Sunshine Song by Jason Mraz

Posted: Jumat, 24 September 2010 by Iqbal Fajar in
0

This a very good song by Jason Mraz. First sing at Jason's single concert at Chicago. The lyrics and the accoustic melody really inspired me a lot. You can get the song free from this link (http://www.4shared.com/audio/IhRXP6dO/Jason_Mraz_-_Sunshine_Song_Bea.htm)

Sunshine Song

Well sometimes the sun shines on
Other people's houses and not mine.
Some days the clouds paint the sky all gray
And it takes away my summertime.
Somehow the sun keeps shining upon you,
While I struggle to get mine.
If there's a light in everybody,
Send out your ray of sunshine.

I want to walk the same roads as everybody else, Through the trees and past the gates.
Getting high on heavenly breezes,
Making new friends along the way.
I won't ask much of nobody,
I'm just here to sing along.
And make my mistakes looks gracious,
And learn some lessons from my wrongs.

Well sometimes the sun shines on
Other people's houses and not mine.
Some days the clouds paint the sky all gray
And it takes away my summertime.
Somehow the sun keeps shining upon you,
While I struggle to get mine.
A little light never hurt nobody,
Send out your ray of sunshine.

Oh, if this little light of mine
Combined with yours today,
How many watts could we luminate?
How many villages could we save?
And my umbrella's tired of the weather,
Wearing me down.


Well, look at me now.

You should look as good as your outlook,
Would you mind if I took some time,
to soak up your light, your beautiful light?
You've got a paradise inside.
I get hungry for love and thirsty for life,
And much too full on the pain,
When I look to the sky to help me
And sometimes it looks like rain.

As the sun shines on other people's houses
And not mine,
And the sky paints those clouds in a way
That it takes away the summertime,
Somehow the sun keeps shining upon you,
while I kindly stand by.
If theres a light in everybody,
Send out your ray of sunshine

You're undeniably warm, you're cerulean,
You're perfect in desire.
Won't you hang around
so the sun, it can shine on me,
And the clouds they can roll away,
And the sky can become a possibility?
If there's a light in everybody,
Send out your ray of sunshine.

Ketika lelah datang kembali

Posted: by Iqbal Fajar in
0

Sudah lama rasanya sejak terakhir kali saya terbangun seperti ini. Badan sedikit lemas, mata yang setengah terpejam dan kasur yang berubah menjadi surga dunia. Apalagi ini jam setengah 6 pagi. Sungguh suatu prestasi. Memang bukan hal aneh buat sebagian orang. Buat saya juga sebenarnya bukan hal yang anomaly mengingat jam tubuh memang sudah terprogram seperti itu. Bangun jam setengah enam pagi. Yang membedakannya adalah alasan dari bangun pagi ini. Biasanya saya terjaga dengan teriakan orang tua dari lantai bawah dengan mata yang masih memerah dan badan yang menggigil akibat kurang tidur. Penyebabnya tentu insomnia akut dan setengah buatan. Disebut setengah buatan karena jam biologis tubuh ini yang selalu akan berubah dari kantuk berat menjadi terjaga penuh stamina jika badan tidak diistarahatkan selepas jam 12 malam.

Dan memang itulah jam biologis yang sudah berubah semenjak setahun terakhir. Pekerjaan kantor yang cenderung monoton, klien yang tidak ada kejelasan, kuliah yang mulai tidak menarik lagi, kehidupan yang lekat dengan kesendiriaan, serta serangkaian rutinitas membosankan lainnya membuat hidup saya tidak berjalan dengan semestinya. Pada dasarnya, semangat dan energy tercipta sangat berlebihan di tubuh ini. Orang tua selalu bercerita bagaimana saya ketika masih belia selalu berlari kesana kemari, menabrak semua untuk kemudian terjatuh dan menangis keras lalu setelah diam, kembali lagi berlari seakan lupa semua sakit dan takut. Persis layaknya mesin lokomoti yang kelebihan tenaga. Itupun masih terjadi hingga kini. Kebiasaan berbicara yang cenderung menjadi cepat ketika saya bersemangat, melakukan pekerjaan secara cepat dan kadang tidak terarah. Baru ketika tenaga sudah habis saya akan terkulai lemas entah dimana dan entah dalam keadaan seperti apa.

