Pagi Sunyi

Posted: Jumat, 29 Maret 2013 by Iqbal Fajar in
0


Tebaran abu melayang
Tertiup angin, dia menghilang
Walau sudah bosan dalam gelap
Tetap menghamba pada setitik sinar
Yang berikan harapan akan kegembiraan

Kita adalah nyawa yang terus bertahan
Bergantung pada mimpi tentang kebersamaan
Pagi ini kita tetap terdiam dalam sunyi

Alone

Posted: by Iqbal Fajar in
0


Its kind of funny. I tend to forget how its feel to be alone for couple months. And still when those feelings come across, I still don’t manage to handle it in good way.

Kesibukan pekerjaan dan beberapa hal lainnya membuat saya melupakan sejenak rasa kesepian. On going project yang membuat frustasi, kenyamanan berinteraksi dengan passion, individu-individu yang datang silih berganti, transisi ke pekerjaan selanjutnya adalah alasan mengapa hidup menjadi sangat menyenangkan beberapa waktu kebelakang.

Walaupun harus diakui saya sedikit kehilangan waktu privasi, khususnya untuk menulis. Pekerjaan adalah anugrah sekaligus beban yang harus ditanggung. Saya hampir tidak punya waktu luang untuk sekedar menulis puisi atau menceritakan pengalaman. And that’s a big problem for me. Menulis adalah media relaksasi paling diandalkan dan teruji. Melalui tulisan saya bisa mengungkapkan keluh kesah, mencaci maki, memuji, merenung, belajar dari kesalahan, menemukan fokus serta paling penting tetap menjaga semangat untuk maju. Maka ketika waktu menulis harus digadaikan dengan pekerjaan, quality time dengan orang terdekat, istirahat panjang sebagai dampak kelelahan, saya tetap tidak nyaman dengan semua ini.

Alasan lain mengapa saya berhenti menulis belakangan ini ialah karena adanya muara baru untuk bercerita. Ada beberapa orang yang mendekat di keseharian. Mereka dengan sabarnya mendengar keluh kesah bodoh saya yang terkadang tidak seharusnya dibagikan begitu saja. Dari mereka juga saya diingatkan kembali bahwa hidup bukan sekedar bekerja dan menjalani keseharian. Hanya sekedar melewati hari untuk kembali pada rutinitas lainnya.

Terlepas dari kenyamanan tersebut, saya tetap sendiri. Tanpa komitmen tanpa kepastian. Sedekat apapun mereka hadir, pada akhirnya saya sampai juga di saat ini. Masa ketika kamar menjadi kosong, waktu santai datang, dan kesepian merayap pelan. Pagi itu saya terbangun hanya untuk sadar bahwa kamar apartemen tetap kosong. Hanya ada gelap, udara pengap, keringat yang mengucur, mimpi buruk yang kembali datang dan tentu saja kesunyian yang menyakitkan. Subuh itu juga yang mengingatkan saya akan masa-masa ketika hingar bingar dan kegembiraan berganti dengan kekecewaaan dan kesepian. Pada akhirnya, rokok, kopi, dan lagu adalah rekan yang tetap setia.

Saya tidak tahu berapa lama lagi kesepian ini akan bertahan. I’ve taken too much damage. And the way I handle it is not helping me to fix it. Maybe all this loneliness is simply made by me. Maybe its me that refuse to be close to others. Maybe its just the way I know to handle problems. Keep alone and rely on myself. Or maybe its just God’s way to preparing me for the best moment that yet to come. Because, even after all those frustrating moment, I never lost hope in finding someone that will erasing this loneliness.  

A Note about Passion

Posted: Senin, 04 Maret 2013 by Iqbal Fajar in
0


Bekerja dengan kebanggaan. Mungkin itu anugrah terbesar yang dapat saya dapatkan saat ini. Melakukan sesuatu yang disukai, melakukannya dengan penuh tanggung jawab serta menghasilkan karya yang dengan bangga menaruh nama diatasnya. Sign with Proud. Tidak banyak dari rekan dan kenalan yang dapat mencicipi perasaan ini. To be frankly, it’s really nice. Melakukan sesuatu bukan karena mengejar uang atau jabatan. Hanya demi aktualisasi diri.

Saya memulai pekerjaan ini sejak 1,5 tahun yang lalu. Tapi waktu yang singkat ini telah memberikan banyak kegembiraan dan kepuasan lebih dari 4 tahun masa professional saya. Bermula dari seorang project coordinator yang berkutat dengan survey dan laporan, saya mendapat kesempatan melihat dunia lebih besar dari sisi manajemen dan marketing. Promosi dari atasan yang sejak awal tidak disangka, membawa saya pada dunia marketing.

