kunci sukses yang tidak akan pernah salah. Dan percaya akan mimpi
berarti terus berjalan, berjuang, bangun ketika terjatuh, dan melupakan bahwa
semua usaha itu adalah untuk mencapai mimpi tersebut. Lupakan semua lelah,
sakit, kegagalan bahkan pencapaian. Mimpi adalah sesuatu yang harus dikejar dan
diperjuangkan tanpa tahu apakah dia akan tercapai atau tidak. Karena pada
akhirnya, saya hanya harus percaya pada mimpi itu. Tidak lebih.
Jogja dan jalur Selatannya, sekali lagi saya mengucap terima kasih atas
semua hikmat yang kau berikan.