Itulah saya ketika pertama kali diberi kepercayaan sebagai orang nomor dua di project kantor. Hampir satu bulan lebih saya tidak pulang dari kantor. Bekerja hingga subuh tiba, tertidur di kolong meja dan bersiap untuk pergi melaporkan progress kegiatan ke klien pagi harinya. Ritmik kerja yang sungguh cepat, padat dan menyenangkan. Yup, menjadi menyenangkan karena semua tenaga dan letupan di dada bisa tersalurkan. Dan seperti selayaknya mesin yang sudah bekerja keras, akhirnya saat untuk turun mesin pun tiba. Tidak sampai 2 minggu setelah project selesai dan beban kerja menurun, tubuh saya terkulai lemas di rumah sakit. Typhuss. Penyakit yang seingat saya menyambangi hampir tiap tahun dan selalu pada saat-saat yang sama. Ketika project atau pekerjaan selesai. Kalau dulu, saya akan terkulai lemas ketika kegiatan-kegiatan kemahasiwaan menurun seiring dimulainya ujian akhir.

Namun, hidup memang harus selalu berjalan pada satu langkah di depan. Itu juga yang terjadi pada saya. Setelah serangkaian pencapaian dalam menangani project, saya dipromosikan menjadi satu tingkat lebih tinggi. Posisi yang membuat saya tidak lagi bertanggung jawab terhadap hal teknis tapi lebih kearah manajerial dan marketing. Seiring dengan perubahan struktur, tugas yang awalnya multi tasking menjadi single task. Focus ke klien istilah atasan. Maka beban berat saya sebagai konseptor, development, penghubung bahkan problem solver kini dilimpakan pada orang lain. Tugas pun berubah dari “pekerjaan kasar” menjadi “pekerjaan intelek”. Datang ke klien, diskusi calon project, keliling di tempat klien hingga entertain klien. Common task of marketer. Dan hari-hari saya diisi dengan bersantai dijok mobil menunggu macetnya Jakarta dengan driver yang selalu setia menjemput di lobby kantor klien, diskusi ringan dan santai dengan klien yang seluruhnya dari kalangan pemerintahan, bersabar dengan birokrasi dan bertingkatnya hirarki, menemani rapat dan kunjungan, datang ke seminar hingga menunggu jadwal kosong sang birokrat.

Perlahan tapi pasti, energy yang mulai meletup pun semakin redup terbawa kenikmatan fasilitas dan kelonggaran pekerjaan. Tidak ada lagi spontanitas dan kreativitas, semua seakan tenggelam dalam pekerjaan intelektual yang sayangnya lebih berujung pada menunggu dan berharap. Well,, things goin worse that day. I couldn’t barely know my self and that make me just drowning in to desperate situation.

Kehidupan pun mulai perlahan berubah, energy yang terlalu besar akhirnya disalurkan pada hal-hal tidak produktif. Siang hari dihabiskan dengan internetan gratis, sesekali bermain game di tengah jam kantor dan akhirnya sindroma insomnia pun ikut-ikutan. Malam hari diisi dengan pikiran-pikiran tentang banyak hal, yang sayangnya ber aura negative. Pelampiasan dituangkan pada dinginnya udara malam, lenggangnya jalanan, berbungkus bungkus rokok bahkan pada tahapan tertentu berbotol-botol minuman keras. Satu-satunya hal positif yang dihasilkan oleh saya ialah tulisan-tulisan tentang pengalaman kehidupan, permasalahan social yang tidak pernah selesai hingga diary bodoh tentang pengakuan diri.

Maka ketika saya memutuskan untuk bergerak dan keluar dari kehidupan tidak berguna itu menuju perubahan besar, ada rasa gembira dan semangat disana. Pekerjaan baru, kamar baru, keadaan baru, sensasi baru. Walau harus diakui ada beberapa kejadian yang tidak diharapkan kehadirannya. Tapi totalitas akhirnya membawa saya pada keadaan yang setidaknya membuat saya bisa berjalan dengan kepala tegak. Tidak ada lagi tidur malam, waktu luang terbuang, pikiran yang tersia siakan. Kini, setidaknya saya bisa menikmati indahnya waktu luang yang dulu sudah saya anggap benda yang memuakkan.
Kantuk akibat kelelahan bekerja, pusing karena banyaknya tugas, pengakuan terhadap ketidakmampuan, hingga sakitnya hati akibat ditinggalkan, dengan cara yang sangat unik membuat letupan semangat tersalurkan. Kini, ditengah pusingnya nama kimia dan aplikasinya, saya bisa terlelap dan bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Entah bagaimana hari esok akan datang tapi setidaknya saya bisa menghadapi masalah dengan kreatifitas, spontanitas, semangat, dan kegembiraan seperti dahulu kala. Dan semua itu, tanpa disadari hadir ditengah ketidakpastian, tekanan, kesedihan, kelelahan dan kesendirian. Kini, walaupun hanya sedikit, saya bisa bangun dengan tatapan yang lebih tegar. Siap untuk menghadapi kehidupan dengan optimisme, harapan dan mimpi yang sekali lagi menemui peruntukannya. Semoga ini bukan hanya perjalanan singkat yang akhirnya harus saya akhiri dengan keterpurukan lagi. Semoga…