Awalnya saya cukup yakin berada di profesi tersebut. Kemampuan komunikasi dan karakter sanguine yang diturunkan oleh ayah, membuat karier melejit cepat. Tentu saja ada banyak kenikmatan disana. Fasilitas, jaringan, power serta kebanggaan sebagai talent dari sebuah korporasi besar. Walau akhirnya saya memutuskan mundur, karier saya selanjutnya juga tidak jauh dari dunia marketing dan sales. 3 tahun total dihabiskan dalam profesi tersebut dan saya tidak merasakan kepuasan yang selalu dicari.

Semua atribut yang awalnya sangat menarik perlahan menjadi semu. Hanya menyisakan kekosongan. Marketing bukan jalur karier saya. Bukan panggilan hidup yang akan dikejar hingga akhir. Bukan sesuatu yang akan mengisi malam-malam dengan semangat untuk menciptakan karya terbaik.

Passion saya yang sesungguhnya adalah belajar, mencari tahu lebih banyak, mengerti lebih dalam, mendapatkan jawaban, mengungkapkannya dalam lisan dan tulisan, berbagi dan menciptakan sesuatu yang akan bertahan lama, membantu mereka yang kesulitan untuk kemudian melihat karya dan keberhasilan orang lain sebagai legacy. Marketing sayangnya bukan jalur yang cocok untuk passion tersebut.

Dan datanglah kesempatan itu. Konsultan, pekerjaan yang disebut sebagai the ultimate career of professional. Tidak hanya sekedar bekerja, profesi ini mempertemukan saya dengan seorang luar biasa yang mengajarkan tentang professionalism, attention to detail, perfectionism, serta paling penting, disiplin. Dari beliau pula, saya mengerti lebih jauh tentang passion dan bagaimana hal sederhana tersebut dapat mengubah cara seseorang memandang dunia dan memberikan respon terhadap tantangan-tantangannya.

Profesi ini memberikan saya kesempatan belajar sekaligus mengubahnya menjadi masterpiece. Membantu pihak lain mencapai tujuannya dan mendapatkan bayaran untuk itu. Mengatur diri sendiri untuk disiplin dan disaat yang sama menikmati waktu untuk menemukan saat-saat terbaik mengaktualisasikan diri.

Banyak dari kita yang memandang pekerjaan, karier, dan tugas hanya sebagai sebuah aktivitas rutin yang harus dilewati. Percayalah, saya pernah mengalami hal tersebut. Tidak ada yang menyenangkan dan menyedihkan dari kondisi tersebut. Datang tepat waktu, mengerjakan tugas dengan seadanya, melakukan perintah atau arahan yang tidak sesuai nurani, terbelunggu oleh sistem, lelah karena apresiasi yang tidak didengar dan pada akhirnya menjadi skeptis terhadap keadaan. Hanya menjalani pekerjaan hanya sebagai kewajiban atas nama bertahan hidup.

Saya tidak mengatakan hidup sebagai karyawan atan pekerja profesional sebagai sesuatu yang buruk. Melakukan wirausaha dan hanya menjalaninya sekedar beraktivitas juga bisa menjadi kejenuhan baru. Saya pernah memiliki rekan yang keluar dari pekerjaannya dan memilih untuk berbisnis rumah makan. Dia melakukan investasi besar dengan membeli peralatan masak dan makan, menyewa ruko, membeli furniture dan melakukan dekorasi besar-besaran. Konsep rumah makannya menarik dan masakannya juga tergolong enak, tetapi beberapa tahun kemudian dia menutup rumah makan itu dan kembali ke pekerjaan lamanya. Ketika saya bertanya mengapa dia berhenti, jawabannya adalah karena bisnis tidak semenarik yang dibayangkan. Dia justru tidak punya waktu untuk beristirahat, keuntungan yang naik turun, serta rasa nyaman yang selalu ditemukan di pekerjaan.

Gerber dalam buku fenomenalnya, E Myth, mengatakan bahwa sebagian besar entrepreneur bekerja dalam bisnisnya (work in the business). Mereka menciptakan sistem, melakukan pekerjaannya, menyusun strategi dan melakukan investasi demi ekspansi. Nyatanya, terlalu banyak entrepreneur yang kecewa karena harapan akan kebebasan financial dan waktu yang tidak terpenuhi. Mereka terjebak dalam rutinitas, kerumitan, intrik, persaingan serta laba yang tidak sesuai harapan. Mereka memilih berbisnis tetapi tetap bekerja dengan mindset seorang karyawan. Melakukan segala sesuatu atas nama uang dan atribut tambahan lainnya.