Teman

Posted: Selasa, 21 September 2010 by Iqbal Fajar in
0

"That's what a friend for :)"

Kata-kata itu meluncur begitu saja. Diketikkan dengan lancar, tanpa beban dan tanpa rencana di Yahoo Messanger. Lawan bicara saya membalas dengan terima kasih. Mungkin kata-kata itu biasa baginya. Dia yang dikelilingi oleh teman-teman setia, sahabat tercinta, pasti berulang kali mengatakannya dan mendengarnya. Tapi tidak bagi saya.

Seingat saya, kata-kata itu hanya terucap pada 3 orang saja. Ghea, seorang teman kuliah semasa sarjana; Yudo, juga teman kuliah di magister; dan si "cah ayu", begitu saya biasa memanggilnya, seorang teman chat dari forum. Dan seingat saya, memang ketiga orang itulah yang saya anggap manusia-manusia dengan hati murni, tanpa imbal balik, dan setia pada sebuah sistem yang kita kenal dengan nama persahabatan.

Mungkin aneh bagi kalian. Tapi persahabatan, pertemanan atau apapun namanya adalah hal langka yang jarang saya akui keberadaannya. Saya memang pribadi menyenangkan tapi bukan berarti orang-orang disekitar yang tertawa, bercanda, bercerita, berjalan bersama adalah teman atau sahabat bagi saya. Jujur saja, mereka hanya outsider dalam kehidupan. Tak lebih dari orang lain lebih dekat dari orang lainnya.

Bodoh rasanya kalau melihat diri ini. Seorang marketing yang dituntut memiliki sifat extrovert tinggi malah terbuai dengan ketidakpercayaan pada orang lain. Ya! Saya memang soliter. Bertemu orang, berkenalan, menyelami karakter masing-masing, hingga akhirnya cocok dan bersahabat adalah proses yang cukup saya hindari. Kesendirian adalah candu. Walau juga tidak munafik saya hanya manusia biasa yang butuh sosialisasi, butuh berbagi kepercayaan, butuh pelampiasan perasaan.

Kepercayaan. Itu yang mungkin hilang dari diri ini. Ketakutan. Mungkin juga penyebab saya selalu lari dari pertemanan. Maka, sejarah saya dalam persahabatan dan percintaan memang hanya hitungan jari. Pacar yang menjadi tempat berbagi juga cuma segelintir. Itupun kini sudah membuat satu alasan lainnya bagi saya untuk tetap sendiri.

Maka ketika ada orang-orang seperti Ghea, Yudo dan "cah ayu", saya sepenuhnya memberikan kepercayaan pada mereka. Bahkan dalam cara yang mungkin tidak disadari oleh mereka sendiri. Teman yang langka itu buat saya adalah harta karena hanya pada mereka saya bisa benar-benar hidup dan merasakan indahnya berbagi. Kepada mereka lah kesendirian bisa saya buang jauh jauh. Hanya dengan mereka, tawa bisa sangat lebar dan keras.

Bagi mereka, saya mungkin hanya seorang sahabat, teman atau mungkin orang yang sedikit lebih spesial saja. Tapi tak apa. Kepercayaan dan persahabatan ini tidak menuntut dua arah. Tapi entah mengapa, saya cukup yakin bahwa kepercayaan ini akan tetap terjaga di tangan mereka.

Thanks my precious friend. It's honour to know, to be friend with, and to share this trust with all of u.

Luang Kita

Posted: Rabu, 08 September 2010 by Iqbal Fajar in
0

Sayang,
Kita terlena
Pada manisnya kekuatan
Pada gemulainya kesenjangan
Pada empuknya kedudukan

Lupa kita pada kerasnya tanah
Amnesia kita pada sakitnya lelah
Tak sadar kita pada tajamnya kenyataan

Karena impian adalah kereta
Datang diujung dengan cahaya
Lalu tiba dengan kerasnya tumbukan

Entah mengapa kita papa
Khilaf pada segarnya neraka
Tidur dalam kusutnya nista

Inikah akhirnya?

Malam kita
Jalanan kita
Angin kita
Nafas kita

Dan mengapa dengan bodohnya kita masih berdiam menanti cahaya kereta diujung jalanan hanya untuk tahu hancur berberai tertumbur nestapa ?