Seorang pebisnis seharusnya bekerja diatas bisnisnya (work on the business), bukan dalam bisnis (work in the business). Diatas dan didalam adalah dua hal yang sangat berbeda. Bekerja diatas bisnis berarti memandang bisnis sebagai suatu karya, pencapaian dan aktualisasi diri sehingga apapun yang dikerjakan dalam bisnis, tujuannya bukan mendapatkan memuaskan pelanggan keuntungan atau bahkan mendapatkan keuntungan. Bekerja diatas bisnis berarti bekerja semaksimal mungkin untuk memberikan karya, produk, hasil terbaik. Keuntungan, kepuasan, pelanggan, kesuksesan adalah atribut yang akan datang sebagai kompensasi dari penciptaan tertinggi.

Menariknya, konsep ini tidak hanya berlaku bagi bisnis tetapi juga bagi karyawan, professional, bahkan profesi seperti musisi sekalipun. Salah seorang adik kelas saya menjalani konsep ini dengan sempurna. Dia adalah mahasiswa salah satu institut kesenian di Jogja. Demi mengejar kecintaannya pada bass dan musik, dia meninggalkan kuliahnya di Universitas negeri di daerah yang sama. Awalnya orang tuanya tidak setuju, tetapi dia meyakinkan mereka bahwa jurusan yang diambil tersebut bukan passion nya. Kalaupun lulus dia hanya akan menjadi professional biasa dengan karier rata-rata dan hidup yang membosankan. Setelah debat panjang, akhirnya orang tuanya mengizinkan dan dia pun menjalani hidup sebagai seorang seniman musik.

Tapi bukan itu yang membuat saya tertarik dengan kisahnya. Sebagai pemusik, dia jauh lebih disiplin dan berdedikasi daripada professional seperti saya. Minimal 12 jam dia habiskan untuk berlatih bass. Bangun tidur dia langsung berlatih hingga waktu kuliah dimulai. Malam hari mulai dari jam 7 hingga jam 3 pagi, gitar bass tidak pernah lepas dari tangannya. Bahkan sanking kerasnya berlatih, dia pernah tidak sadar kalau tangannya berdarah dan mengganggu petikan bass. Hebatnya, dia hanya mengambil perban, membersihkan darah dan luka untuk kemudian berlatih lagi. Perkataan yang sangat diingat darinya adalah, “Kak, gw kayak gini cuma karena bass udah jadi jalan hidup. Sukses, terkenal, kaya itu cuma hasil akhir aja. Tanpa itupun gw akan tetap latihan bass dan main musik”

Salahkah berharap kaya, terkenal, memiliki power dan atribut lainnya? Tentu tidak. Tetapi apakah dengan atribut itu kita bisa puas? Jawabannya tidak. Gaji misalnya. Apakah gaji 10 juta besar? Jika iya, mengapa banyak orang yang keluar dari pekerjaannya ketika ditawarkan gaji yang lebih besar? 10 juta mungkin kurang banyak bagi Anda. Bagaimana dengan 100 juta? Sudah cukup besar? Kalau iya jawabannya, apakah Anda yakin tidak akan pindah jika ada rekan yang menawarkan gaji 200 juta? Gaji, kekuasaan, jabatan, fasilitas adalah hygiene factor, sesuatu yang akan terus berubah, dan tidak pernah dapat terpuaskan.

Mudahnya, hygiene factor seperti mobil yang diberi pemberat. Mobil adalah Anda dan pemberat adalah hygiene factor nya. Apa yang terjadi jika mobil berjalan dengan pemberat? Tentu kecepatannya akan berkurang. Apa yang terjadi ketika pemberat dilepaskan? Mobil akan berjalan dengan lebih kencang tetapi hanya sekencang kecepatan maksimal mobil tersebut. Bagaimana jika mobil tersebut diberikan turbo? Walau seberat apapun beban yang ada di mobil, selama kekuatan turbo lebih besar dari berat beban, maka mobil akan melaju lebih cepat dari kecepatan maksimalnya. Anda tentu sudah tahu apa yang saya maksud sebagi turbo. Itulah yang disebut sebagai passion, kebanggaan akan pekerjaan, aktualisasi diri, penciptaan masterpiece dan semua yang saya ceritakan di awal tulisan ini.

In the end it’s all about mindset. The little things that change the way you see the world and of course, change the way you live it. Be passionate, be proud, whatever you do. And you’ll see that fame, glory, wealth and those attribute simply a product of masterpiece that you made.